Selasa, Mei 7, 2024
Google search engine
BerandaTulisan FeatureMenyemai Politik Arif Lewat Puisi

Menyemai Politik Arif Lewat Puisi

Suara Agusni AH mendadak lantang setiba di bait pertengahan. Ia tampak larut dalam puisinya. Demikian halnya seisi ruangan yang seketika senyap. Di dalamnya, puluhan orang menyimak setiap larik kemarahan itu.

Duhai Sang Raja, janganlah jungkhat atas kamar yang tak menguncimu
Atas apa yang tak pernah membebanimu
Duhai sang Raja, janganlah picing matamu
Hingga mencoret kertas data kerja negeri ini…” ucap dengan nada tinggi.

Suasana tabik terjalin begitu saja, kendati di luar ruangan, riuh kendaraan terus menyusul tanpa menghiraukan perkumpulan itu. Namun, di sela-sela, dentingan gelas yang ditenteng pramusaji sesekali memecah bisu yang mengidap ruangan.

Jumat petang (29/3/2019), Agusni AH dengan cakapnya bersalin rupa. Lelaki yang telah didapuk jadi salah seorang komisioner Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh ini, membacakan puisi berjudul ‘Surat Buat Sang Raja’. Lantaran, ia baru saja melayani permintaan salah seorang hadirin, untuk memilah puisi mana yang tepat menggambarkan situasi politik hari ini.

Bagi hadirin yang baru saja disuguhi buku antologi puisi Agusni AH bertajuk ‘Teja Merambat Bumi’ sore itu, tentu tak mudah menemukan mana puisi yang representatif. Antologi setebal 121 halaman ini berisi ratusan puisi Agusni yang ditorehkannya sejak paruh akhir tahun 90-an.

Surat Buat Sang Raja sendiri ditulis pada Desember 2016 silam. Ketika itu saya bergelut dalam situasi yang tak jauh beda dengan hari ini,” kata Agusni di sela-sela diskusi publik mengulas Serba-Serbi Kepemiluan di NA Coffee, Lamteumen, Banda Aceh.

Dari awal bait puisi ini saja, Agusni sudah gamblang. Kalimat pembuka yang berbunyi ‘Surat ini kutulis di sepertiga malam..Persis ketika gelap sedang di pucuknya..’ menguatkan, puisi ‘Surat Buat Sang Raja’ digubah melalui perenungan yang penuh kontemplasi. Isinya menegur penguasa agar tak terlena pada puja-puji di sekeliling singgasana.

Di sini hematku, kau terlena karena usap dalem-dalemmu

Kau terlena karena dikancingkan baju

Sampai kertas hendak kubeli untuk menyuratimu pun dirampasnya..” ucap Agusni, nyaris lirih menjelang bait akhir.

Racikan kata-katanya terbilang lihai, demikian simpul Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA), Nur Maida Atmaja. Duduk sejajar dengan Agusni, Maida juga bersama seniman terkemuka Aceh, Din Saja. Mereka bertiga jadi pembicara dalam diskusi tersebut.

“Dalam antologinya, Agusni merangkum satu sudut pandang mengenai pengalaman spiritual, perjalanan batin, sosial budaya, politik, dan potret terhadap realitas hidupnya,” ujar Maida.

Bijak Berkontestasi

Senada dengan Maida, Din Saja dalam kesempatan itu terkesan dengan penyematan kata Teja pada judul antologi Agusni. Teja bermakna guratan di kaki langit tatkala matahari mengiring fajar. Sepengetahuan Din, Teja merupakan bahasa lama.

“Yang menarik dari bahasa lama, yakni kandungan maknanya yang bertanggung jawab. Ada kedalaman yang santun. Membacanya lebih menyentuh hati, tak serta merta memancing amarah kebencian,” jelas Din.

Diksi lah yang digarisbawahi Din dalam diskusi itu. Ia menyoroti ujaran kebencian yang merebak secara luas belakangan ini. Apa yang marak di media sosial saat ini, kata dia, tak lain adalah cara komunikasi yang terlampau pragmatis, tanpa pikir panjang. Sehingga tak jarang memicu keributan yang kadang bermula dari hal-hal sepele.

Dalam kodisi itu pula, Din Saja menekankan perlunya peran seniman mengisi ruang-ruang yang kerap disalahgunakan itu.

“Yang saya pahami, puisi bisa membawa kita pada objektifitas, pada kedalaman akal pikiran dan jiwa. Kesenian mengajak kita untuk bijak menilai sesuatu. Ini penting, apalagi di era sekarang yang kian marak tersebar kebencian antara pendukung kontestan pemilu,” pesannya.

Din juga mengimbau masyarakat memandang jernih kontestasi pemilu yang hanya tinggal belasan hari lagi. Buatnya, persatuan jauh lebih penting untuk dijaga, ketimbang pesta demokrasi yang hanya berlangsung lima tahun sekali.

“Kita terlalu memberat-beratkan masalah pemilu. Padahal ini pesta yang singkat,” tandasnya.

Ketua KIP Aceh, Samsul Bahri dalam kesempatan itu mengatakan, pertemuan dengan sejumlah perwakilan LSM dan seniman sore itu berupaya menyajikan sudut pandang alternatif dalam menyikapi pemilu. Karena itu, tak seperti lazimnya kegiatan sosialisasi, kali ini KIP turut memfasilitasi launching antologi puisi Agusni AH, salah seorang komisioner KIP Aceh yang juga seorang sastrawan.

Sebelumnya, KIP Aceh telah melaksanakan serangkaian kegiatan guna menggaet minat pemilih pemula, seperti pentas musik, lomba mural, dan sebagainya.

“Diskusi dengan mengundang lembaga sipil dan seniman ini, juga salah satu bentuk sosialisasi kami. Dengan ini, kita perlu perlihatkan, bahwa pemilu merupakan proses demokrasi yang perlu dihadapi dengan gembira dan damai, bukan dengan permusuhan yang dipicu beda pilihan politik,” kata Samsul.

Di samping itu, dirinya tak menampik banyaknya kritik yang berseliweran di masyarakat terkait minimnya pelaksanaan sosialisasi oleh KIP. Samsul beralasan minimnya anggaran dari pemerintah menyebabkan kinerja mereka tak optimal.

Namun, tak ingin pasrah pada kendala yang ada, pihaknya berkomitmen untuk terus menyosialisasikan pentingnya memilih pada 17 April 2019 nanti.

“KIP saat ini telah memiliki sedikitnya 55 relawan demokrasi yang tersebar di 23 kabupaten/kota. Kita juga terus menjalin relasi sebanyak mungkin untuk membantu memaksimalkan kerja kita,” kata Samsul.

Terakhir ia berpesan, berpartisipasi dengan memilih dalam pemilu menjadi penting, guna mendapat sosok pemimpin yang terbaik.

“Memilih memang bukan suatu kewajiban. Tapi ketika kita tidak memilih, akan terpilih orang-orang yang tidak kompeten,” tandasnya.

Untuk diketahui, jumlah pemilih di Aceh 3.525.757 orang. Rincian, 1.735.723 pemilih laki-laki dan 1.790.034 pemilih perempuan. Para pemilih tersebar di 23 Kabupaten/Kota, 289 Kecamatan, 6.498 Gampong dan 15.616 TPS. (Fuadi)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER