“Di keluarahan ini, para ibu memanfaatkan sampah organik khususnya dari buah nenas dan pepaya, untuk dijadikan ecoenzym, cairan pembersih”
Pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah nyata memang terdampak pandemi COVID-19. Selain itu, pandemi juga memengaruhi segala lini kehidupan sosial di masyarakat.
Beberapa daerah bahkan mengeluarkan kebijakan pembatasan pergerakan warga untuk mencegah penyebaran COVID-19. Secara otomatis kebijakan itu memaksa warga harus lebih banyak berada di rumah, menghindari keluar rumah atau ke ruang publik, kecuali untuk hal-hal yang urgen. Banyak kemudian menjadi tidak produktif karena hanya berada di rumah.
Namun berbeda dengan masyarakat di Kelurahan Pekan Labuhan, Kecamatan Medan Labuhan, Kota Medan. Ibu-ibu di sana justeru aktif berkreasi, mengisi hari-harinya secara produktif, dan menyalurkan bakatnya.
Di keluarahan ini, para ibu memanfaatkan sampah organik khususnya dari buah nenas dan pepaya, untuk dijadikan ecoenzym, cairan pembersih. Tentu dalam kegiatan yang sangat bermanfaat ini, ibu-ibu ini tetap menjalankan protokol kesehatan COVID-19. Belajar memproduksi ecoenzym jalan, dan protokol kesehatan tetap dikedepankan.
Sedang Eco enzyme merupakan hasil dari fermentasi limbah dapur organik seperti ampas buah dan sayuran, gula dan air. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Dr Rosukon Poompanvong, pendiri Asosiasi Pertanian Organik (Organic Agriculture Association) di Thailand. Warna produk ini coklat gelap dan memiliki aroma fermentasi asam manis yang kuat.
Ecoenzyme memiliki manfaat multiguna. Cairan ini efektif membunuh bakteri dan kuman, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai disinfektan. Cairan ini sangat tidak disukai kecoa, semut, lalat dan nyamuk.
Ecoenzyme juga bisa berfungsi sebagai cairan pembersih kaca, lantai, permukaan perabot pelastik, kamar mandi dan pemberih perabot lainnya. Cairan ecoenzyme ini sangat baik digunakan untuk pembersih lantai, kaca, atau permukaan perabot plastik, dan lainnya. Selain itu, cocok juga dipakai sebagai pupuk tanaman. Campurkan air secukupnya, jadilah ecoenzyme sebagai pupuk organik.
Saat ditemui waspadaaceh.com, Rabu (30/9/2020), Mulyani, warga Jalan Benteng Baru Lingkungan 24 Pekan Labuhan ini, mengatakan, dia tergabung dalam komunitas Mawar Berduri Ecobrick dan Bank Sampah Berkah yang dibina CSR Fuel Terminal Medan Group, Pertamina MOR I.
“Kalau yang mengolah ecoenzym, semua ibu-ibu yang punya waktu luang dari lingkungan ini dan lingkungan sekitar. Biar mereka memahami sampah organik itu punya manfaat,” kata Mulyani.
Mulyani mulai bercerita bahwa pengolahan sampah organik ini dibimbing langsung oleh petugas yang ahli. Mereka memproduksi ecoenzym dari bahan baku campuran sampah nenas, pepaya, gula merah dan air sumur atau air hujan. Khusus air, tidak boleh menggunakan air PDAM atau air sungai.
“Airnya harus pakai air sumur atau air hujan. Kalau air sungai dan PDAM tidak boleh. Nanti ecoenzym-nya tidak terbentuk. Di sinilah dibekali ibu-ibu bahwa sampah organik juga bisa dimanfaatkan untuk menjadi cairan pembersih lantai,” ujarnya.
Pembekalan ini, kata Mulyani, dilakukan secara berkala. Karena untuk menciptakan ecoenzym membutuhkan waktu lama, sekitar 100 hari.
“Terciptanya ecoenzym ini dari proses pencampuran selama 100 hari. Setiap dua minggu, wadah yang sudah berisi campuran itu tutupnya harus dibuka rutin agar tidak menimbulkan gas yang menyebabkan tutup wadah meledak,” ungkapnya.
Sedangkan untuk ecobrick juga dilakukan berkala disesuaikan dengan jadwal dan jumlah peserta. Ecobrick sendiri adalah sampah botol yang diisi sampah plastik secara padat hingga bisa dimanfaatkan untuk bangunan.
Ecobrick sudah dimanfaatkan warga untuk membangun Gapura Kampung Warna-Warni Ecobrick, tempat duduk, kaki meja hingga dinding beton pengganti batu bata serta hiasan pinggiran parit atau drainase.
Pantauan waspadaaceh.com di lokasi ini, ada sebuah rumah yang sudah memanfaatkan ecobrick menjadi beton cor pengganti batu bata serta hiasan dinding. Apalagi, komunitas ini juga menjual secara komersil ecobrick yang dihasilkan dengan harga satu unit botol sebesar Rp2.000.
Nurul Azmi, CSR Fuel Terminal Medan Group Pertamina MOR I, yang ditemui menjelaskan bahwa pihaknya membina komunitas ini karena memiliki keinginan yang kuat dan motivasi. Keinginan yang didasari selama pandemi ini tidak ada kegiatan, menjadi salah satu faktor pendukung.
Nurul menjelaskan potensi ecoenzym dan ecobrick ini juga sejalan dengan program Pertamina yang Go Green dan Pertamina Sobat Bumi. Pembinaan ini juga dilakukan pihaknya secara aktif dan terus melakukan pemantauan.
Nurul mengaku ibu-ibu kini lebih memiliki keterampilan serta dapat menghasilkan dan membantu ekonomi keluarga. “Jadi, warga juga punya keterampilan dan lebih ekonomis karena bisa menghasilkan produk kebersihan sendiri seperti ecoenzym ini,” tegasnya.
Pertamina MOR I sebenarnya sudah merintis program pengelolaan sampah menjadi bernilai ekonomis. Program pengelolaan sampah yang berlokasi di Fuel Terminal (FT) Medan Group ini dimulai sejak tahun 2018.
Unit Manager Comm, Rel & CSR MOR I, M Roby Hervindo, menyampaikan program pengelolaan sampah ini digawangi kelompok warga di Pekan Labuhan Kecamatan Medan Labuhan, Medan.
“Program ini memberikan nilai tambah ekonomi bagi kelompok Lingkungan 24 hingga mencapai Rp3 juta per bulan dari hasil penjualan ecobrick. Setelah sukses dengan pengelolaan sampah plastik, kali ini kami kembangkan dengan melakukan pelatihan pengolahan sampah organik rumah tangga, yang bernama Ecoenzym,” kata Roby. (sulaiman achmad)
- Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Karya Tulis Anugerah Jurnalistik Pertamina (AJP) Regional dan Nasional 2020