Jumat, April 25, 2025
spot_img
BerandaLaporan KhususSemangat Kartini: Ketika Perempuan Aceh Berdaya, Menembus Sekat Patriarki

Semangat Kartini: Ketika Perempuan Aceh Berdaya, Menembus Sekat Patriarki

“Dulu perempuan tidak terlibat dalam rapat gampong, sekarang, mereka mulai hadir, bahkan ikut menentukan arah kebijakan desa”

Perempuan Aceh mulai mengambil peran strategis di ruang-ruang publik. Namun, dominasi budaya patriarki masih menjadi tantangan besar.

Selama 34 tahun terakhir, Flower Aceh hadir untuk memperluas ruang gerak perempuan, membangun kesadaran kritis, dan menciptakan ekosistem yang lebih setara.

Didirikan pada 23 September 1989, Flower Aceh merupakan organisasi perempuan pertama di Aceh yang muncul saat konflik masih berlangsung. Pendekatan awal mereka mencakup isu lingkungan, kesehatan, dan ekonomi.

Seiring waktu, jangkauan dan isu yang diangkat pun berkembang, termasuk pendampingan korban kekerasan, kampanye kesehatan reproduksi, dan pelatihan kepemimpinan perempuan.

“Dulu perempuan tidak terlibat dalam rapat gampong, sekarang, mereka mulai hadir, bahkan ikut menentukan arah kebijakan desa,” kata Elvida, Ketua Pengurus Flower Aceh, Jumat (25/4/2025).

Ia menyebut perubahan ini tak lepas dari proses panjang pendidikan dan pendampingan di komunitas.

Flower Aceh saat ini mendampingi 175 perempuan akar rumput di tujuh kabupaten/kota. Mereka berperan sebagai tuha peut, kader kesehatan, kepala urusan desa, penggerak PKK, hingga tokoh adat dan agama.

Menurut Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, pendekatan yang digunakan bersifat komprehensif, membangun kapasitas, memperkuat kesehatan, dan memperluas dukungan sosial.

“Ketika perempuan sehat, sadar, dan didukung, mereka mampu menjadi agen perubahan yang kuat,” jelasnya.

Kesadaran kritis tidak lahir dalam satu dua kali pertemuan. Perlu proses panjang melalui pengorganisasian, edukasi, dan kolaborasi lintas pihak.

Flower Aceh menggelar peningkatan kapasitas terkait pemberdayaan ekonomi bagi perempuan. (Foto/Cut Nauval D).

Tantangan budaya yang masih kuat membuat keterlibatan laki-laki menjadi bagian penting dari strategi Flower Aceh.

Dalam konteks Aceh yang kental dengan nilai keislaman, Flower Aceh juga terus berdialog agar narasi keagamaan tidak menjadi penghalang, tetapi jembatan bagi keterlibatan perempuan dalam pembangunan.

“Nilai kepemimpinan sejati adalah tentang semangat membawa perubahan dan keadilan,” tambahnya

“Kehadiran perempuan bukan ancaman, tapi kekuatan untuk pembangunan yang lebih adil dan inklusif,” kata Riswati.

Koordinator Divisi KPP Flower Aceh, Hendra Lesmana, menegaskan bahwa kesetaraan bukan semata isu perempuan, melainkan persoalan keadilan sosial yang menyentuh semua lapisan masyarakat.

“Keterlibatan laki-laki sangat penting untuk menghapus bias dan stereotip. Tanpa dukungan semua pihak, perjuangan kesetaraan tidak akan berjalan efektif,” ujar Hendra.

Di momen Hari Kartini, Hendra mengajak para laki-laki di Aceh untuk turut menciptakan ruang yang setara dan saling menghargai.

“Perjuangan untuk kesetaraan bukan hanya tugas perempuan. Ini tugas kita bersama. Kesetaraan gender bukan berarti perempuan mengambil alih peran laki-laki, tapi berjalan bersama, saling mendukung, dan bertumbuh bersama,” ucapnya.

Perempuan Aceh terus bergerak menembus sekat-sekat budaya patriarki yang telah lama membatasi ruang partisipasi mereka.

Hari Kartini yang diperingati setiap 21 April menjadi momentum bagi perempuan Aceh untuk menunjukkan kontribusinya dalam berbagai bidang. Baik itu di tingkat gampong, komunitas, atau organisasi, perempuan kini lebih berani dan mampu mengambil peran strategis (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER