Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan Computerized Tomography Scanner (CT Scan) Rumah Sakit Umum Zainal Abidin, Banda Aceh, telah dijadikan bahan koordinasi dan supervisi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kadiv Advokasi Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Hayatuddin Tanjung, Kamis (4/4/2019) mengatakan, pihaknya sudah menerima tanggapan mengenai permohonan mereka agar kasus ini diambil alih KPK.
Sebelumnya, GeRAK Aceh menyurati KPK melalui surat nomor 020/B/G-Aceh/II/2019, tertanggal 8 Februari 2019 perihal permohonan pengambil-alihan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi CT Scan RSUZA. Permintaan pengambilalihan penanganan perkara tahun anggaran 2008 sebesar Rp39 miliar lalu ditanggapi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam surat tanggapan KPK nomor R/1338/PM.00.00/40-43/03/2019 itu disampaikan bahwa, pengaduan GeRAK Aceh itu dijadikan sebagai bahan koordinasi dan supervisi.
“Kami sudah terima surat tanggapan dari KPK terkait pengambilalihan penanganan kasus, permohonan GeRAK Aceh itu sudah dijadikan sebagai bahan koordinasi dan supervisi oleh KPK,” kata Hayatuddin Tanjung dalam siaran persnya.
Semula, permohonan pengambilalihan kasus yang sedang ditangani Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh itu kepada KPK dilakukan, mengingat adanya kabar pengusulan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang diteruskan kepada Kejaksaan Agung sebagaimana pemberitaan media massa pada 23 Januari 2019 lalu.
“Atas dasar informasi tersebut lah kita surati KPK agar segera mengambil alih penanganan kasus CT Scan RSUZA ini,” tuturnya.
Menurut Hayatuddin, pengusulan SP3 itu dapat bertentangan dengan prosedur hukum UU Nomor 31 tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Dimana dapat dijelaskan bahwa sesuai dengan pasal 2 dan 3, pengembalian kerugian keuangan negara tidak menghapuskan perbuatan dan delik formil dari tindak pidana yang dilakukan oleh para tersangka.
“Untuk itu, jika alasannya karena tersangka sudah mengembalikan kerugian keuangan negera, kemudian Kejati Aceh mengusulkan untuk menghentikan perkara, ini tidak logis, dan patut diduga adanya potensi lain yang sarat dengan kepentingan,” ujarnya.
Kejati Aceh sebelumnya juga telah menetapkan tiga tersangka baru, yakni Ketua Pokja SU, dan sekretaris Pokja Mhr dan BI, Kuasa Direktur CV MIP. Dalam kasus ini negara mengalami kerugian senilai Rp15,3 milliar. (Fuadi)