Sabtu, Mei 18, 2024
Google search engine
BerandaTak Perlu Alergi Referendum, Karena Sudah Diatur dalam Konstitusi

Tak Perlu Alergi Referendum, Karena Sudah Diatur dalam Konstitusi

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Maraknya respon masyarakat dan tokoh Aceh terkait wacana referendum pada beberapa hari terakhir, sempat menggemparkan jagat Nusantara.

Mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa Pemuda Aceh (FPMPA), Delky Nofrizal Qutni mengatakan, referendum hal yang wajar dan dibenarkan secara konstitusi. Bahkan menurutnya tak ada larangan dalam UUPA dan undang-undang lainnya di Indonesia.

“Jika kita lihat lebih secara mendasar, referendum itu berasal dari bahasa latin atau jajak pendapat adalah suatu proses pemungutan suara semesta untuk mengambil sebuah keputusan, terutama keputusan politik yang memengaruhi suatu negara secara keseluruhan,” katanya.

Berita Terkait: Mualem dan Dua Senator Aceh Wacanakan “Referendum Jilid II”

Menurut dia, misalnya seperti adopsi atau amandemen konstitusi atau undang-undang baru, atau perubahan wilayah suatu negara. Pada umumnya, lanjut Delky, terdapat dua jenis referendum, yaitu referendum legislatif dan referendum semesta.

Referendum legislatif, ujarnya, dilakukan apabila suatu adopsi atau perubahan/pembaharuan konstitusi atau undang-undang mewajibkan adanya persetujuan rakyat seluruhnya. Sedangkan referendum semesta adalah sebuah aksi referendum yang diselenggarakan berdasarkan kemauan rakyat, yang didahului oleh sebuah aksi demonstrasi atau petisi yang berhasil mengumpulkan dukungan mayoritas.

Berita Terkait: Ketika Plt Gubernur Aceh Tanggapi Soal Referendum

“Yang ingin dilakukan di Aceh itu referendum seperti apa ya, tinggal disesuaikan keinginannya seperti apa,” paparnya.

Terkait referendum itu sendiri, kata Delky, sebenarnya tak ada larangan secara konstitusi. Toh dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum sudah diatur sedemikian rupa.

“Jadi, wacana yang dilemparkan Mualem (Muzakir Manaf) itu wacana konstitusional dan dibenarkan secara undang-undang RI sendiri. Referendum itu bagian proses demokrasi yang dibenarkan secara konstitusi di negeri ini,” kata aktivis muda Barat Selatan ini.

Pada 2014 silam, dari kalangan muda dan mahasiswa juga pernah menyampaikan usulan yang sama yakni “referendum”. Kala itu, meminta legislatif Aceh melakukan referendum terkait 3 aturan turunan UUPA yang hingga Oktober 2014 belum juga diterbitkan.

“Kala itu kita menyampaikan jika pada Februari 2015, 3 aturan turunan UUPA itu juga tak diselesaikan maka mesti digalang referendum. Kala itu kita sempat ingin tawarkan minimal dilakukan referendum legislatif.”

Namun, lanjut Delky, pada 31 Januari 2015 pemerintah pusat telah menyelesaikan 3 turunan UUPA, berupa 2 Peraturan Pusat (PP) dan 1 (satu) Perpres. Jadi, tawaran referendumnya tak perlu lagi karena tuntutannya terjawab, jelas mantan koordinator aksi FPMPA itu.

Delky menambahkan, pada tahun 2017, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) juga pernah menawarkan wacana referendum di depan sidang MK. “Jadi, referendum itu hal yang wajar dialam demokrasi ini,” sebutnya.

Terkait adanya pihak yang melaporkan Mualem (Muzakir Manaf) karena melemparkan wacana referendum, dinilai sebagai respon yang berlebihan akhibat kepanikan.

“Jadi wacana yang diutarakan Mualem itu kan dibenarkan secara undang-undang, jadi kenapa harus ada pihak yang panik dan main lapor sana sini. Wacana yang disampaikan itu kan wacana demokratis, kenapa harus risih,” katanya.

“Kalau memang diperlukan ya lakukan saja, kan kita belum tau hasilnya seperti apa. Referendum yang diwacanakan itu referendum semesta atau referendum legislatif. Tak perlu risih berlebihan lah jika konstitusi di Indonesia membenarkan jajak pendapat itu dilakukan sebagai bentuk upaya demokrasi. Jadi tak perlu alergi dengan wacana itu,” cetusnya.

Menurut Delky, biasanya isu-isu yang kental seperti ini akan diringi dengan propaganda memecah belah Aceh. Misalkan munculnya isu pemekaran wilayah dan seterusnya.

“Harapan kita masyarakat Aceh tetap kompak dan tak terpecah belah. Masalah adanya perbedaan pendapat nanti tinggal disampaikan aspirasi dan pilihannya ketika jajak pendapat (referendum) dilakukan,” imbuhnya.

Dia mengatakan, jika benar upaya referendum itu dilakukan maka hal itu bisa didaftarkan segera ke pihak terkait (Mendagri), sehingga upaya itu dapat dilakukan secara demokratis dan konstitusional.

“Masalah itu datangnya dari Mualem atas dasar apa, Mualem kan punya dalil yang kuat. Tinggal Mualem dan tokoh-tokoh Aceh yang mendukung upaya itu mendaftarkannya sesuai mekanisme dan aturannya,” lanjut dia.

Pihaknya juga meminta pihak luar Aceh tidak terlalu jauh sampai ingin melaporkan Mualem, karena itu justru semakin memperkeruh suasana alam demokrasi.

“Ini ide cerdas yang dilemparkan Mualem untuk membuka ruang demokrasi di bumi Aceh. Masalah hasilnya kan nanti dilihat seperti apa,” tandasnya. (B.01/ril)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER