“Perceraian dapat menurunkan kualitas hidup keluarga, serta mengganggu pendidikan dan pemenuhan gizi anak”
Kasus perceraian di Aceh sejak tahun 2018-2022 terus meningkat. Berdasarkan jumlah putusan cerai talak dan gugat cerai yang dikeluarkan oleh Mahkamah Syariah Aceh, tahun 2018 sebayak 5.169 putusan, di tahun 2019 meningkat menjadi 6.084 putusan, di tahun 2020 meningkat lagi sebanyak 6.090.
Di tahun 2021 meningkat signifikan menjadi 6.448 dan di tahun 2022 sebanyak 6.916. Angka ini terus meningkat walaupun di tahun 2023 turun menjadi 6.091.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, mengatakan sejak tiga tahun terakhir, cerai gugat (gugatan cerai yang diajukan oleh istri) lebih banyak dari cerai talak.
“Di tahun 2021 sebanyak 4.974 perempuan gugat cerai suami, di tahun 2021 sebanyak 5.292 istri gugat cerai suami dan di tahun 2023 sebayak 4.726 istri gugat cerai suami,” jelasnya di Banda Aceh.
RN (40) ibu dari dua anak, memutuskan bercerai dari suaminya setelah menghadapi masalah yang berkepanjangan.
Keputusan ini diambil setelah ia merasa tak lagi mendapatkan dukungan, baik secara ekonomi maupun emosional, dalam rumah tangganya. Selain itu, komunikasi yang buruk dan perselingkuhan suaminya menjadi pukulan berat bagi RN.
“Saya sudah berusaha bertahan untuk anak-anak. Tapi, saya tak bisa terus hidup dalam hubungan yang tidak sehat,” ujarnya kepada waspaaaceh.com, Jumat (1/11/2024).
RN menceritakan, awalnya ia berusaha mempertahankan rumah tangganya meskipun suaminya sering mengabaikan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga. Namun, rasa kecewanya semakin bertambah saat mengetahui suaminya terlibat hubungan dengan wanita lain.
“Sulit sekali untuk mengambil keputusan ini. Tapi saya harus memikirkan masa depan anak-anak,” tuturnya.
Setelah perceraian, dia kini berperan sebagai ibu sekaligus kepala keluarga. Ia menjalani hari-harinya dengan berjuang memenuhi kebutuhan kedua anaknya, meski terkadang harus menahan beban sendirian. Dia berharap keputusannya dapat memberi anak-anaknya lingkungan yang lebih baik dan stabil.
“Saya ingin anak-anak tumbuh dalam suasana yang bahagia, tanpa ketegangan yang dulu sering terjadi,” ungkapnya.
Sebelumnya, Panitera Muda Hukum Mahkamah Syar’iyah Aceh, Ilyas, mengungkapkan penyebab perceraian di Aceh bervariasi. Faktor-faktor tersebut antara lain pertengkaran yang berlangsung terus menerus, pengabaian salah satu pihak, masalah ekonomi, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Ilyas juga menyoroti penggunaan media sosial sebagai pemicu konflik di kalangan pasangan suami istri, yang sering kali berujung pada permasalahan hukum di mahkamah.
“Kadang suami tidak pulang-pulang, atau istri terlalu sibuk dengan urusannya sendiri sehingga mengabaikan anak dan suami,” ujarnya.
Dia berharap angka perceraian di Aceh dapat terus menurun, agar tidak ada pihak yang menjadi korban, terutama anak-anak yang sering kali terjebak dalam situasi ini. (*)