Di Malioboro ada saja yang menawarkan berbagai jasa, selain kuliner ada jasa pijat, jasa lukis ada pula bernyanyi.
Setelah melalui perjalanan yang panjang dari Bali, jurnalis Waspada Aceh (Cut Nauval Dafistri), akhirnya sampai di Surabaya sekitar pukul 03.00 WIB. Kami langsung menuju ke stasiun kereta di Surabaya untuk berangkat ke Solo.
Perjalanan dari Surabaya ke Solo memakan waktu sekitar 4 jam menggunakan kereta api. Pagi hari kami berangkat dari Surabaya, dan siang harinya kami sudah sampai di Solo.
Ketika sudah tiba di Solo, saya langsung mengajak sahabat lama saya untuk bertemu. Namanya Suci Yohanifah. Kami sudah bersahabat sejak kami masih duduk di bangku kuliah di UIN Imam Bonjol Padang. Kini, Suci yang akrab dipanggil Memel sudah bekerja di salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Solo.
Saya menginap di tempat kos Memel. Kami juga banyak melakukan kegiatan bersama, mulai dari nonton film Totto-Chan berdua. Memel juga menemani saya, papa, dan mama untuk berkunjung ke Pendopo Wali Kota Solo dan Museum Keraton Solo.
Banyak sekali informasi yang kami dapat selama berada di Museum Keraton Solo. Memel bercerita tentang kerajaan keraton. Di museum ini, kami bisa melihat kendaraan raja zaman dahulu serta benda-benda peninggalan Keraton Solo, seperti dalam bentuk peralatan dapur dan sebagainya.
Kemudian kami juga diajak oleh pemandu kami ke Sumur Songo di area kompleks Keraton Solo. Sumur ini dipercaya warga setempat sangat sakral. Dahulunya, sumur ini adalah tempat pertapaan Raja Paku Buwono IX atau Paku Buwono Songo. Air dari sumur ini dipercaya memiliki khasiat, sehingga banyak orang yang berkunjung mengambil air di sumur itu. Ada aturan yang membolehkan pengunjung mengambil air dari sumur tersebut.
Selain mengunjungi Keraton Solo, kami juga memutuskan untuk berjalan-jalan keliling kota Solo dengan menaiki becak dayung. Ini pengalaman yang sangat menyenangkan buat saya, bisa menikmati kota Solo dengan tenang.
Pak Priyo, pengemudi becak dayung kami, banyak bercerita tentang sejarah tempat-tempat yang ada di Solo. Sambil menyusuri kota Solo, pak Priyo tak lupa bercerita tentang sejarah tempat-tempat yang kami lewati. Beliau juga mengajak kami ke Kampung Wisata Batik Kauman Solo.
Kami melihat proses produksi batik. Jadi ini salah satu bentuk menumbuhkan kecintaan terhadap produk dalam negeri, termasuk produk batik di Solo. Kami juga mencoba kuliner yang ada di Solo. Saat jam makan siang tiba, kami menuju ke warung kuliner khas Jawa “WESJA.” Ketika masuk ke dalam rumah makan yang satu ini, saya merasa seperti berada di rumah nenek. Interiornya menggunakan elemen-elemen tradisional. Tampilan rumah makannya antik (konsep vintage). Pilihan menu makanannya juga bervariasi, ada sayur-sayuran, ikan, dan masih banyak lagi.
Kami tak ingin melewatkan kesempatan untuk membeli jajanan di Pasar Gede dan berfoto untuk mengabadikan momen-momen selama kami berada di Solo. Mama suka sekali dengan Kota Solo, bahkan suatu hari mama pernah menyanyikan lagu yang bercerita tentang Solo. Sebesar itu rasa suka mama terhadap kota ini.
Mengukir Kenangan di Yogyakarta
Setelah kami mengeksplorasi Kota Solo, kami melanjutkan perjalanan ke Yogyakarta dengan menggunakan mobil sewaan. Sahabatku, Memel, juga ikut dalam perjalanan ini. Waktu tempuh dari Solo ke Yogya dengan menggunakan mobil berkisar lebih dari 2 jam. Kali ini, mama kembali memegang kendali setir.
Kami juga mampir untuk mengunjungi Candi Prambanan. Suasana di Prambanan sangat ramai ketika kami berkunjung ke sana. Kami lantas jalan-jalan menikmati suasana di Prambanan sambil berfoto ria. Kami menghabiskan waktu lebih lama di Prambanan untuk sekadar duduk-duduk dan ngobrol santai dengan sahabatku, Memel.
“Gimana ya Mel zaman dulu bisa membuat bangunan semegah ini. Zaman dulu pasti keren banget arsitekturnya,” aku bertanya kepada Memel saat kami sedang menikmati suasana di Prambanan.
“Iyalah, sama kayak ngerjain tugas kuliah yang deadline-nya harus diselesaiin dalam semalam,” jawabnya. Memel hanya bergurau, membuat kami tertawa.
Setelah puas menikmati pemandangan di Candi Prambanan, kami pun bersiap untuk melanjutkan perjalanan ke Yogya. Tidak lupa kami juga membeli oleh-oleh, seperti baju batik dan gantungan kunci.
Perjalanan ke Yogya pun berlanjut. Sesampainya di Yogya, kami langsung mampir ke Malioboro. Saya suka dengan suasana Malioboro. Yogya selalu membuat saya terkesan. Lagu Adhitia Sofyan yang berjudul “Sesuatu di Jogja” sepertinya tepat untuk menggambarkan rasa suka saya dengan Kota Yogya, khususnya Malioboro.
Di Malioboro terdapat banyak aktivitas, seperti hiburan dan ekonomi. Semua aktivitas berkumpul di Malioboro. Di pelataran Malioboro ada saja yang menawarkan berbagai jasa, selain kuliner ada jasa pijat, jasa lukis, ada juga yang menunjukkan kebisaannya bernyanyi. Bermacam kegiatan terpusat di sini. Meski begitu, saya tetap suka suasananya.
Penginapan kami letaknya tidak jauh dari Jalan Malioboro. Pada suatu malam, saya diajak Memel untuk melihat Tugu Yogya sambil menikmati sate padang. Ya, sate padang.
Di manapun kami berada, kami senang makan sate padang. Pada kesempatan ini, kami tidak hanya jalan berdua. Ada satu lagi teman kami yang bergabung. Namanya Arif. Kami bertiga pernah kuliah di kampus yang sama di Padang.
Malam itu kami bertiga jalan-jalan di sekitar Yogya. Kebetulan Arif bisa menyetir mobil, kami berkeliling Yogya dengan menggunakan mobil yang kami sewa. Saat itu, papa dan mama tidak ikut dengan kami dan hanya di penginapan. Kami bertiga banyak bertukar cerita sambil menikmati pemandangan sekitar Yogya.
Keesokan harinya, Memel mengajak saya untuk sarapan dan berburu jajanan di Pasar Ngasem. Pasar ini unik karena berbagai jenis kuliner tersedia. Suasana pasarnya sederhana, harga makanan yang ditawarkan pun terbilang murah. Salah satu yang saya suka adalah makanan yang ada di sini menggunakan sayur.
Memel juga mengajak saya berwisata kuliner di dekat alun-alun kidul. Selain itu, saya juga mencoba aktivitas yang didasarkan pada mitos ‘masangin’ terkait dengan pohon beringin kembar yang ada di sana. Mitosnya, jika kita berhasil berjalan lurus ke depan melewati celah di antara pohon beringin kembar dengan mata tertutup, konon katanya keinginan kita akan terkabul. Namun, banyak orang yang sudah mencobanya, banyak juga yang berjalan tidak garis lurus, justru sering berbelok. Saya termasuk yang tidak berhasil berjalan lurus dengan mata tertutup.
Malamnya, Memel mengajak saya untuk menyaksikan pertunjukan wayang orang. Kami juga mencoba kedai ice cream yang hits di Yogya, lokasinya berada di dekat Malioboro, yaitu Tempo Gelato.
Esok harinya, saya, papa, dan mama harus kembali pulang ke Aceh. Kami pun bersiap berangkat ke Jakarta, kemudian dilanjutkan terbang ke Aceh.
Akhir dari Perjalanan Ini
Kami berangkat ke Jakarta menggunakan kereta dari stasiun Lempuyangan, Yogya. Akhirnya kami sampai di Jakarta pada pagi hari. Dari Jakarta kami terbang ke Medan.
Kenapa tidak langsung terbang ke Aceh? Kebetulan saya, papa, dan mama harus menghadiri suatu acara di Medan dan bertemu dengan kawan-kawan bisnis mama di sana. Baru setelahnya kami terbang menuju Aceh.
Pengalaman ini adalah momen yang sangat menyenangkan di dalam hidup saya. Banyak kenangan yang saya rasakan. (*)
Laporan terkait:Â Sekali Mendayung, Dua Tiga Pulau Terlampaui: Menjelajah Pulau Jawa Hingga Dewata (Bagian 1)