Banda Aceh (Waspada Aceh) – Penjabat (Pj) Gubernur Aceh, Safrizal, menegaskan pentingnya menghapus praktik pungutan liar (Pungli) demi menciptakan iklim investasi yang kondusif di Aceh.
Menurutnya, pungli menjadi salah satu faktor yang menakutkan bagi investor dan menghambat pertumbuhan ekonomi daerah.
“Kita harus memastikan tidak ada pungutan liar yang membebani investor. Ini harus disingkirkan,” ujar Safrizal dalam wawancara khusus dengan Tim Waspadaaceh.com terkait langkah-langkah pemimpin ke depan dalam meningkatkan ekonomi, Jumat (31/1/2025).
Dia mengingatkan pentingnya menjaga kenyamanan investor yang sudah menanamkan modalnya di Aceh.
“Kita harus menjaga kenyamanan investor yang sudah menanamkan modalnya di Aceh. Karena apa gunanya menjemput investor kalau setelah datang lalu pergi tanpa menghasilkan,” sebutnya.
Karena itu, dia mengajak seluruh pihak untuk bersinergi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Aceh melalui investasi yang inklusif dan berkelanjutan. Menurutnya, meskipun Aceh dikenal sebagai daerah dengan tingkat kriminalitas rendah, masih ada tantangan berupa retribusi tidak jelas dan praktik suap yang harus segera dihilangkan.
“Aceh sudah aman, tapi belum tentu nyaman bagi investor kalau masih ada pungutan liar dan suap-menyuap. Ini yang harus kita singkirkan,” tegasnya.
Selain menyoroti pungli, Safrizal juga menekankan pentingnya menciptakan kebijakan yang mendukung keberlanjutan investasi. Salah satunya adalah kemudahan dalam proses perizinan usaha.
Ia menyebutkan, khusus untuk sektor pertambangan, perizinan di Aceh cukup diberikan oleh gubernur tanpa harus melalui kementerian, sehingga dapat menjadi keunggulan kompetitif dalam menarik investor.
“Artinya, jangan sampai mereka pergi karena kebijakan yang tidak mendukung,” tambahnya.
Di Aceh sendiri, sebut Safrizal, sangat penting adanya sektor pertambangan, terutama di wilayah pantai barat yang kaya akan mineral, batu bara, dan emas. Namun, ia mengingatkan bahwa perizinan harus diberikan kepada pihak yang kompeten agar tidak menghambat perkembangan sektor tersebut.
“Tentunya pertambangan ini dilakukan di tempat yang diizinkan. Ini yang perlu diatur,” sebutnya.
Safrizal menjelaskan bahwa selama ini, sektor pertanian dan kehutanan menjadi kontributor terbesar dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Aceh. Namun, sektor ini cenderung stagnan tanpa pertumbuhan yang signifikan, sehingga pengembangan sektor lain, seperti industri dan pertambangan, sangat dibutuhkan.
“Sektor industri adalah sektor yang banyak menyerap tenaga kerja. Jika satu pabrik saja bisa mempekerjakan 3.000 hingga 4.000 orang, maka dengan tiga pabrik saja, belasan ribu masyarakat Aceh bisa bekerja,” jelasnya.
Berdasakan pengalamannya menjadi dua pejabat gubernur di dua daerah yang ekonominya dihidupkan dunia pertambangan maka di Aceh skalanya itu kecil.
“Mungkin skalanya nomor 6 atau 7 di sektor pertambangan, sangat tidak maksimal,” jelasnya.
Padahal dia yakin, jika sektor tambang ini dihidupkan Aceh tidak mesti bergantung kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) untuk menggerakkan perekonomian Aceh. (*)