Banda Aceh (Waspada Aceh) – Warga Kemukiman Lampuuk, Kabupaten Aceh Besar, meminta pemerintah meninjau ulang rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di kawasan Gunung Lampuuk.
Proyek diperkirakan mencaplok lahan seluas 2.874 hektare itu dinilai mengancam ruang hidup masyarakat dan ekosistem lokal.
Pembangunan kincir angin ini disebut berdampak langsung bagi masyarakat kemukiman Lampuuk. Tokoh masyarakat Lampuuk, Khairuddin alias Agam, menegaskan warga tidak menolak energi terbarukan, tetapi menolak pembangunan yang dilakukan tanpa melibatkan masyarakat.
“Kami tidak anti energi bersih. Tapi kenapa harus dibangun di atas tanah kami tanpa musyawarah? Kami baru tahu setelah semua diputuskan,” kata Agam dalam media briefing yang digelar Solidaritas Perempuan Bungong Jeumpa Aceh di Banda Aceh, Rabu (24/6/2025).
Kawasan ini bukan sekadar hamparan perbukitan. Bagi warga Lampuuk, Gunung Lampuuk adalah simpul kehidupan. Tiga lanskap, laut, gunung, dan sawah disebut sebagai “wilayah seri musim”, karena menjadi penyangga sekaligus penopang ekonomi warga sepanjang tahun.
“Kalau satu saja rusak, maka siklus hidup masyarakat ikut goyah. Tidak ada lagi yang bisa disebut ‘seri musim’,” kata nya.
Menurut Agam, Gunung Lampuuk sebelumnya dikelola sebagai hutan adat dan kebun warisan warga. Namun belakangan, statusnya berubah menjadi hutan lindung tanpa sosialisasi dari pemerintah. Perubahan itu berdampak langsung pada akses dan hak atas tanah masyarakat.
“Sekarang masyarakat tak bisa lagi mengurus sertifikat tanah karena sudah masuk wilayah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Tak ada pemberitahuan, apalagi musyawarah,” katanya.
Tak hanya soal legalitas lahan, warga juga cemas terhadap dampak lingkungan dari proyek ini. Ekosistem Gunung Lampuuk yang menjadi sumber ekonomi warga seperti pohon durian, cengkeh, kopi, hingga sarang burung wallet terancam hilang akibat pengerukan lahan.
Di kawasan Goh Mane, lokasi yang akan digarap, terdapat kebun produktif dan tebing yang secara adat dianggap sebagai penyangga gunung dari bahaya longsor. Pengrusakan wilayah itu dikhawatirkan meningkatkan risiko bencana.
“Ada prinsip Tabeng Angen, larangan menebang pohon tua di hutan. Itu bagian dari kearifan lokal untuk menjaga keseimbangan alam,” jelas Agam.
Menurutnya, prinsip ini termaktub dalam berbagai hikayat yang menjadikan pohon dan hutan sebagai penopang kehidupan.
SP Aceh juga mencatat, kawasan tersebut menjadi habitat bagi 25 spesies burung langka, lima jenis kelelawar, serta 22 pohon endemik yang sebagian besar berstatus terancam punah.
SP menilai, pembangunan turbin memicu erosi, tanah longsor dan dampak visual seperti shadow flicker dan noise pollution (frekuensi rendah) yang bisa berdampak hingga radius 20 km. Bayi, ibu hamil dan masyarakat umum akan terdampak oleh kebisingan ini.
Sementara itu, dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) juga dipertanyakan. Warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses penyusunannya dan belum pernah melihat isi dokumen tersebut. Pansus DPRK yang sempat dibentuk untuk mengkaji proyek ini pun tidak pernah mempublikasikan hasil kerjanya.
Perempuan Paling Rentan
Ummi Kalsum, tokoh perempuan akar rumput Lampuuk, menyebut perempuan terutama kepala keluarga sebagai kelompok yang paling terdampak oleh proyek ini. Ia mengibaratkan, jika proyek ini bak berlian, hanya segelintir yang menikmati. Tapi jika seperti garam, manfaatnya bisa dirasakan semua kalangan.
“Saya sudah tinggal di sini bahkan sebelum tsunami. Kami hidup dari hasil hutan. Sekarang, semuanya mulai berubah,” katanya.
Menurut Ummi, banyak perempuan tak tahu bahwa status hutan telah berubah. Padahal, mereka bergantung pada hutan untuk mencari bahan makanan dan penghasilan harian. “Kalau nanti resmi jadi kawasan industri atau hutan lindung, memetik daun saja bisa dilarang,”jelasnya.
Ummi menyebut, meski dampaknya belum terasa penuh, perubahan ini akan menghantam perempuan secara perlahan. Minimnya sosialisasi memperparah situasi. “Saya sendiri belum siap secara sosial. Apalagi perempuan lain yang belum mendapat informasi,” tuturnya.
Ia menolak jika tanah kelahirannya hanya dijadikan sumber listrik untuk kepentingan luar. “Biar saja tidak jadi berlian, yang penting tetap seperti garam, bisa dirasakan siapa saja, termasuk kami,” ujarnya.
Transisi Energi yang Adil
Koordinator Program Solidaritas Perempuan Aceh, Yeni Hartini, menyatakan pihaknya bersama warga akan terus mengadvokasi ke pemerintah kabupaten dan provinsi.
“Kami mendukung transisi energi, tapi bukan dengan cara menyingkirkan masyarakat adat. Proyek ini harus adil, partisipatif, dan menghormati hak-hak warga,” kata Yeni.
Warga berharap pemerintah pusat dan daerah segera mengevaluasi rencana pembangunan PLTB di Gunung Lampuuk. Mereka tak ingin pembangunan justru menghancurkan ruang hidup dan warisan leluhur mereka.
“Kami tidak menolak kemajuan. Tapi jangan sampai atas nama pembangunan, sumber penghidupan masyarakat justru dirampas,” katanya. (*)