Sabtu, April 27, 2024
Google search engine
BerandaOpiniTempo vs Bahlil, Perlukah Tempo Meminta Maaf?

Tempo vs Bahlil, Perlukah Tempo Meminta Maaf?

Sepatutnya Tempo cukup diminta memberikan hak jawab, tidak perlu ada imbuhan harus meminta maaf.

———————–

Oleh Marah Sakti Siregar

PERNYATAAN itu mengemuka dan menjadi bahan diskusi sejumlah wartawan senior di Jakarta. Mereka merespon hasil ajudikasi Dewan Pers terkait pengaduan Menteri Investasi Dahlil Lahadalia terhadap Majalah Tempo, edisi 4-10 Maret 2024.

Ditanda tangani Ketua Dewan Pers DR Ninik Rahayu pada 18 Maret 2024, hasil ajudikasi itu dikeluarkan dalam bentuk Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi (PPR) Dewan Pers. Butir pertama dari 7 poin PPR no 7 tahun 2024 itu meminta: “Teradu (Majalah Tempo) wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu (Bahlil Lahadalia) secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima.”

Frasa harus meminta maaf itulah yang dipersoalkan. Beberapa wartawan yang kebetulan semuanya adalah para petinggi dan pengurus PWI Pusat serta Forum Pemred. Mereka sepertinya kompak. Berkeberatan dengan frasa tersebut. “Kalau melayani Hak Jawab, ok. Tapi disertai permintaan maaf, rasanya gak perlulah,” kata Rosiana Silalahi, Pemimpin Redaksi Kompas TV.

Setidaknya lima wartawan senior lain, Ilham Bintang, Wahyu Muryadi, Timbo Siahaan, Asro Kamal Rokan, ikut larut bersama Rosi dalam diskusi intensif membahas PPR Dewan Pers. Mereka bertemu usai menghadiri acara Buka Puasa Bersama yang digelar direksi PT Astra International, Tbk.

“Tadi ketika bertemu dengan Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu saya sudah langsung bilang, kok Dewan Pers malah menyalahkan media pers yang kritis melakukan kontrol sosial,” kata Timbo Siahaan, mantan Penanggung Jawab Redaksi JakTV.

Ilham Bintang, Ketua Dewan Penasihat PWI Pusat dan sebelumnya adalah Ketua Dewan Kehormatan PWI yang kritis, mengatakan dia tersentak dan terpukul ketika membaca berita beberapa media yang menuliskan judul berita yang malah mengeksploitasi diksi permintaan maaf itu.

Salah satu contoh:
“Dewan Pers Perintahkan Tempo Meminta Maaf ke Bahlil, ” judul berita RMOL.id, 18 Maret, pukul 20.41. WIB. Siapa pun yang membaca keseluruhan berita RMOL.id itu—dan juga berita sejenis lainnya di hari yang sama— akan mendapat kesan negatif.

Majalah Tempo melalui hasil Liputan Investigasinya terkait sepak terjang Menteri Investasi Bahlil Lahadalia dalam kegiatan perizinan pertambangan, telah dipersalahkan karena sudah diperintahkan harus minta maaf. Laporan Investigasinya dinilai tidak akurat dan media itu melakukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik.

Kesan negatif itu muncul karena judul dan isi berita terkait PPR Dewan Pers di sejumlah media, termasuk berita di Lembaga Kantor Berita Antara. Selain sepihak, hanya mengutip komentar Bahlil, beberapa media itu juga cuma mencuplik sepotong PPR Dewan Pers no 7 tahun 2024. Sialnya, para penulis berita media tadi pun malah keliru dalam memaknai diksi Rekomendasi Dewan Pers. Mereka menyebutkannya sebagai perintah.

Realitas itulah yang disesali para wartawan senior yang telah membaca Laporan Utama Tempo bertajuk: “Main Upeti Izin Tambang”. Juga, menyimak percakapan di siniar (podcast) YouTube Tempo: Bocor Alus Politik.

Kedua produk jurnalistik itu secara gamblang mengungkapkan aksi lancung Menteri Investasi/Ketua BKPM Bahlil Lahadalia selaku Ketua Satuan Tugas Percepatan Investasi dan Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Investasi, dalam mencabut ribuan izin usaha pertambangan di pelbagai tempat.

