” Darah biru ini bergaris keturunan bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh. Ayahnya Keujruen Biheu sekaligus Hulu Balang Negri Biheue”
Oleh: Adnan NS
Mengutip dari tulisan H.C.Zentgraff, seorang prajurit Belanda dalam buku, “Aceh, Zentgraaff,” disebutkan Po Cut Meurah Intan lahir bersamaan Belanda mengeluarkan maklumat prang (perang) Aceh 1873.
Tahun ini dikenal dengan prang kuman (pembunuhan massal) alias taeuen ija brok. Senjata pemusnah massal itu belakangan dikenal dengan kuman kolera.
Sebutan taeuen (kuman) ija brok itu sendiri, akibat kematian massal. Kain kafan untuk pembungkus mayat yang sudah bergelimpangan, ternyata tak tersedia. Mereka kebanyakan meninggal akibat terserang penyakit menular berupa muntah mencret (ciret). Dalam kondisi darurat karena ketiadaan kafan, jenazah dibungkus dengan kain yang tak terpakai lagi (brok).
Kekuasaan kesultanan Aceh kian terdesak dan menciut hingga tersisa ke pedalaman Tangse, Pidie, setelah menjalani dua dekade perang frontal dan aksi pembunuhan massal melalui penyebaran kuman.
Po Cut bersama suaminya Abdul Majid bertekad untuk terus menghadang Belanda. Sedang Aceh Besar sudah ditaklukkan. Pidie masih berkecamuk, dimotori pasangan suami-istri ini.
Abdul Majid juga putra bangsawan keturunan Tuwanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah. Majid ditugasi sultan untuk memungut cukai pada setiap kapal melintas di Selat Malaka wilayah Batee, Pidie.
“Sosok tangguh Po Cut ini, justru menurut ceritanya, dia bertambah gesit berjuang setelah suaminya menyerahkan diri,” ungkap Jamil, ketika penulis berziarah ke makam pahlawan perempuan Aceh tersebut di Blora, belum lama ini.
Jamil adalah warga Blora, cucu pemilik kompleks makam Tegal Sari, di mana makam Po Cut Meurah Intan berada.
Meski berstatus sebagai inong balee (janda) non syahid, tekatnya dalam perjuangan mengusir Belanda luar biasa tangguh.
Sosok perempuan pejuang Po Cut ini, antara hidup dan mati, sepertinya jarang ditemui di belahan dunia lain. Dia memiliki keterampilan dalam prang frontal mapun bergerilya.
Gagah dan keberanian para pejuang perempuan Aceh memang dikenal tiada tara. Para penjajah, seperti Portugis, takut kepada Laksamana Malayati di Selat Malaka. Belanda takut kepada Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Po Cut Meurah Intan.
Melihat keperkasaan perempuan Aceh ini, maka banyak menjulukinya “singa betina dari tanah rencong”. Ada yang menyetarakannya sebagai:The Seventh Warlord Women in The World.
Ada juga yang menyanjungnya sebagai sosok keberingasan perempuan Aceh dalam berjuang mengusir penjajah ini masuk dalam kategori:The Ten Best Female Warrior at All Time.
Belum berakhir pada sandangan ini saja. Ada yang memberikan statementnya, perempuan Aceh are: The Women Warrior in South East Asia (Prajurit Wanita di Asia Tenggara).
Sosok Po Cut asal Pidie dalam derap langkah perjuangannya berani frontal dan jago bergerillya. Sekitar swindu dia berjuang bersama suami tercinta, Tuwanku Abdul Majid.
Semangat jihad ayah tiga orang putra, ternyata tak setangguh hati Po Cut, istrinya ini. Suaminya menyerah dan bertekuk lutut kepada Belanda.
Po Cut Meurah Intan merasa dikhianati karena suaminya dianggap telah melanggar ikrar prang sabilillah yang diucapkan sebelum mempersuntingnya. Bahkan dia menuduh sang suami sebagai pengkhianat terhadap perjuangan agama Islam yang dianut dari warisan nenek monyangnya.
Tak pelak lagi, begitu suaminya menyerah kepada Belanda, Po Cut menceraikannya.
Hatinya kian demdam membara. Barisannya diperkuat dengan peran tiga putra tangguh yang berpihak padanya. Peran Tuwanku Muhammad, Tuwanku Nurdin dan Tuwanku Budiman ikut menginjeksi spirit juang baru tanpa didampingi sang suami.
Perjuangannya, benar-benar antara hidup dan mati. Dia tak menyangka bisa hidup setelah dikepung 18 personel marsose Belanda dari markas Padang Tiji.
Marsose tak berani menangkap hidup tubuhnya menyaksikan kilauan rencong menghujam sambil berputar ke sana ke mari. Urat tumitnya putus, darahnya tumpah membasahi bumi, luka menembus dada, urat di dahinya tersabet bayonet dan samurai.
Mereka meninggalkan tubuh perempuan bersimbah darah dalam keadaan sekarat. Sebilah Rencong masih terpegang erat. Meski sempat rubuh di jalan yang basah bekas hujan, ternyata pejuang ini masih hidup.
