Minggu, Mei 5, 2024
Google search engine
BerandaSuara-suara Melawan Lupa pada Tragedi Arakundo

Suara-suara Melawan Lupa pada Tragedi Arakundo

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Mahasiswa di sejumlah wilayah menggelar aksi serentak, Senin (3/2/2020). Mereka memperingati tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu yang terjadi di Idi Cut, Aceh Timur, yang dikenal dengan Tragedi Arakundo.

Tergabung dalam ‘Daulat Rakyat Aceh untuk Arakundo,’ aksi ini sebagai bentuk keprihatinan terhadap nihilnya upaya pemerintah menuntaskan sejumlah pelanggaran HAM saat konflik masa lalu di Aceh, termasuk salah satunya penghilangan nyawa terhadap puluhan warga di Idi Cut, 21 tahun silam.

Koordinator aksi, Shiddiq Mubarak mengatakan, solidaritas mengenang tragedi Arakundo berlangsung serentak di empat wilayah, yaitu bundaran Simpang Lima (Banda Aceh), Taman Riyadhah (Lhokseumawe), kantor Komnas HAM di Sumatera Barat hingga di Tugu Jogja (Yogyakarta).

“Di Sumbar, mahasiswa dan aktivis menggelar aksi sehubungan dengan salah seorang korban tragedi Idi Cut yang berasal dari sana. Sementara di Jogja, solidaritas digalang oleh mahasiswa Aceh yang tengah berada di sana,” kata Shiddiq.

Aksi semacam ini terus diperingati saban tahun. Dalam orasi massa, meruap empati dan ingatan yang sulit diabaikan ketika tragedi itu berlalu tanpa pengungkapan yang berarti, seiring terus bergantinya rezim pemerintahan yang sejatinya bertanggung jawab atas kasus tersebut.

Sejarah mencatat, Tragedi Idi Cut terjadi pada Rabu dinihari, 3 Februari 1999. Dari hasil penelusuran yang terungkap dalam buku ‘Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh, 1989-2005’ terbitan Koalisi NGO-HAM Aceh, kala itu, masyarakat baru saja pulang menghadiri ceramah agama di lapangan Simpang Kuala, Idi Cut.

Penelusuran Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang tertuang dalam buku ‘Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu’ (2006) disebutkan, tragedi Idi Cut merupakan satu dari serangkaian kasus kekerasan yang muncul saat Operasi Wibawa yang berlangsung sejak 2 Januari 1999. Operasi tersebut merupakan operasi militer gabungan pertama yang diberlakukan setelah pencabutan status Daerah Operasi Militer (1989-1998).

Diketahui, operasi ini sebagai respon atas penculikan terhadap tujuh orang prajurit AD di Lhoknibong pada 29 Desember 1998.

Diabaikan Pemerintah

Sudah 21 tahun, Tragedi Idi Cut berlalu. Kasus ini merupakan satu dari sekian banyak pelanggaran HAM di Indonesia, khususnya di Aceh, yang masih terbengkalai. Dalam orasinya pada Senin (3/2/2020), koordinator aksi Shiddiq Mubarak mengaku prihatin atas abainya pemerintah mengusut tuntas kasus-kasus tersebut.

“Terbengakalainya kasus pelanggaran HAM berat merupakan pengkhianatan terhadap hak warga negara. Padahal negara memiliki tanggung jawab dalam mewujudkan perlindungan, jaminan dan pemenuhan hak asasi manusia kepada seluruh warga negara, tanpa membeda-bedakan agama, ras, warna kulit, serta aliran politik dan keyakinan tertentu,” ketusnya.

Dia juga menghimbau agar masyarakat tak tinggal diam. Semua pihak perlu terlibat dalam kerja-kerja kemanusiaan demi terwujudnya penegakan dan pemenuhan HAM. Karena, kendati keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh tampak menjawab harapan tersebut, namun nyatanya dia melihat banyak kelemahan.

“Dukungan politik yang minim membuat ruang geraknya (KKR) cukup terbatas,” ujar dia.

Sementara itu, Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra yang ikut hadir dalam aksi tersebut mengatakan, impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM dan pihak-pihak yang melakukan pembiaran hingga saat ini, mengindikasikan bahwa krisis keadilan semakin akut.

“Dari penyelidikan, semua tahu siapa pelakunya, tapi ini tak pernah diusut tuntas. Sampai kapan impunitas semacam ini dipelihara?” kata dia.

Agaknya, di tengah keprihatinan mereka pada sikap pemerintah, massa tetap memilih untuk menyuarakan aspirasinya. Dalam aksi peringatan Tragedi Arakundo, mereka kembali menuntut Komnas HAM untuk segera mengusut tuntas kasus itu dan seluruh pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi di Aceh.

“Negara harus membuka kotak pandora untuk mengungkapkan siapa pelaku dari serangkaian peristiwa itu,” ucap Shiddiq.

Kepada Pemerintah Aceh, massa menuntut adanya pemenuhan hak-hak korban. Pemerintah juga diminta lebih serius memberikan kewenangan kepada KKR Aceh agar dapat bekerja maksimal sesuai dengan tupoksinya.
Terakhir, massa aksi meminta Pemerintah Aceh dan pihak-pihak terkait untuk membangun Museum Konflik sebagai tempat memorialisasi dan ruang ingatan terkait konflik masa lalu di Aceh. (Fuadi)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER