Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh bekerja sama dengan Islamic Relief Indonesia dan Flower Aceh menggelar Workshop koordinasi penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak (KTPA) di Aceh.
Kegiatan ini bertujuan meningkatkan sinergi lintas sektor dalam upaya pencegahan dan penanganan kasus KTPA, serta membentuk forum bersama sebagai wadah koordinasi antar lembaga.
Workshop yang dilaksanakan pada Rabu (18/9/2024) di Aula DPPPA Aceh ini juga memperkenalkan Standar Operasional Prosedur (SOP) dari Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Perlindungan Perempuan dan Anak.
Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, mengatakan bahwa kolaborasi ini menjadi langkah strategis dalam memperkuat penanganan kasus kekerasan di Aceh. Menurutnya, tantangan dalam menangani kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin kompleks sehingga diperlukan koordinasi yang solid.
“Perlindungan perempuan dan anak adalah tanggung jawab kita bersama. Dengan komitmen, kerja sama, dan sinergi antar pihak, kita dapat memberikan perlindungan yang lebih baik bagi mereka,” ungkapnya.
Selain itu, Meutia juga menekankan pentingnya lima program prioritas yang menjadi fokus pembangunan perempuan dan anak di Indonesia, sesuai arahan Presiden. Salah satunya adalah menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak serta mencegah perkawinan usia dini.
Qanun Aceh: Landasan Hukum
Komitmen Pemerintah Aceh dalam menangani KTPA telah tertuang dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019. Kabid Perlindungan Hak Anak (PHA) DPPPA Aceh menegaskan bahwa qanun ini mengatur pentingnya kerja sama lintas sektor dalam memberikan layanan bagi korban, penegakan hukum, dan pencegahan kekerasan.
“Koordinasi yang baik dengan melibatkan tokoh agama, masyarakat, dan lembaga sosial dapat mencapai hasil optimal dalam penanganan dan pencegahan kekerasan,” jelasnya.
Kepala UPTD PPA DPPPA Aceh, Faulina, menambahkan bahwa kerja sama lintas sektor sangat diperlukan dalam menangani kasus KTPA. “Kami tidak dapat bekerja sendiri. Diperlukan keterlibatan semua pihak untuk memastikan penanganan yang komprehensif,” ujarnya.
Semenatara itu, Kasi tindak Lanjut Kasus UPTD PPA Aceh, Nurjanisah menegaskan, “Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah tanggung jawab semua pihak bukan hanya UPTD PPA dan DPPPA. Kami tidak dapat bekerja sendiri dalam menangani kasus dan membutuhkan keterlibatan pihak-pihak terkait dalam melakukan penanganan. Kami berharap kerja bersama ini dapat keberlanjutan”.
Akademisi UIN Ar-Raniry dan juga Tokoh Agama, Nurjanah Ismail menegaskan bahwa pemenuhan hak perempuan dan perlindungan anak dalam Islam juga dijamin.
Firdaus Nyak Idin, trainer dari Kementerian PPPA, menyoroti pentingnya pelembagaan koordinasi antar lembaga sebagai upaya meningkatkan keberhasilan penanganan kasus KTPA.
“Koordinasi antar lembaga dapat mengurangi risiko kegagalan dalam penanganan kasus,” tegasnya.
Kolaborasi Multipihak
Salah satu fasilitator dari Islamic Relief Indonesia, Abdul Razak, menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan bagian dari Project Empower yang bertujuan meningkatkan kesadaran dan advokasi terhadap kekerasan berbasis gender serta perlindungan anak.
“Program ini melibatkan tokoh agama, kader kesehatan, dan kader pendidikan sebagai penggerak utama di masyarakat, dengan fokus pada tiga strategi: kemitraan, penguatan kapasitas, dan advokasi,” jelasnya.
Workshop yang dipandu oleh Direktur Flower Aceh, Riswati menghadirkan beberapa narasumber, termasuk Faulina dari UPTD PPA Aceh, Nurjanah Ismail dari UIN Ar-Raniry, dan Firdaus Nyak Idin dari Kemen PPPA.
Kegiatan ini ditutup dengan kesepakatan pentingnya membentuk forum koordinasi perlindungan korban kekerasan sesuai mandat Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2019.
Dengan adanya forum koordinasi dan SOP yang disosialisasikan dalam workshop ini, diharapkan penanganan kasus KTPA di Aceh dapat dilakukan secara lebih terpadu dan efektif. (*)