Rabu, April 17, 2024
Google search engine
BerandaWanita Sabang, Tjut Sugandawaty Dhojan, Dikukuhkan Jadi Guru Besar Ekologi UGM

Wanita Sabang, Tjut Sugandawaty Dhojan, Dikukuhkan Jadi Guru Besar Ekologi UGM

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Melalui sidang senat terbuka Dewan Guru Besar Universitas Gadja Mada Jogyakarta, Senin (21/9/2020), Prof Dr Tjut Sugandawaty Dhojan, dikukuhkan sebagai Guru Besar Ekologi di universitas terbaik di negeri ini.

Sidang terbuka yang disiarkan lewat kanal youtube UGM, wanita asal pulau Weh Sabang, Provinsi Aceh, ini membacakan pidato pengukuhan berjudul; “Krisis Ekologi, Tantangan dan Peluang,”  selama lebih 30 menit di kampus ternama tersebut.

Sidang pengukuhan ini tetap menerapkan protokol kesehatan. Tamu dan undangan kehormatan yang hadir mengenakan masker dan duduk berjarak.

Wartawan Waspada Aceh, Aldin NL, salah satu tamu yang diundang Prof Dr Tjut Suhandawaty, mengikuti prosesi pengukuhan Guru Besar lewat kanal youtube UGM.

Selain Waspada, turut diundang wartawan BBC London. Sementara dari pejabat Aceh, antara lain diundang mengikuti pengukuhan guru besar itu, yakni, Plt Gubernur Aceh, Nova Iriansyah, Wali Kota Sabang, Nazaruddin dan Rektor Unsyiah, Prof Dr Syamsul Rizal.

Pihak rektorat yang turut hadir dalam acara ini, Ketua Dewan Guru Besar UGM, Sekretaris Dewan Guru Besar UGM, Rektor UGM, Ketua Senat Fakultas Biologi UGM dan Dekan Fakultas Biologi UGM.

Selain itu, Prof. Siti Malkhamah, Prof. Radianta Triatmadja, Prof. Wayan Tunas Artama, Prof. Satyawan Pudyatmoko, Prof.L. Hartanto Nugroho, Prof. Purnomo, Prof.Endang Semiarti.

Ancaman Global

Dalam pidato pengukuhan Guru Besar Ekologi UGM, alumni SDN 1 Sabang, SMPN Sabang dan SMAN Darusalam, Banda Aceh, dan alumni S1 UGM itu mengangkat tema Krisis Ekologi, Tantangan dan Harapan.

Suasana Sidang Senat Dewan Guru Besar UGM terkait pengukuhan Guru Besar Ekologi UGM Prof Dr Sugandawaty Djohan, Senin (21/9/2020) di UGM. (Foto/Ist)

Judul ini menggambarkan bahwa kerusakan ekosistem terjadi dalam landscape-seacape dan menjadi ancaman dalam skala global.

Kerusakan ekologi atau bencana ekologi sering menjadi pemberitaan di koran hampir setiap hari. Kerusakan di berbagai ekosistem bahkan sudah dilaporkan sejak Millenium Ecosystem Assessment (MA) pada tahun 2001 yang menunjukkan lebih dari 60% ekosistem global dalam keadaan terdegradasi.

Saat ini, kata Tjut Sugandawaty, kondisi ekosistem terus mengalami tekanan dan perubahan iklim mempurburuk keadaan.

Kekeringan dan banjir menjadi bencana kembar setiap tahunnya. Kerusakan ekosistem hutan hujan dan hutan gambut tersebut dalam skala luas sangat berpengaruh pada perubahan iklim, El Nino dan La Nina, sehingga terjadi peningkatan suhu ekstrim, musim hujan ekstrim basah dan musim kemarau ekstrim kering.

Kondisi yang sangat kritis ini, menurut Guru Besar Ekologi, ini menuntut kita sebagai masyarakat dunia memahami ekologi, apapun bidang kita. “Mengapa kita perlu ekologi? karena kita hidup pada abad ekologi, dan kita harus belajar tentang ekologi,” pungkasnya, menyadur pernyataan dari Krebs tahun 2014.

Hal ini karena apa yang buruk terhadap keanekaragaman hayati juga buruk untuk populasi manusia, karena manusia tergantung pada jasa ekosistem.

Pada satu sisi, kata wanita kelahiran Sabang, 12 September 1957 ini, kita juga wajib untuk terus memiliki harapan meski pun hidup di tengah tantangan. Hal itu agar kita selalu dapat berusaha bersama dalam memperbaiki ekosistem hutan hujan, hutan bakau dan hutan gambut yang rusak, dan dapat hidup selaras dengan alam.

Berbagai upaya telah dilakukan negara-negara di dunia, misalnya Rio Earth Summit tahun 1992 hingga UN Decade on Ecosystem Restoration yang ditargetkan tercapai pada 2030.

Tidak terkecuali Indonesia, melalui skema insentif Results-Based Payment (RBP), Indonesia dinilai berhasil menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan hujan, gambut dan bakau.

Indonesia, jelasnya, memperoleh dana sebesar 103,8 Juta USD atau sekitar Rp 1,5 triliun dari Green Climate Fund (GCF) dan 56 juta USD atau sekitar Rp800 miliar dari pemerintah Norwegia.

Hal ini menunjukkan bahwa dengan menjaga ekosistem, Indonesia dapat memperoleh pendanaan untuk mendukung program-program yang tidak hanya digunakan untuk melestarikan ekosistem, tapi juga memastikan kesejahteraan dan kesehatan masyarakat secara luas, bukan hanya segelintir manusia.

“Dalam menghadapi krisis ekologi di ekosistem, khususnya ekosistem hutan tropika yang rusak, kita tidak sendirian akan tetapi kita bersama dunia berusaha mengembalikan jasa ekosistemnya,” lanjut Prof Tjut Sugandawaty.

Bersama program SDGs, dan 2021-2030 Decade on Ecosystem Restoration. “Jadi ada harapan baru untuk merestorasi ekosistem-ekosistem yang rusak,” sebutnya.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Tjut Sugandawaty Djohan, juga menyampaikan peran sentral perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan di saat ini dan masa depan

“Oleh sebab itu, maka perguruan tinggi harus mendukung program tersebut dengan mengembangkan  dan menguatkan mata kuliah tentang ekologi agar mahasiswa, universitas, pemerintah, masyarakat, pebisnis, dan NGO mampu dan siap untuk membantu dunia mengembalikan ekosistem yang rusak,” katanya.

“Sehingga goals dari SDGs dan 2021-2030 UN Decade on Ecosystem Restoration tercapai,” tutup Tjut Sugandawaty, dalam pidato Pengukuhan Guru Besar dalam bidang ekologi tersebut.

Dalam acara pengukuhan, tampak pihak Dewan Senat Guru Besar UGM juga mengucapkan terimakasih ditujukan kepada banyak pihak yang berjasa dan berkontribusi mendukung keberhasilan akademik Tjut Sugandawary. Terutama pihak universitas tempatnya menimba ilmu biologi stara S2 dan doktoralnya di Universitas California Davis, Amerika Serikat. (Aldin NL)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER