Sabtu, April 27, 2024
Google search engine
BerandaTausiahMenjaga Fitrah Diri untuk Kemaslahatan Umat dan Bangsa

Menjaga Fitrah Diri untuk Kemaslahatan Umat dan Bangsa

“Idul Fitri mengandung makna kembali kepada hakikat dari manusia dan kemanusiaan”

Oleh : Buya Amirsyah Tambunan

Idul Fitri membawa pesan kemenangan yang mempunyai dua dimensi; pertama, dimensi vertikan memperkuat spritual dengan dasar iman dan taqwa (Imtaq) untuk memenangkan setiap pertarungan hawa nafsu agar taat kepada Allah dengan harapan menjadi orang yang bertaqwa (muttaqin). Kedua, dimensi sosial yakni kemenangan secara horizontal guna memperkuat kepedulian sosial dari kesalehan individual menjadi kesalehan sosial dengan berbagi antar sesama.

Gerakan ekonomi masyarakat dapat dilakukan untuk memperkuat kohesivitas (daya tarik) sosial di masa pandemi COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional agar masyarakat pedesaan memperoleh limpahan ekonomi dan keuangan dari para pemudik melalui gerakan sosial mudik ke seluruh penjuru tanah air.

Oleh sebab itu momentum Idul Fithri bagi umat Islam berarti kembali menjadi suci. Pendapat ini didasari oleh sebuah hadis Rasullullah SAW: “Barang siapa yang melaksanakan ibadah shaum selama satu bulan dengan penuh keimanan kepada Allah SWT maka apabila ia memasuki Idul Fithri ia akan kembali menjadi Fithrah seperti bayi (tiflul) dalam rahim ibunya.” (HR كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ
“Setiap anak yang lahir dilahirkan di atas fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.”

Penting di catat kata fitrah diambil dari bahasa Arab yaitu fa-tho-ro yang berarti “membuka” atau “menguak”, juga dapat diartikan sebagai perangai, tabiat, kejadian, asli, agama, ciptaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), fitrah dikaitkan dengan kata sifat, asli, bakat, pembawaan perasaan keagamaan.

Untuk itu berbuka puasa setiap hari disebut ifthar, yang secara harfiah dapat dipahami memenuhi fitrah yang suci dan baik. Secara simbolis makan dan minum yang halal dan thoyib adalah merupakan bagian dari fithrahnya yang suci. Dari sudut pandang ini kita mengerti mengapa Islam mewajibkan iktiar makan, minum, tidur, menikah, bekerja dan seterusnya secara halal dan thoyib.

Nabi SAW pernah memberi peringatan keras kepada salah seorang sahabat Utsman ibn Mazh’um, yang ingin menempuh hidup suci dengan melakukan semacam pertapaan. Nabi juga melarang keras pikiran sahabat beliau yang ingin menempuh hidup tidak menikah seumur hidup, karena menyalahi fithrah.

Idul Fithri mengandung makna kembali kepada hakikat dari manusia dan kemanusiaan. Jadi manusia diciptakan Allah dalam fitrah kesucian dengan adanya ikatan perjanjian yang kuat (mitsaaq) yang disifatkan sebagai perjanjian yang sangat kuat (Mitsaqan Ghalizon) antara Allah dan manusia sebelum manusia itu lahir ke bumi. Allah SWT mengingatkan agar manusia tetap pada fitrahnya.Qs Arrum ayat 30.

فَاَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّيْنِ حَنِيْفًاۗ فِطْرَتَ اللّٰهِ الَّتِيْ فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَاۗ لَا تَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُۙ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُوْنَۙ

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada Agama (Allah); (tetaplah atas) fithrah Allah yang telah menciptkan fithrah manusia menurut fithrah itu. Tidak ada perubahan pada fithrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”

Makna dan hakikat idul fitri paling tidak mengandung tiga arti penting, yaitu:

Pertama, hari asal kejadian manusia bagaikan manusia yang lahir kedunia ini dalam keadaan suci dan bersih, tanpa membawa dosa apapun, karena berpuasa dengan iman dan penuh perhitungan (ihtisaban) selama bulan Ramadhan.

Kedua, merayakan idul fitri (tanggal 1 Syawal) merupakan hari diwajibkan berbuka dengan makan, minum dan bergembira bagi umat Islam (yaum ukli wa syurbi wa jahbati lil muslimin) karena pada hari diharamkan untuk berpuasa pada 1 Syawal.

Ketiga, hari kemenangan bagi segenap umat Islam, karena mereka telah berjuang dengan sungguh-sungguh (berjihad) melawan kezaliman, hawa nafsunya selama satu bulan penuh. Maka pada saat idul fitri umat dan bangsa merayaan kemenangan tersebut dengan penuh rasa syukur, haru, kegembiraan dan suka-cita dengan saling memaafkan antar sesama anak bangsa.

Oleh sebab itu saya mengajak umat Islam dan seluruh berkomitmen bangsa memelihara, menjaga serta mengawal kesucian diri (fitrah) tersebut setidaknya dengan tiga sikap, yaitu:

Pertama, Ihsan adalah lawan dari sikap kejelekan (isa’ah), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak dengki, tidak khianat, tidak sombong kepada orang lain, karena prilaku ihsan merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah SWT. Ihsan terbagi menjadi dua macam, yaitu ihsan di dalam beribadah kepada Sang Pencipta (Al-Khaliq) dan Ihsan kepada makhluk semua ciptaan Allah dengan saling memaafkan lahir dan Nathan.

Kedua, bersyukur, yakni berterima kasih, senang memperoleh nikmat yang telah diberikan Allah kepadanya baik dengan lisan, hati maupun perbuatan. Nikmat berupa rezeki yang telah diberikan Allah kepada manusia tidak akan mampu menghitungnya. Sebagai wujud rasa syukur di saat bangsa ini mengalami gonjang ganjing ekonomi kita harus bekerja keras untuk melakukan pemulihan ekonomi.

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ

Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.

Ketiga, istiqamah, yakni konsisten dalam menempuh jalan Islam yang lurus (benar) dalam keyakinan (keimanan) dan kebenaran (haq) dengan tidak berpaling dari keyakinan dan kebenaran tersebut. Istiqomah dalam semua bentuk ketaatan kepada Allah lahir, batin dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya, termasuk mencegah segala macam fitnah, adu domba dari buzzer terlebih dalam menjaga kesehatan dengan cara wajib iman, wajib aman dan wajib imun dalam mencegah pandemi Covid 19. Kita optimis umat sehat, menjadi negara yang kuat untuk berdaulat. (**)

  • Penulis adalah Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER