Banda Aceh (Waspada Aceh) – Universitas Syiah Kuala (USK) melalui Sidang Terbuka Senat Akademik Universitas mengukuhkan Prof Dr dr M Yani MKes PKK SpKKLP sebagai guru besar di perguruan tinggi tersebut.
Pengukuhan berlangsung di Gedung AAC Dayan Dawood, Kampus Darussalam, Kopelma, Banda Aceh, Selasa (19/12/2023), dihadiri Kepala Perwakilan BKKBN Aceh Safrina Salim.
Kemudian, Kaper BKKBN Jawa Tengah Eka Sulistia Ediningsih, Direktur Advokasi dan Hubungan Antar Lembaga BKKBN RI Wahidah P, Direktur Bina Akses Pelayanan KB BKKBN RI Zamhir Setiawan.
Serta Ketua Harian Pimpinan Saka Kencana Tingkat Nasional, Hernalom Gultom, dan Ade, Komisaris PT Weltek Healthin Indonesia/Aplikasi Bubidan Jakarta.
Selain Prof M Yani, ada lima profesor baru yang merupakan para pakar dari berbagai bidang keilmuan yang turut dikukuhkan. Lima profesor baru tersebut yakni Prof Nazli, Prof Dr Sofyan A Gani, Prof Wildan, Prof Nur Fadli, dan Prof Muslim. Pengukuhan dipimpin Ketua SAU Prof Abubakar,
Rektor USK Prof Marwan menyebutkan hingga penghujung tahun ini, USK telah mengukuhkan sebanyak 52 profesor. Enam di antaranya dikukuhkan Selasa (19/12/2023) dan enam profesor lainnya, dikukuhkan pada Rabu (20/12/2023).
Rektor berharap para profesor di USK mampu mengangkat martabat kampus berjuluk jantong hate rakyat Aceh ini serta Indonesia di pentas dunia melalui kepakaran mereka masing-masing.
Termasuk yang dikukuhkan Prof M Yani yang selama ini telah memberi perhatian serius terhadap pelayanan kesehatan pada pelaksanaan jaminan kesehatan Aceh (JKA), katanya.
“Keterlibatan Prof Yani terhadap layanan kesehatan JKA ini bukan hanya terkait menginisiasi program ini, tapi juga mengevaluasi serta meneliti equity atau pemerataan layanan kesehatan dalam pelaksanaan JKA di Aceh,” sebut Rektor.
Program JKA diluncurkan pada tahun 2010 dan telah menjangkau sebanyak 3,8 juta dari 4,8 juta penduduk Aceh. Di mana saat itu, pegawai negeri dan pegawai swasta telah terlebih dulu memiliki jaminan kesehatan seperti Askes dan Jamsostek.
Kala itu, Aceh berhasil menjadi provinsi pertama di Indonesia yang mencapai Universal Coverage dalam jaminan kesehatan.
Dalam kajiannya, Prof Yani tidak hanya menemukan beberapa keunggulan JKA. Tapi beliau, juga menemukan beberapa kelemahan JKA yang perlu untuk kita evaluasi bersama. Untuk itulah, ini perlu segera ditindaklanjuti khususnya bagi pemangku kebijakan.
Sementara itu, Prof Yani, dalam pemaparannya, menjelaskan dari hasil penelitian pada 2014 hingga 2016 dan melanjutkan di 2021 ternyata Jaminan Kesehatan Aceh ini masih dinikmati terutama oleh mereka yang tinggal di ibu kota khususnya Banda Aceh dan mereka yang tinggal dua jam paling jauh dari ibu kota Provinsi Aceh.
Menurut Prof Yani, ada beberapa alasan yang menyebabkan akses layanan JKA menjadi terhambat salah satunya selain jarak, ketersediaan dokter spesialis yang kurang, dan tempat tidur di rumah sakit kurang.
Ia menyebutkan pada 2016, rasio dokter spesialis hanya bertambah 0,1 persen dan saat ini menjadi 0,19 persen per 1000 jumlah penduduk.
“Artinya masih jauh dari standar yang ditetapkan. Dana otsus kita tinggal satu persen hingga 2027. Bagaimana JKA yang akan datang? Tentunya jika tidak ada terobosan baru, jika ini dibiarkan, JKA akan terhenti.”
“Ada beberapa solusi yang kami tawarkan, pertama mereka yang mampu dan kaya tidak lagi ditanggung oleh pemerintah. Mereka harus berkontribusi di dalam membayar dengan mekanisme yang baik.”
“Ini mengapa saya katakan equity atau pemerataan layanan kesehatan dalam pelaksanaan JKA di Aceh, menjadi solusi, jika nanti tidak ada lagi dana otsus, namun pelayanan kesehatan tetap berlanjut dan tentu perlu menjadi perhatian kita,” pungkasnya.
Prof Yani pernah menjabat sebagai Kepala Perwakilan BKKBN Aceh, juga pernah sebagai Deputi KSPK BKKBN RI. Sekarang masih menjabat sebagai Ketua Pinsaka Kencana Nasional. (*)