Jakarta — Pengamat hubungan internasional dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Teguh Santosa, Kamis (2/1/2020), mengatakan, pemerintah Republik Rakyat China (RRC) yang selalu mempergunakan klaim sejarah untuk mendukung pengakuan atas perairan yang dinamakan Laut China Selatan dinilai sangat tidak relevan.
Perang Dunia Kedua yang berakhir di tahun 1945 telah mengubah lanskap politik dunia. Gerakan kebangsaan dan negara-negara baru yang lahir pada era dekolonisasi mendapat tempat yang pantas dalam sistem internasional, kata Teguh sebagaimana dikutip dari rmol.com.
Hampir semua negara yang menyatakan kemerdekaan di era dekolonisasi pasca Perang Dunia Kedua, lanjut Teguh, telah menjadi anggota PBB. Beberapa dari mereka, karena satu dan lain hal, masih dimasukkan ke dalam daftar Non Self Governing Territory dan dibicarakan di Komisi 4 PBB yang membidangi masalah Politik Khusus dan Dekolonisasi, ujarnya.
Dosen hubungan internasional UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ini pada tahun 2011 dan 2012, pernah diundang Komite 4 PBB untuk berbicara dalam kasus Sahara Barat.
Berita Terkait: TNI AL Usir Kapal China dari Perairan Natuna
“Negara-negara baru ini tidak hanya lahir membawa nama. Bersama kelahiran mereka juga ada klaim sejarah nasional, ikatan mereka dengan tanah dan air. Klaim ini lebih kuat dan mengikat dibandingkan narasi besar yang sekarang ingin dipaksakan pemerintahan Komunis China di Beijing,” ujar mantan Ketua bidang Luar Negeri PP Pemuda Muhammadiyah itu.
Pernyataan Teguh disampaikan sebagai respon atas sikap China yang bersikeras dengan klaim sejarah mereka atas perairan Laut China Selatan.
China membela diri atas insiden yang terjadi di akhir bulan Desember 2019 di Pulau Natuna, Indonesia. Saat itu armada Coast Guard China dan kapal-kapal pencari ikan mereka memasuki Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia yang diakui PBB.
Dilaporkan, Jurubicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang, dalam jumpa pers di Beijing, Selasa (31/12/2019), mengatakan, China juga memiliki hak historis di Laut China Selatan.
“Klaim sejarah China itu tidak mendapat tempat dalam hukum internasional saat ini, juga tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982. Bahkan telah diputuskan oleh PCA (Permanent Court of Arbitration) di Belanda pada Juli 2016, dalam kasus melawan Filipina, bahwa China tidak memiliki hak kedaulatan atas wilayah perairan yang mereka klaim. Ini adalah yurisprudensi yang harus dihormati,” ujarnya.
Pandangan Teguh senada dengan pandangan Kementerian Luar Negeri RI. Selain menyampaikan protes, Kemlu RI juga memanggil Dutabesar China di Jakarta.
Menurut Teguh, komunitas internasional, terutama negara-negara ASEAN yang bersengketa dengan China di Lautan China Selatan, harus bersatu menyadarkan China bahwa zaman telah berubah. Semua negara harus mematuhi hukum internasional yang berlaku demi menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan.
“China tidak bisa lagi berbuat sekehendak hati mereka seperti di era Kublai Khan yang ingin memaksa negara-negara lain untuk tunduk pada Dinasti Yuan,” ujar mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) ini. (**)