Langkah itu kemudian ditengarai diiringi oleh orang-orang dekatnya yang meminta upeti dan saham dari pemilik perusahaan yang izin usahanya dicabut atau dibatalkan, jika mereka mau menghidupkan lagi IUP mereka.

Seriusnya, kedua laporan jurnalistik Tempo juga menyebutkan keterlibatan Presiden Jokowi —yang dalam kaitan untuk menggiatkan investasi di dalam negeri —telah memberikan otoritas lebih kepada Menteri Bahlil lewat Keppres dan Perpres. Setidaknya ada dua Keppres dan satu Perpres sudah ditandatangani Presiden Jokowi untuk memperkuat gerak Bahlil dalam menangani investasi pertambangan dan perkebunan.

Yakni, pertama, Keppres no 11 tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi. Kedua, Keppres no 1 tahun 2022 tentang Satuan Tugas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.

Selain itu. ada juga Perpres no 70 tahun 2023 tentang Pengalokasian Lahan Bagi Penataan Investasi. Satuan tugas ini dibentuk oleh Presiden dalam rangka penataan penggunaan lahan secara berkeadilan, penataan perizinan berusaha untuk sektor pertambangan, perkebunan dan pemanfaatan hutan, serta dalam rangka meningkatkan efektivitas dan efisiensi untuk optimalisasi pemanfaatan sumber daya alam.

Semua Keppres dan Perpres yang memperkuat sepak terjang Bahlil sebagai Ketua Satgas di sektor pertambangan dan perkebunan itu, menurut Majalah Tempo, berpotensi melanggar hukum. Sebab menabrak beberapa pasal dalam UU no 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).

Misalnya, Pasal 51 dan 61 UU Minerba menyebutkan bahwa wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan batubara diberikan kepada badan usaha, koperasi, perusahaan perseorangan dengan cara lelang. Lelang seharusnya dilakukan oleh Kementerian Energi dam Sumber Daya Alam (ESDM), bukan oleh Satgas Investasi.
Selain itu, ada pasal lain juga dalam UU Minerba, yakni, pasal 119, yang memastikan bahwa pencabutan IUP dan IUPK menjadi otoritas Menteri ESDM.

Menyikapi laporan investigasi Tempo dan juga percakapan di siniar Bocor Alus Politik Tempo yang tajam mengungkapkan sepak terjangnya di sektor pertambangan, Menteri Bahlil menyampaikan keberatan dan pengaduannya kepada Dewan Pers pada tanggal 5 Maret 2024.

Menurut PPR no 7 Dewan Pers, pada intinya Bahlil mengatakan bahwa berita Teradu yang mengaitkan dirinya, sama sekali tidak berdasarkan fakta dan mengarah ke fitnah. Pengadu meyakini telah terjadi Pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. Dan itu telah mencemarkan nama baiknya.

Menindak lanjuti pengaduan tersebut, Dewan Pers telah melakukan klarifikasi pada Pengadu (diwakili Staf Khusus Menteri Investasi Tina Talisa dan sejumlah staf lainnya) dan pihak Teradu (Pemred Majalah Tempo Setri Yasra dan Penanggung jawab podcast Bocor Alus Politik Stefanus Pramono ) pada tanggal 13 dan 14 Maret 2024 di Sekretariat Dewan Pers.

Cuplikan Pengaduan Bahlil 

Mengutip risalah pemeriksaan PPR no 7 tahun 2024. Pengaduann Bahlil dan timnya cukup panjang. Mereka menyertakan sejumlah kutipan kalimat dalam berita Tempo yang disebutkan, tidak sesuai fakta dan cenderung fitnah.

Setidaknya ada 15 butir narasi keberatan Bahlil dan timnya. Antara lain, misalnya:
1) “Sebagian dari mereka mengaku izin usaha pertambangannya telah dicabut Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia. Menurut para pebisnis itu, kebijakan pencabutan IUP tebang pilih dan tak memiliki kriteria jelas.” (Hal. 36). Menurut Pengadu, kriteria pencabutan IUP sudah dijelaskan oleh Presiden RI pada 6 Januari 2022 dan Menteri Investasi pada 7 Januari 2022 berdasarkan data dari Kementerian ESDM.

2) “Menteri Bahlil mencabut izin usaha pertambangan dan perkebunan yang tak produktif dengan alasan untuk memperlancar investasi. Rencana pencabutan itu dimulai pada Mei 2021 dengan penerbitan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi.” (Hal. 36). Menurut Pengadu, Pencabutan IUP tidak berhubungan dengan Keppres No.11/2021 karena tugas Satgas Percepatan Investasi untuk memastikan realisasi investasi. Pencabutan IUP diatur dalam Keppres No.01/2022.
Selain itu, beberapa komplain lain yang berkaitan dengan potensi pelanggaran hukum yang ditulis Majalah Tempo telah melibatkan diri Bahlil dan Presiden Jokowi seperti tertulis di hal 37 dan 38:

3) “Para pengusaha bercerita bahwa orang-orang di sekeliling Menteri Investasi meminta upeti untuk menghidupkan kembali IUP yang telah dicabut. Besarannya Rp 5 sampai Rp 25 miliar dan informasi dibenarkan oleh tiga kolega Menteri Investasi….orang di sekitar Menteri Investasi juga meminta saham perusahaan yamg izinnya dibatlkan dengan.besaran 30 %.” ( hal 37). Menurut Pengadu, Teradu tidak dapat membuktikan kredibilitas narasumber dan kebenaran informasi dari narasumber tersebut.

4) “Tidak semua pengusaha bisa mendapatkan kembali IUP….Menteri Investasi berencana memberikan izin tersebut kepada pejabat yang memiliki kedekatan dengan Istana…” ( hal 38)

Terkait berita ini, Pengadu mengatakan, Teradu tidak dapat membuktikan kredibilitas narasumber dan bukti kebenaran informasi dari narasumber tersebut.

Jawaban Tempo

Merespon aduan Bahlil dan tim, Majalah Tempo, menurut berkas pemeriksaan PPR Dewan Pers juga memberi tangkisan dan penjelasan lisan dan tulisan yang singkat pada tanggal 13 dan 14 Maret 2024. Antara lain, terkait komplain di hal 37 dan 38, Teradu mengatakan:

-Memiliki informasi terkait dugaan Rp 5 sampai Rp 25 miliar dan saham oleh Pengadu, mau pun orang dekat Pengadu. Informasi itu berasal dari 11 narasumber dari kalangan pengusaha dan tiga kolega Pengadu. Semua narasumber itu tidak bersedia diungkapkan identitasnya.

-Telah melakukan konfirmasi berulang diantara para narasumbernya dan ditemukan kesamaan (konsistensi) informasi yang disampaikan antara narasumber yang satu dengan lainnya, terkait permintaan upeti dan saham oleh Pengadu mau pun orang dekatnya.

-Menemukan fakta bahwa tim Pengadu juga melakukan penelusuran izin pertambangan sampai ke bawah/ lapangan.

-Telah berusaha melakukan klarifikasi kepada Pengadu sebelum berita dimuat, namun Pengadu menolak memberikan klarifikasi.

Komplain Tambahan 

Dalam pertemuan klarifikasi di Sekretariat Dewan Pers, 13 dan 14 Maret 2024, Tim Bahlil menambahkan komplain lain lagi:

-Sampul majalah Teradu memuat informasi yang tidak benar karena menyebut, “Dengan dukungan Presiden Jokowi, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mencabut ribuan izin usaha tambang nikel”. Menurut Pengadu, izin tambang nikel yang dicabut tidak mencapai ribuan.
Berita Teradu yang diadukan tidak akurat, tidak berimbang, tidak uji informasi, beritikad buruk dan melanggar asas praduga tidak bersalah.

-Teradu tidak faham regulasi, melakukan framing, menampilkan data yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pemberitaan Teradu dan juga podcast Bocor Alus Politiknya, telah merugikan nama baiknya dan keluarga besarnya, serta memiliki dampak sosial yang besar terhadap kredibilitas Pengadu.

-Pengadu telah menerima permintaan klarifikasi dari Teradu sebelum berita dimuat.

Respon Tempo

Terhadap beberapa butir aduan baru tersebut, Teradu kemudian mengirimkan surat penjelasan tambahan tertanggal 14 Maret 2024. Antara lain:

-Kata “ribuan” dalam keterangan sampul Teradu mengacu pada jumlah IUP tambang mineral yang di dalamnya mencakup tambang nikel. Tepatnya sebanyak 1.749 IUP. Sedangkan kalimat “dukungan Presiden” dalam keterangan sampul merujuk pada dua Keputusan Presiden dan satu Peraturan Presiden.

-Kewenangan Pengadu sebagai Ketua Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Investasi dalam Keppres no 1/ 2022 dan Perpres no 70/2023 adalah memetakan lahan yang tidak produktif, mencabutnya dan menetapkan peruntukkannya. Karena itu seluruh seluruh pencabutan IUP dilakukan oleh Satgas yang dipimpin Pengadu. Teradu melampirkan contoh surat pencabutan yang ditanda tangani oleh Pengadu yang juga telah dideskripsikan dalam berita.

-Keterangan Kementerian ESDM menyatakan seluruh proses pencabutan maupun penghidupan kembali IUP sepenuhnya kewenangan BKPM/ Kementerian Investasi. Cq. Satgas Percepatan investasi.

-Teradu juga menyatakan telah melakukan usaha untuk meminta wawancara via WA, surat, dan bantuan politikus senior untuk mendapatkan konfirmasi dari Pengadu agar Pengadu menerima permintaan wawancara. Teradu mencatat sejak 15 Januari 2024, beberapa wartawannya telah mengajukan sedikit 9 kali upaya dan permintaan wawacara.

-Teradu kemudian memastikan, tujuan utama Liputan Investigasinya adalah untuk kepentingan publik dalam menjalankan fungsi kontrol sosial, terutama mengingatkan pemerintah agar tetap mengacu pada tata kelola usaha pertambangan yang baik.

Putusan Dewan Pers 

Merujuk pada semua hasil pemeriksaan itu, Sidang Pleno Dewan Pers pada tanggal 17 Maret 2024, memutuskan ajudikasi Bahlil dan Majalah Tempo sbb:

1. Serangkaian berita Teradu yang diadukan Pengadu, merupakan upaya Teradu dalam menjalankan fungsi pers yaitu melakukan kontrol sosial untuk kepentingan umum/publik sekaligus melaksanakan perannya memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui (Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 6 huruf a Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers).

2. Teradu (berita di majalah dan podcast) telah melakukan kewajiban etik melakukan konfirmasi sebagian, dan belum terkonfirmasi secara administratif. Upaya itu ditulis dalam berita sehingga pembaca tahu bahwa Teradu telah melakukan uji informasi. Secara prosedural tidak ditemukan pelanggaran Kode Etik Jurnalistik di dalam berita Teradu.

3. Penyembunyian identitas sumber utama Teradu (sumber anonim) terkait dugaan permintaan atau penerimaan upeti dan saham oleh Pengadu, telah sesuai dengan Pasal 2 Kode Etik Jurnalistik dengan penafsiran “penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.” Teradu mempunyai Hak Tolak sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (4) Undang- Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

4. Teradu melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik karena tidak akurat. Di sampul majalah Teradu tertulis “Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mencabut ribuan izin usaha tambang nikel”, padahal jumlah izin usaha tambang nikel yang dicabut hanya ratusan. Selain itu, Teradu tidak akurat dalam memberitakan tentang “Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Lahan bagi Penataan Investasi”, yang seakan-akan lelang sudah dilaksanakan (hal. 38).

5. Podcast Teradu telah memenuhi kewajiban etik, dengan menayangkan upaya-upaya konfirmasi berupa teks dalam podcast.

Rekomendasi Dewan Pers 

1. Teradu wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima.

2. Pengadu memberikan Hak Jawab kepada Teradu selambat-lambatnya tujuh hari kerja setelah menerima PPR ini.

3. Pengadu dan Teradu wajib mengacu kepada Pedoman Hak Jawab Dewan Pers (Peraturan Dewan Pers Nomor 9/Peraturan-DP/X/2008). Hak Jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dalam format ralat, wawancara, profil, features, liputan, talkshow, pesan berjalan, komentar media siber, atau format lain tetapi bukan format iklan. Pers berhak menyunting Hak Jawab sesuai dengan prinsip-prinsip pemberitaan atau karya-karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan.

4. Pengadu melaporkan kepada Dewan Pers bila pihak Teradu tidak mematuhi hasil penilaian dan rekomendasi Dewan Pers sesuai dengan Pasal 12 butir 4 Peraturan Dewan Pers Nomor 3/Peraturan-DP/VII/2017.

