Jumat, Mei 3, 2024
Google search engine
BerandaPenegakan Hukum Tambang Ilegal Dinilai Belum Tegas

Penegakan Hukum Tambang Ilegal Dinilai Belum Tegas

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Penegakan hukum penambangan emas ilegal di Provinsi Aceh dinilai masih lemah. Penetapan wilayah tambang rakyat dianggap sebagai salah satu solusi agar lingkungan Aceh tetap terjaga.

Penilaian itu mengemuka dalam diskusi “Penegakan Hukum Pelaku Tambang Ilegal di Aceh,” yang digelar Lembaga Aceh Resource & Development (ARD), di Hotel Hermes, Senin (17/4/2023).

Sekretaris Pansus Minerba DPRA, M. Rizal Fahlevi Kirani mengatakan, tambang emas ilegal telah menjadi polemik yang tidak kunjung selesai. DPRA menilai Pemerintah Aceh tidak tegas dalam menertibkan pertambangan ilegal.

“Tidak cukup hanya penindakan hukum, sebab warga bergantung hidup di sana. Harus ada solusi lain untuk menjamin keberlangsungan ekonomi warga,” katanya.

Menurutnya pemerintah harus hadir untuk mendorong tambang ilegal menjadi legal. Mekanismenya bisa dilakukan dengan membentuk koperasi hingga badan usaha.

“Pemerintah hadir agar pertambangan ilegal menjadi legal. Misal dengan mekanisme membuat koperasi, badan usaha,” kata M Rizal.

Direktur Wahana Lingkungan (Walhi) Aceh, Ahmad Shalihin mengatakan, penegakan hukum bidang pertambangan ilegal masih tebang pilih dan belum memberikan efek jera. Selain itu kerugian di bidang lingkungan juga tidak tersentuh. Ia khawatir, jika tambang ilegal terus dibiarkan, kondisi alam bakal semakin hancur.

Menurut catatan Gerakan Anti Korupsi (GeRAk) Aceh, per tahun 1,6 miliar PNBP untuk negara hilang akibat pertambangan emas tanpa izin (PETI). Koordinator GeRAk  Askhalani, mengatakan penegakan hukum tidak hanya bersifat administratif, perlu upaya memperhatikan kehidupan masyarakat. Salah satu opsi yang bisa ditempuh adalah melegalkan tambang tersebut dengan memberikan izin.

“Pemerintah perlu mendorong PT PEMA dalam hal pemodal usaha tambang di Aceh yang dapat dikerjasamakan dengan masyarakat lokal,” jelasnya.

Kasubdit Tipiter Ditreskrimsus Polda Aceh, AKBP Mulyadi mengatakan, aktivitas tambang emas ilegal masih marak. Dalam kurun tahun 2022-2023 kepolisian menangani 21 kasus perkara tambang ilegal di Provinsi Aceh.

Menurut Mulyadi, penindakan hukum bagi pelaku penambang emas ilegal ini tidak hanya dilakukan melalui mekanisme hukum, namun perlu melihat aspek dari hulu ke hilir. Salah satu solusi, lanjut Mulyadi, mendorong pemerintah daerah mempermudah izin, atau para pelaku tambang membentuk satu Bumdes.

“Contoh di Meulaboh, di satu titik pertambangan tanpa izin di Pantau Cermin, ada ribuan orang yang bergantmung hidup bekerja di tabang ilegal. Jika hanya pihak kepolisian yang turun, jika dengan kekuatan kecil bisa jadi akan membahayakan dari sisi keamanan aparat di lapangan,” tuturnya.

Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Kabid Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Khairil Basyar mengatakan, pemerintah telah hadir dalam penanganan kasus pertambangan tanpa izin (PETI). Sejak tahun 2014 telah dibuat Instruksi Gubernur (Ingub) tentang moratorium tambang, menghentikan peredaran merkuri ilegal dan lainnya.

Selain itu, kata dia, adanya imbauan bersama yang melibatkan Gubernur, Kapolda, Kajati, Pangdam, dan Wali Nanggroe, yang dilakukan secara persuasif untuk meninggalkan pertambangan ilegal tersebut.

Khairil menjelaskan, pada 2020 ada Instruksi Gubernur yang meminta Bupati/Wali Kota untuk mengusulkan wilayah yang ada di kabupaten/kota sebagai calon wilayah pertambangan rakyat (WPR).

Dalam pengusulan wilayah WPR, hal itu harus diusulkan oleh Kabupaten/Kota. Pemerintah lokal harus melakukan eksplorasi, tidak ada tumpang tindih, dan kelayakan secara ekonomis.

Selain itu, wilayah tambang sudah tidak lagi menggunakan alat berat. Semuanya harus menggunakan peralatan konvensional. Ia mengatakan, pemerintah sebenarnya sudah hadir, sehingga saat ini paling penting adalah melakukan sinergi mencari solusi. Pengajuan BPM dari Kabupaten/Kota, kemudian diajukan ke provnisi dan kemudian ke ESDM.

“Saat ini penindakan PETI bentuknya adalah penindakan pidana, pasal 161, dengan denda maksimal 100 miliar, dan hukuman maksimum 5 tahun,” sebutnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER