Rabu, April 24, 2024
Google search engine
BerandaLaporan KhususQanun LKS, Menakar Peluang Ekonomi Aceh

Qanun LKS, Menakar Peluang Ekonomi Aceh

“Ada prinsip keadilan dalam prinsip ekonomi Islam. Pembiayaan hulu-hilir dengan pola musyarakah dan mudharabah akan lebih cepat mengakselerasi perkonomian Aceh. Qanun LKS merupakan potensi besar bagi Aceh untuk bangkit”

 

Ekonomi Provinsi Aceh dinilai bakal melesat naik bila pemerintah dan semua stakeholder di “Tanah Rencong” ini mampu mendorong sektor produktif. Mulai dari sektor pertanian, perikanan, peternakan, perkebunan, kerajinan atau yang lazim disebut industri kecil menengah (IKM), usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) hingga usaha skala besar industri dan perdagangan.

Bahkan Kepala Bank Indonesia (BI) Wilayah Aceh, Zainal Arifin Lubis, pada 23  September 2019 di Banda Aceh, mengatakan, dengan limpahan sumber daya alam yang dimiliki Aceh, provinsi ini memerlukan regulasi yang mampu memberdayakan potensi di sektor prodktif tersebut, salah satunya setelah penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) pada 2020 mendatang.

“Ada prinsip keadilan dalam prinsip ekonomi Islam. Pembiayaan hulu-hilir dengan pola musyarakah dan mudharabah akan lebih cepat mengakselerasi perkonomian Aceh. Qanun LKS merupakan potensi besar bagi Aceh untuk bangkit,” kata Zainal Arifin Lubis.

Terkait dengan kekayaan sumber daya alam Aceh, Zainal mengakui bahwa sektor perkebunan dan perikanan Aceh begitu luar biasa. Belum lagi kekayaan di sektor wisatanya yang tak kalah potensial. Dengan modal tersebut, pihak otoritas di Aceh perlu memikirkan cara mengarahkan kebutuhan pembiayaan di Aceh yang konsumtif ke pembiayaan produktif sebagaimana dia sebutkan di atas.

Untuk mewujudkannya, menurut Zainal Arifin Lubis, tentu perlu relaksasi beberapa peraturan. Seperti adanya insentif dari pemerintah daerah yang bisa berbentuk relaksasi biaya dan perpajakan, sehingga pelaku bisnis dapat menjalankan qanun LKS untuk kemajuan ekonomi di Aceh.

Pertumbuhan Ekonomi Membaik

Laporan Bank Indonesia pada Agustus 2019 menyebutkan, pertumbuhan ekonomi Aceh diprediksi akan meningkat pada triwulan III-2019. Kinerja ini ditopang oleh sektor pertanian, perdagangan, dan administrasi pemerintah dari sisi sektoral dan ditopang pula oleh konsumsi rumah tangga, investasi, dan konsumsi pemerintah dari sisi pengeluaran.

Dari sisi pengeluaran, peningkatan tersebut diprakirakan utamanya didukung oleh akselerasi pada komponen konsumsi rumah tangga dan konsumsi pemerintah. Sementara dari sisi sektoral, kinerja sektor pertanian, perdagangan, konstruksi, dan administrasi pemerintahan diyakini akan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Untuk kondisi ketenagakerjaan dan kesejahteraan masyarakat Aceh, pada triwulan-II 2019 tercatat lebih baik dibandingkan periode sebelumnya. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Provinsi Aceh hingga bulan Februari 2019 tercatat 5,53 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya (6,55 persen). Sementara itu, tingkat kemiskinan juga turun dari 15,97 persen pada Maret 2018 menjadi 15,32 persen pada Maret 2019.

Berangkat dari akumulasi itu pula, BI memprediksi perekonomian Aceh pada triwulan IV-2019 bakal lebih tinggi dibanding periode sebelumnya (yang diperkirakan 4,77-5,17% (yoy), yaitu dalam kisaran 5,52%-5,92% (yoy).

“Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 diperkirakan masih akan ditopang oleh konsumsi rumah tangga, konsumsi pemerintah, dan investasi,” kata Kepala BI Aceh, Zainal Arifin Lubis.

Adanya peningkatan kinerja ekonomi tersebut, sambungnya, sejalan dengan proyeksi peningkatan konsumsi rumah tangga dan pemerintah daerah menjelang periode akhir tahun sebagai dampak dari peningkatan realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA).

“Pada triwulan IV-2019 realisasi pembangunan dari proyek-proyek tersebut diperkirakan sudah mulai terealisasi,” imbuhnya.

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, saat acara launching di Kawasan Industri Aceh (KIA) Ladong, Aceh Besar. (Foto/Humas Pemprov)

Faktor lain yang berpengaruh terhadap akselerasi ekonomi pada triwulan IV-2019 adalah angka APBA Aceh tahun 2019 yang meningkat sebesar 13,40 persen, yakni dari Rp15,08 triliun pada tahun 2018 menjadi Rp17,10 triliun pada tahun 2019.

Peningkatan daya beli dan pendapatan masyarakat yang didorong oleh kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Aceh sebesar 13,03 persen menjadi Rp2,9 juta/bulan diperkirakan juga menjadi faktor pendorong lain yang mengakselerasi ekonomi Aceh.

Di samping komponen konsumsi rumah tangga dan pemerintah, komponen lain yang diperkirakan akan mendorong kinerja ekonomi adalah investasi, khususnya investasi berbentuk bangunan yang disponsori oleh proyek-proyek milik pemerintah. Selain itu, adanya kelanjutan pembangunan berbagai program strategis nasional (PSN), khususnya pembangunan jalan tol Banda Aceh – Sigli, Pidie.

Sampai dengan saat ini, Zainal menjelaskan, kegiatan pembangunan masih terfokus pada penyelesaian seksi-3 melalui Indrapuri hingga Blangbintang sepanjang 13 kilometer. “Di samping itu, terdapat pula program strategis nasional berupa pembangunan Waduk Keureuto yang sampai dengan saat ini masih dalam proses penyelesaian bagian bendungan inti,” ucapnya.

Beberapa investasi dari pihak swasta juga diperkirakan masih akan berlanjut pada triwulan terakhir di tahun ini. Sepanjang tahun 2019, BI mencatat jumlah tender proyek milik pemerintah tercatat sebanyak 1.373 paket kegiatan pengadaan barang/jasa dengan total nilai sekitar Rp3,5 triliun. Sementara itu, investasi dari pihak swasta pada tahun 2019 diperkirakan berasal dari pembangunan fisik berupa pendirian pabrik baru oleh perusahaan dari sektor industri pengolahan.

“Di samping itu, terdapat investasi bangunan baru di Banda Aceh dan Aceh Tengah yang berasal dari sektor jasa akomodasi dalam bentuk pembangunan parkside hotel baru,” imbuhnya.

Triwulan II, Pertumbuhan Capai 3,7 Persen

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, Wahyuddin, mengungkapkan perekonomian Aceh Triwulan II 2019 yang diukur berdasarkan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dengan memasukkan komponen migas mengalami pertumbuhan sebesar 3,71 persen, sedangkan pertumbuhan tanpa migas mencapai 3,97 persen.

Wahyudin mengatakan, angka tersebut merupakan hasil perbandingan di periode yang sama pada tahun sebelumnya (y-on-y), yakni triwulan II 2018. Dia menerangkan, pertumbuhan terjadi pada seluruh lapangan usaha, kecuali Transportasi dan Pergudangan (H), Kontruksi (F), Administrasi Pemerintahan, Pertahanan dan Jaminan Sosial Wajib (O) dan Industri Pengolahan (C) masing-masing turun sebesar 2,12 persen, 0,69 persen, 0,51 persen, dan 0,27 persen.

Lebih lanjut Wahyuddin mengatakan, dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh lapangan usaha pengadaan air sebesar 33,07 persen. Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi ada di Komponen Impor Luar Negeri sebesar 68,83 persen.

“Pengukurannya berdasarkan PDRB atas dasar harga berlaku yang mencapai Rp40,89 triliun atau sebesar 2,87 milyar USD. Sementara itu PDRB tanpa migas adalah sebesar Rp39,45 triliun atau sebesar 2,77 milyar USD,“ kata Wahyuddin, awal Agustus 2019 lalu.

Kemudian, perekonomian Aceh dengan migas triwulan II-2019 bila dibandingkan triwulan I-2019 q-to-q (quarter to quarter) mengalami pertumbuhan sebesar 3,74 persen. Sementara q-to-q tanpa migas juga mengalami pertumbuhan sebesar 4,11 persen. Dari sisi produksi pertumbuhan tertinggi juga dicapai oleh lapangan usaha pengadaan air sebesar 29,46 persen.

Dari sisi pengeluaran pertumbuhan tertinggi ada di Komponen Impor Luar Negeri sebesar 142,11 persen. Struktur perekonomian Aceh menurut lapangan usaha Triwulan II-2019 masih didominasi Lapangan Usaha Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (29,61 persen), Perdagangan Besar-Eceran dan Reparasi Mobil-Sepeda Motor (16,17 persen), Administrasi Pemerintahan (10,73 persen), dan Kontruksi (8,13 persen).

Pertumbuhan ekonomi Aceh triwulan II-2019 terhadap triwulan I-2019 diwarnai faktor musiman. Lapangan usaha Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan (A) tumbuh sebesar 1,41 persen. Pertumbuhan tertinggi terjadi pada Pengadaan Air (E) yaitu sebesar 29,46 persen, diikuti oleh Administrasi Pemerintahan (O) sebesar 17,95 persen, Jasa Pendidikan (P) sebesar 14,77 persen, Industri Pengolahan (C) sebesar 13,75 persen, dan beberapa lapangan usaha lainnya.

Sementara itu beberapa lapangan usaha yang mengalami penurunan adalah lapangan usaha kontruksi (F) sebesar 5,46 persen, pertambangan dan penggalian (B) sebesar 2,40 persen, dan transportasi dan pergudangan (H) sebesar 1,60 persen.

“Namun, penurunan beberapa lapangan usaha tersebut tidak terlalu berpengaruh sehingga secara keseluruhan pertumbuhan triwulan II-2019 tidak mengalami penurunan,” ujar dia.

Adapun sumber pertumbuhan tertinggi didominasi oleh administrasi pemerintahan (O) sebesar 1,45 persen, perdagangan besar dan eceran (G) sebesar 0,83 persen, industry pengolahan (C) sebesar 0,64 persen, dan pertanian (A) 0,40 persen. Sementara itu, sumber pertumbuhan negatif diberikan oleh kontruksi (F), pertambangan dan penggalian (B), dan transportasi dan pergudangan (H) masing-masing sebesar 0,49 persen, 0,18 persen, dan 0,12 persen.

“Secara umum perekonomian Aceh masih didominasi lapangan usaha kehutanan dan perikanan,“ tutupnya.

Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah didampingi istri, Dyah Erti Idawati, menerima kunjungan kerja Wakil Duta Besar Australia untuk Indonesia, Allaster Cox, di Rumah Dinas Wakil Gubernur Aceh. (Foto/Humas Pemprov)

Bank Harus Menyasar ke Sektor Produktif

Nova Iriansyah berkali-kali meminta kepada Bank Aceh Syariah untuk menjadi lokomotif membantu pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam mengembangkan usahanya.

“Skema usaha mikro kecil dan menengah saat ini akan menjadi andalan Aceh,” kata Plt Gubernur Aceh saat menutup Pekan Inovasi Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (PIPMG) se-Aceh di Lapangan Umah Pitu Ruang kampong Bale Atu Kecamatan Bukit, Bener Meriah, Sabtu (13/7/2019).

Nova menyebutkan, Bank Aceh Syariah adalah bank milik rakyat Aceh yang sahamnya dimiliki Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota.

“Komoditi Aceh sudah jelas, sehingga saya minta satu-satunya lembaga keuangan milik rakyat Aceh ini, yaitu Bank Aceh Syariah, yang sekarang punya aset 21 triliun rupiah, harus secara nyata membantu pengusaha mikro kecil dan menengah kita,” tegasnya.

Dengan begitu, kata Nova, anak-anak muda Aceh akan bersemangat menjadi entepreneur. Tidak lagi meminta menjadi honorer di pemerintahan, atau menjadi PNS, dan tidak lagi bekerja di tempat-tempat ilegal.

“Aceh sedang menggalakan dan memompa pengusaha muda kita. Walau skala mikro kecil sekalipun, kita dorong berkembang dan Go International,” jelas Plt Gubernur.

Sembilan Isu Strategis

Selain terkait regulasi LKS, untuk menindaklanjuti capaian pembangunan Aceh, Plt Gubernur Nova Iriansyah, dalam Rapat Koordinasi Gubernur se-Sumatera, Agustus lalu, mengusulkan sembilan isu strategis dalam rangka peningkatan perkenomian daerah.

Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Aceh, Dr Aulia Sofyan, dijabarkan bahwa sembilan program itu termasuk pengembangan Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Dataran Tinggi Gayo Alas (KPSN-DTGA), Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)/Kawasan Industri Pantai Barat Selatan (Kawasan Pelabuhan Calang, Aceh Jaya dan Kawasan Teluk Surin, Aceh Barat Daya).

“Sudah saatnya Aceh fokus pada pengembangan kawasan industri seperti daerah lainnya yang mampu menawarkan berbagai insentif dan kemudahan dalam memulai serta menjalankan usaha. Sehingga dunia perindustrian dapat berkembang lebih maju. Aceh perlu terbuka pada calon investor yang akan membantu untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi,” katanya.

Tak hanya itu, Pemerintah Aceh juga mengusulkan pembangunan Kawasan Industri Halal di Surin, Kabupaten Aceh Barat Daya dan di Kuala Langsa, Kota Langsa sebagai salah satu kegiatan strategis dalam menyusun arah pembangunan ekonomi Aceh ke depan.

Adapun usulan lainnya adalah program revitalisasi kopi Arabika Gayo dari hulu ke hilir. Mulai dari proses green-bean menuju roasting-bubuk, serta pembangunan industri galangan kapal di Lampulo, Banda Aceh.

“Juga mendorong setiap gampong agar memiliki setidaknya satu koperasi, yang terbagi di daerah terdepan, pedesaan, pesisir dan perkotaan,” lanjutnya.

Sementara terkait bidang pertanian yang selama ini menjadi penopang perekonomian di Aceh, Pemerintah Aceh mengusulkan adanya kajian formulasi terkait bagi hasil perkebunan kelapa sawit. Lainnya, kerjasama pengembangan alternatif bahan bakar dari kelapa sawit, dan kerjasama pengembangan alternatif perkerasan jalan dari karet, yang memerlukan regulasi terkait standarisasi komposisi yang ideal. (Adv)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER