Nobar di warung kopi bukan praktik baru di Aceh, tapi telah menjadi bagian dari gaya hidup sejak TV kabel mulai menjangkau kampung-kampung.
Oleh: Dr. Ir. Dandi Bachtiar, M.Sc
Di Aceh, warung kopi bukan sekadar tempat ngopi. Ia adalah ruang sosial, pusat diskusi, dan sarana ekspresi kolektif masyarakat.
Ketika tim-tim besar Eropa berlaga di ajang Liga Champions atau Premier League, warung kopi di Banda Aceh dan sekitarnya ramai dipenuhi penonton. Teriakan gol, perdebatan antar pendukung, hingga canda tawa dalam suasana nonton bareng (nobar) menjadi pemandangan akrab selama lebih dari dua dekade.
Tanpa tiket masuk, tanpa pungutan tambahan cukup membeli segelas kopi atau teh tarik. Namun, keakraban itu terusik beberapa hari terakhir. Sejumlah pemilik warung kopi di Banda Aceh menerima surat somasi dari PT Vidio Dot Com, pemegang hak siar resmi pertandingan sepak bola Eropa di Indonesia.
Mereka dituding melanggar Undang-Undang Hak Cipta karena menayangkan siaran secara publik tanpa izin. Nilai ganti rugi yang diminta? Tak tanggung-tanggung: Rp150 juta.
Kabar ini sontak menimbulkan kegaduhan. Para pemilik warung merasa diperlakukan sewenang-wenang. Beberapa mengadu ke DPRD Aceh untuk meminta perlindungan hukum. Di sisi lain, PT Vidio berdalih bahwa mereka hanya menjalankan hak sebagai pemegang lisensi eksklusif yang diakui undang-undang. Maka meletuslah konflik antara budaya dan hukum.
Nobar yang Terlanjur Membudaya
Nobar di warung kopi bukan praktik baru di Aceh. Ia telah menjadi bagian dari gaya hidup sejak TV kabel mulai menjangkau kampung-kampung.
Tidak hanya sepak bola, tapi juga ajang MotoGP, Piala Dunia, hingga pertandingan tinju kerap ditonton secara kolektif. Umumnya siaran berasal dari televisi lokal, parabola bebas, atau langganan pribadi. Tak ada pungutan tambahan dari penonton.
Masalah muncul ketika pertandingan-pertandingan besar kini hanya bisa disaksikan melalui platform streaming berbayar seperti Vidio.com. Sayangnya, banyak pemilik warung kopi tidak menyadari bahwa langganan pribadi tidak mencakup izin untuk memutar siaran di ruang publik, apalagi jika berdampak pada keuntungan usaha. Dalam konteks hukum, ini termasuk pelanggaran atas hak pertunjukan publik (public performance rights).
Dua Perspektif yang Sama-Sama Valid
Jika ingin bersikap adil, baik pihak Vidio maupun para pemilik warung memiliki dasar argumen masing-masing:
• Vidio punya hak melindungi investasinya. Mereka membayar mahal untuk memperoleh lisensi eksklusif penyiaran. Maka ketika ada pihak lain menayangkan secara publik tanpa izin, tentu mereka merasa dirugikan.
• Pemilik warung kopi sebagian besar tidak tahu bahwa tindakan mereka melanggar hukum. Mereka mengira cukup berlangganan dan tidak memungut biaya tambahan dari pelanggan. Tidak ada sosialisasi sebelumnya, apalagi edukasi tentang hak cipta.
Karena itu, ketika somasi dilayangkan dengan tuntutan hingga ratusan juta rupiah, publik melihatnya sebagai bentuk kriminalisasi rakyat kecil yang tidak memahami hukum yang kompleks.
Padahal, Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 sudah lama mengatur soal hak pertunjukan, yaitu kewajiban pihak penyelenggara pertunjukan publik membayar imbalan ekonomi kepada pemegang hak cipta.
Namun, bagian ini belum banyak diketahui publik. Bahkan kalangan artis pun sering tidak sadar bahwa menyanyikan lagu di depan umum memerlukan izin tambahan selain membayar royalti. Inilah yang disebut royalti pertunjukan.
Sebagai pemegang hak siar, Vidio tentu berhak menuntut pihak yang menayangkan siaran mereka tanpa izin. Namun, pendekatan hukum formal semata tanpa edukasi jelas menimbulkan resistensi sosial.
Solusi Bagi Pemilik Warung yang Disomasi
Lalu, apa yang bisa dilakukan para pemilik warung kopi?
1. Mediasi, Bukan Konfrontasi
DPRD Aceh dapat menjadi mediator antara Vidio dan para pemilik warung.
Penyelesaian melalui dialog, edukasi, dan kemungkinan amnesti untuk pelanggaran yang sudah terjadi jauh lebih bijak ketimbang jalur hukum.
2. Negosiasi Lisensi Khusus Warung Rakyat
Pemerintah daerah dapat memfasilitasi perjanjian lisensi khusus untuk warung kopi mikro, dengan harga terjangkau dan skema kolektif, misalnya, satu lisensi untuk 10 warung dalam satu wilayah.
3. Peringatan Sebelum Penindakan
Bila masih terjadi pelanggaran ke depan, sebaiknya tidak langsung menggunakan somasi. Berikan peringatan tertulis dan edukasi terlebih dahulu. Mayoritas pewarung akan taat hukum jika diberi informasi yang jelas.
4. Sosialisasi UU Hak Cipta secara Masif
Dinas Kominfo dan lembaga penyiaran bisa melaksanakan penyuluhan tentang hak cipta kepada pelaku usaha kecil dan masyarakat umum agar tidak terjebak pada pelanggaran karena ketidaktahuan.
Menuju Tata Kelola Penyiaran yang Berkeadilan
Peristiwa ini menjadi momentum untuk mengevaluasi penerapan hak cipta dalam konteks sosial dan budaya. Di Aceh, warung kopi bukan sekadar tempat usaha, melainkan ruang publik yang hidup dan menjadi bagian dari kebudayaan.
Penyedia hak siar seperti Vidio perlu memahami bahwa pendekatan yang diterapkan di kafe elit Jakarta tidak bisa disamakan dengan warung kopi kecil di kampung. Maka sistem lisensi pun harus proporsional dan inklusif.
Sebaliknya, pelaku UMKM juga harus menyadari bahwa di era digital ini, konten hiburan memiliki batas hukum yang lebih ketat. Edukasi tentang kekayaan intelektual harus menjadi bagian dari literasi dasar pelaku usaha.
Menyulam Hukum dengan Budaya
Somasi terhadap warung kopi bukan hanya perkara legalitas, melainkan juga soal sensitivitas sosial. Ketika hukum ditegakkan tanpa mempertimbangkan konteks masyarakat, maka yang muncul adalah perlawanan. Namun jika hukum dijalankan dengan pendekatan edukatif dan manusiawi, maka akan tumbuh kepatuhan secara sukarela.
Pemilik warung di Aceh bukan pencuri konten. Mereka hanya korban dari aturan yang tak pernah benar-benar disosialisasikan. Alih-alih menghukum, mari bantu mereka memahami. Jadikan mereka mitra dalam menjaga hak cipta.
Karena sepak bola bukan sekadar gol dan kemenangan. Ia adalah kisah kebersamaan yang hidup di balik secangkir kopi dan layar televisi di sudut warung.***
- Penulis adalah dosen di Departemen Teknik Mesin dan Industri, USK.