5. Teradu wajib melaporkan bukti tindak lanjut PPR ini ke Dewan Pers selambat- lambatnya 3 x 24 jam setelah Hak Jawab dimuat.

6. Apabila Pengadu tidak memberikan Hak Jawab dalam batas waktu pada butir 2, maka Teradu tidak wajib untuk memuat Hak Jawab.

7. Pengadu sebagai pejabat publik diharapkan untuk lebih terbuka terhadap pers agar tercipta keberimbangan, keakuratan dalam pemberitaan dan terhindar dari penghakiman.

Telaah

Setelah meyimak secara keseluruhan isi PPR Dewan Pers no 7 tahun 2024 maka kita dapat membaca bahwa sesungguhnya kesimpulan akhir hasil pemeriksaan dan analisa Komisi Pengaduan Dewan Pers dirumuskan dalam 5 (lima) Putusan dan 7 (tujuh) Rekomendasi.

Dan dari lima butir Putusan, empat butir di antaranya, yakni, butir 1, 2, 3, dan 5, sepenuhnya membenarkan Tempo dan siniar Bocor Alus Politiknya. Hanya butir ke-4, yang menyebut dan menyatakan Teradu melanggar Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik karena tidak akurat. Di sampul majalah Teradu tertulis “Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mencabut ribuan izin usaha tambang nikel”, padahal jumlah izin usaha tambang nikel yang dicabut hanya ratusan (tidak dituliskan angka pastinya).

Selain itu, Teradu dinilai tidak akurat dałam memberitakan tentang “Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Lahan bagi Penataan Investasi”, yang seakan-akan lelang sudah dilaksanakan (hal. 38).

Itulah dua kesalahan atau ketidakakuratan Majalah Tempo– yang janggalnya– kemudian seperti menjadi benang merah dari isi Rekomendasi Dewan Pers yang dinilai para wartawan senior bernuansa menghukum Majalah Tempo dan memenangkan lawannya (Pengadu). Terutama jika dibaca butir 1 Rekomendasi:

“Teradu wajib melayani Hak Jawab dari Pengadu secara proporsional, disertai permintaan maaf kepada Pengadu dan masyarakat pembaca, selambat-lambatnya pada edisi berikutnya setelah Hak Jawab diterima.”

Diksi “meminta maaf” yang dikenakan Dewan Pers kepada Majalah Tempo, yang dibunyikan senafas dengan kewajiban memberikan hak jawab kepada Menteri Investasi/ Ketua BKPM Dahlil Lahadalia, sangat terasa memberatkan dan kurang tepat alias berlebihan. Paradoks dengan isi 4 butir Putusan PPR 7 yang membenarkan Majalah Tempo dan siniar Bocor Aluś Politiknya.

Tanpa Unsur Pemberat 

Dengan kata lain, sepatutnya Tempo cukup diminta memberikan hak jawab. Tidak perlu ada imbuhan harus meminta maaf.

Sebab, jika merujuk kebiasaan di Dewan Pers pada setiap kali ditemukan kasus pelanggaran Kode Etik Jurnalistik, frasa “diserta permintaan maaf” baru dibebankan kepada Teradu jika ditemukan adanya unsur pemberat dalam pelangggaran pasal-pasal dalam KEJ. Misalnya, media atau wartawannya beritikad buruk, menafikan sama sekali kewajiban verifikasi, dll.

Unsur-unsur pemberat yang biasa jadi pertimbangan ketika Dewan Pers mengenakan tambahan keharusan Teradu Tempo untuk meminta maaf tidak ditemukan dalam risalah hasil pemeriksaan seperti dibeberkan dalam PPR Dewan Pers no7 2024.

Lalu, apa pertimbangan dan alasan Dewan Pers menyertakan frasa minta maaf? Ketua Komisi Pengaduan Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan frasa itu sengaja dibuat sebagai pesan untuk semua media.

“Agar nantinya semua media bisa benar-benar akurat dałam menyiarkan berita. Kami ingin menjadikan ketidakakuratan yang dilakukan Majalah Tempo sebagai contoh. Bahwa media sekelas Tempo saja, kalau tidak akurat akan diminta memberikan Hak Jawab dan meminta maaf,” kata Yadi.

Dia mengatakan bahwa jika membaca keseluruhan PPR no 7 tahun 2024, Dewan Pers sebenarnya tidak menyalahkan Tempo. “Secara substansial seluruh hasil liputan investigasi Tempo, bagus. Dari mulai peliputan, ikhtiar mengejar narasumber untuk wawancara dan sampai penulisannya. Semua ok.”

Yadi mengakui Dewan Pers memang menerima dan mendengar reaksi keberatan dan protes dari sejumlah wartawan senior.

Dia juga mengakui di Sidang Pleno Dewan Pers pun frasa permintaan maaf itu tidak bulat disetujui semua (9) Anggota Dewan Pers. Hanya tujuh anggota yang hadir di Pleno.
Dua orang tidak hadir. Yaitu, Arif Zulkifli (mewakili AJI, Tempo) dan Asmono Wikan (mewakili SPS). Dari anggota yang hadir, enam anggota, termasuk ketua dan wakil ketua Dewan Pers menyetujui dimasukkannya frasa minta maaf itu . Hanya satu anggota, yakni, Atmadji Sapto Anggoro (mewakili tokoh masyarakat) yang menampiknya.

“Isi liputan Tempo adalah kontrol sosial yang bagus. Jika ada ketidakakuratan kecil ya dikoreksi saja dalam Hak Jawab,” tukas mantan wartawan, yang juga Ketua Komisi Penelitian, Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers.

Apa pun, reaksi sejumlah wartawan senior atas PPR Dewan Pers no 7 tahun 2024, bisalah ditangkap sebagai pantulan keresahan para jurnalis dalam menyikapi makin lemahnya pengawasan atas penyelenggaraan negara saat ini. Pelanggaran hukum dan etika terus terjadi dalam skala yang ugal-ugalan.

DPR sudah seperti lembaga negara yang lumpuh dan tidak berdaya. Terutama dalam menghadapi aksi pelanggaran hukum dan etika yang telah dilakukan Presiden Jokowi dan para pembantunya. Apa yang diungkapkan Majalah Tempo di sektor investasi dan perizinan pertambangan adalah sekelumit fakta telanjang atau bukti bagaimana pemerintah atau eksekutif kini makin menjadi kekuatan yang tak tersentuh dan tidak terawasi.

“Kontrol sosial pers pun sekarang terasa kian langka dilakukan. Kita memuji dan berharap Tempo yang saat-saat ini masih aktif melakukannya, tidak ikut dilumpuhkan. Apa yang dikenakan Dewan Pers terhadap Tempo bisa mengarah pada pelemahan atau pelumpuhan atas fungsi kontrol sosial pers,” ujar Asro Kamal Rokan, wartawan senor yang pernah memimpin koran Republika, LKBN Antara dan koran Jurnal Nasional.

Ilham Bintang bahkan mengingatkan Ketua Dewan Pers melalui chat WA.
“Laporan investigasi pers tidak bisa dibatalkan hanya karena di dalamnya ada unsur kekurangcermatan/kurang akurat. Apalagi, kekurangan dimaksud sifatnya teknis. Seperti yang terjadi di dalam laporan utama Majalah Tempo yang diadukan oleh Bahlil Lahaladia, Menteri Investasi RI di Dewan Pers.

Tempo menulis angka “ribuan perusahaan tambang” yang dinilai DP tidak akurat, sepatutnya hanya diminta untuk menyiarkan hak jawab menurut fakta yang dimiliki pihak pengadu. Tapi kewajiban itu pun harusnya batal karena pihak Tempo sudah meminta konfirmasi namun tidak dilayani oleh pengadu.

Maka, menurut saya, penilaian DP atas Tempo yang dituduh melanggar kode etik dan merekomendasikan Tempo memuat hak jawab dan meminta maaf kepada publik dan Menteri Bahlil sebuah putusan yang berlebihan.

Putusan itu mereduksi peran pers dan berpotensi mengancam kemerdekaan pers yang seharusnya justru harus dilindungi Dewan Pers. Kritik itu dikirim Ilham minggu lalu, lewat tengah malam, setelah menunaikan Salat Tahajjud. “Supaya lebih nyerep,” ucap mantan Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat dua priode itu. (**)

  • Penulis adalah wartawan senior dan Ketua Komisi Pendidikan dan Pelatihan PWI Pusat.
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER