Banda Aceh (Waspada Aceh) – Usai Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN) menolak upaya banding yang diajukan masyarakat Beutong Ateuh Banggalang beberapa pekan lalu, kali ini Pemerintah Aceh melancarkan Judicial Review terhadap aturan perizinan PT Emas Mineral Murni (EMM) ke Mahkamah Agung RI, Kamis (26/9/2019).
Biro Hukum Sekretariat Daerah Aceh, lebih jelasnya menggugat Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2015, tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Perizinan Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara Dalam Rangka Pelaksanaan Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (Permen ESDM).
Kepala Biro Hukum, Amrizal J. Prang, didampingi Karo Humpro, Muhammad Iswanto menjelaskan, yang menjadi objek gugatan adalah Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 7 Permen ESDM, berkaitan pendelegasian oleh Menteri ESDM kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), terhadap penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mineral dan Batubara, yang keberlakuannya selain secara nasional juga termasuk untuk wilayah Aceh.
“BKPM pada 19 Desember 2017, telah menerbitkan Surat Keputusan tentang Persetujuan Penyesuaian Peningkatan Tahap Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Untuk Komoditas Emas kepada PT EMM,” terang Amrizal.
Secara materiil, ketiga pasal tadi dinilai kontradiksi dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA), bahkan bertentangan juga dengan Pasal 18B Ayat (1) UUD RI 1945.
Amrizal menjelaskan, ada pasal 7 UUPA yang mengatur kewenangan-kewenangan Pemerintahan Aceh dan Pasal 156 yang berisi: Pemerintah Aceh berwenang mengelola sumber daya alam di darat maupun laut wilayah Aceh, antara lain: eksplorasi dan eksploitasi pertambangan mineral, batu bara, dan panas bumi dan dapat dilakukan oleh BUMN, BUMD, Koperasi, Badan Usaha swasta lokal, nasional, maupun asing.
“Bahkan juga bertentangan dengan Pasal 165 berbunyi: Pemerintah Aceh memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, yang berhak memberikan izin eksplorasi dan eksploitasi pertambangan umum,” ujarnya.
Sementara mengacu pada UUD RI 1945, Permen ESDM tersebut kontradiksi dengan Pasal 28D ayat (1), yang mengakui adanya daerah khusus dan istimewa, seperti Aceh, dan Pasal 28D ayat (1) terhadap kepastian hukum keberlakuan UUPA dan peraturan khusus lainnya.
Sementara secara formil, proses penetapan Permen ESDM juga kontradiksi dengan: 1) Pasal 8 Ayat (3) UUPA; 2) Pasal 9 huruf b dan Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2015 tentang Kewenangan Pemerintah yang Bersifat Nasional di Aceh; dan, 3) Pasal 7 Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Konsultasi Dan Pemberian Pertimbangan Atas Rencana Persetujuan Internasional, Rencana Pembentukan Undang-Undang, dan Kebijakan Administratif yang Berkaitan Langsung dengan Pemerintahan Aceh, yang substansi berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh.
“Maka proses penetapannya niscaya melalui konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh. Realitasnya, Menteri ESDM tidak melakukan konsultasi dan pertimbangan dengan Gubernur Aceh,” tukas Amrizal.
Berdasarkan landasan-landasan tadi pula, menurutnya, Plt Gubernur Aceh memiliki landasan hukum (legal standing) untuk melakukan gugatan Judicial Review terhadap Permen ESDM tersebut. Dia kembali mengingatkan, agar ada kepastian hukum dan penghormatan terhadap kewenangan khusus yang secara atributif diperintahkan oleh UUPA dan peraturan khusus lainnya.
“Maka harusnya dipatuhi dan diimplementasikan oleh Menteri ESDM, untuk dikonsultasikan dan mendapat pertimbangan Gubernur Aceh, sehingga tidak diberlakukan atau dikecualikan terhadap Aceh.”
Pemerintah Aceh berharap Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Judicial Review tersebut. Sehingga, untuk penerbitan IUP Mineral dan Batubara oleh BKPM bisa dikecualikan bagi wilayah teritorial Aceh. (Fuadi/ks)