Sebelum meninggalkannya pergi, salah seorang prajurit Belanda meminta izin untuk menembak langsung Po cut di bagian dada agar tidak menderita berkepanjangan. Mereka tak tega melihat dia mengerang tak berdaya. Mayjen T.J Veltman, sang komandan patroli ketika itu melarangnya, dan meninggalkan Po Cut dalam kondisi terluka parah. Mereka menyangka, pasti Po Cut akan mati dengan sendirinya perlahan lahan. Tapi Allah berkehendak lain.
Warga setempat kemudian membawa Po Cut dan membantu mengobati dengan “salap” kotoran sapi basah dan hangat. Lalu bekas luka dibalut dengan kain apa adanya. Berselang beberapa bulan proses kesembuhan belum juga maksimal, tubuhnya sering mengigil, dan rasa sakit hampir menjalar ke seluruh tubuh. Samurai memang sempat singgah di bahu dan kepalanya juga ketika dia bertarung.
Suatu ketika Scheuer, sang komandan militer Belanda, terlintas mengingat wajah Po Cut yang heroik saat kepergok pasukan patroli. Adalah Veltman, seorang prajurit Belanda yang fasih berbahasa Aceh pun diutus membujuk Po Cut agar mau diberikan pengobatan medis oleh Belanda.
Awalnya Po Cut menolak jasa baik Belanda ini, walau deritanya masih menyelimutinya. Scheuer pun turun tangan langsung dengan sikap bersahabat, bersimpuh dan hormat serta memuji -muji ketangguhan perempuan Aceh ini. Mereka kadang menggunakan bahasa isyarat.
Berkat jasa medis Belanda, Po Cut berhasil sembuh dengan sempurna. Kakinya tetap pincang sebelah.
Po Cut kembali teringat pesan moral Ayahnya yang masih terpatri di lubuk hatinya: “Seorang muslim wajib berjuang mempertahankan negeri dan agamanya dari tindasan, hingga tetes darah penghabisan. Jangan pernah menyerah, jangan pernah takut”.
Api semangatnya kembali membara. Dengan pedang terhunus, rencong terselip di pinggangnya, perjuangan dilanjutkan. Kali ini modusnya, prang gerillya, mengingat senjata sangat terbatas dan pasukannya semakin menciut. Si Belanda pun berkali- kali dibuat repot dan kucar-kacir di tempat berbeda. Belanda kembali terusik akibat serangannya.
Tak begitu lama sang “pejuang pincang” ini terciduk Belanda di tempat persembunyiaan bersama beberapa pasukannya. Po Cut, dan putranya Tuwanku Budiman serta Tuwanku Ibrahim, dipenjarakan di Kutaraja (Banda Aceh) lalu dibuang ke Blora, Jateng.
Menurut Mbah H.M.Jamil, cucu Mbah Raden Ng.Dono Puro, karena sakitnya semakin parah, Po Cut dijemput oleh bapaknya Dono untuk dirawat di rumahnya selama 4 tahun sampai meninggal.
Rumah bersejarah itu terletak di sebelah utara Masjid Baitul Annur, Kota Blora. Usia Po Cut ini sekitar 70an. Orangnya tinggi semampai, kulitnya kuning langsat.
Sementara itu dalam buku kumpulan Amran Zamzami, Ketua Tentara Pelajar menyebutkan, disebut Po Cut lahir 1833, jia dia berusia 104 tahun.
Dalam buku ini disebutkan Po Cut sempat menembak mati tentara Belanda, Letnan H.M.Vis di Desa Kunyet, Padang Tiji, Pidie 5 Mei 1899. Sementara putranya Twk Nurdin menembak mati Letnan J.J. Burger di Blue Makeue, pada 2 November 1904. Ketika itu prang gerilya dipimpin sendiri oleh Po Cut bersama panglima Mahmud dan putranya Twk Nurdin, ketika baru berumur 12 tahun.
Kisah berikutnya, Tuwanku Muhammad, putra Po Cut, sudah lebih duluan ditangkap dalam penyerbuan di Tangsee, pada Februari 1990. Tuwanku Muhammad alias Tuwanku Dibatee dibuang ke Tondano, Sulawesi Utara, pada April tahun yang sama.
Itu lah sekilas tentang perjuangan heroik pahlawan wanita dari Aceh, Po Cut Meurah Intan, dalam mempertahankan negeri Tanah Rencong agar tak jatuh kepada penjajah Belanda.
Layak Mendapat Gelar Pahlawan Nasional
Sayang beribu sayang. Sepertinya perjuangan heroik Po Cut Meurah Intan, hingga dibuang jauh ke Pulau Jawa sampai akhir hayatnya, hingga kini masih bertitel sebatas sebutan pejuang perempuan belaka.
Predikat pahlawan nasional dari komunitas perempuan Aceh setahu penulis baru tiga orang, yaitu Cut Nyak Dhien, Cut Meutia dan Laksamana Malahayati.
Di antara perempuan Aceh lainnya yang juga sangat layak dinobatkan sebagai pahlawan nasional adalah Po Cut Meurah Intan ini.
Melihat rekam jejak Po Cut ini, kiranya Gubernur Aceh sudah sepantasnya mengusul sosok pejuang perempuan ini sebagai calon pahlawan nasional. Semoga. (*)