Kabupaten Aceh Tenggara (Agara), Provinsi Aceh, terletak di sekitar lembah Alas, yang dikelilingi oleh perbukitan dan diapit dua sungai, yaitu Sungai Alas dan Lawe Bulan. Kondisi geografis kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Utara itu, menjadikan wilayah ini cukup subur sebagai lahan pertanian dan kawasan hutan.
Masyarakat di daerah ini hampir 70 persen mengandalkan mata pencarian dari sektor pertanian dan perkebunan. Selain dikenal sebagai penghasil jagung, kopi, karet dan coklat, kabupaten ini juga cukup dikenal karena gula arennya. Gula aren dari Kabupaten Aceh Tenggara ini sering disebut para pendatang sebagai “Gula Aren Kutacane.” Kutacane sendiri adalah ibukota Kabupaten Aceh Tenggara.
Banyak petani aren di daerah ini yang menyadap pohon arennya sendiri untuk menghasilkan nira, dan mengolahnya sendiri menjadi gula merah. Sebagian petani aren yang tidak mau repot, ada juga yang kemudian menjual nira sadapannya untuk minuman segar atau ada juga yang diolah menjadi tuak (nira yang dipermentasi).
Ada petani aren yang menekuninya karena sudah turun-menurun, selain untuk kebutuhan ekonomi. Mereka ini biasanya mengolah sendiri niranya menjadi gula merah atau gula aren. Olahan gula aren yang sudah jadi selanjutnya dijual ke pasar atau kepada pedagang pengumpul yang datang.
Dari sisi cita rasa, gula aren Kutacane memang sudah cukup dikenal. Tidak hanya karena manisnya, tapi ada cita rasa yang khas, berbeda dengan gula aren kebanyakan dari daerah lain.
Cara pengolahan gula aren di daerah ini tergolong masih tradisional. Para pendatang, baik itu wisatawan, kalangan NGO, pedagang mau pun tamu kedinasan, merasa tidak lengkap bila tidak membawa oleh-oleh gula aren Kutacane. Sebaliknya para pejabat dan masyarakat di Aceh Tenggara juga merasa belum “memuliakan” tamunya bila tidak memberikan oleh-oleh gula aren.
Hal itu juga yang mendorong keberadaan petani dan pengrajin gula aren di Kabupaten Aceh Tenggara masih bisa bertahan hingga saat ini. Produk mereka memang dibutuhkan konsumen, meski kadang harga jual gula aren dari petani atau pengrajin ke pasaran cenderung naik turun.
Mengolah Gula Aren
Adalah Silahudin, 45, salah satu petani aren warga Desa Buah Pala Kecamatan Lawe Sumur. Kepada Waspadaaceh.com, baru-baru ini, dia menjelaskan cara pembuatan gula aren secara tradisional.
Pertama, kata Silahudin, sebelum menyadap nira dari pohon aren, selama 18 hari atau lebih, harus dilakukan proses pemukulan dengan irama tertentu. Untuk bisa manjat ke atas, biasanya petani membuat tangga dari bambu, yang akan digunakan untuk turun naik setiap hari.
Biasanya yang disadap adalah bagian pangkal tangkai (lengan) janjang bunga aren sebelum menjadi buah. Setelah dipukul-pukul, kemudian lengan-lengan atau pangkal tangkai bunga aren diayun-ayun hinga lentur. Proses ini dilakukan dengan tata cara adat petani aren, yang tidak sembarang dilakukan.
Setelah itu bunga atau mayangnya dipotong, yang tinggal hanya bagian tangkainya. Selanjutnya mengelap airnya yang keluar dari tangkai bunga aren tersebut, sebanyak tiga kali. Hal itu dilakukan untuk melihat apakah air yang keluar dari tangkai bunga aren tersebut banyak atau tidak.
Setelah dipotong, didiamkan selama dua hari. Setelah disiapkan wadah (bambu atau jerigen) pada bagian tangkai bunga yang dipotong, untuk menampung air nira. Air nira ini setiap hari akan diambil (dikumpulkan) seperti mengumpulkan karet dari pohon karet yang dideres (disadap).
Lebih lanjut, pria yang mengaku sudah 22 tahun menyadap nira dan mengolahnya menjadi gula aren ini menjelaskan, ada pantangan saat mengambil air nira, tidak boleh berbicara kotor.
Aman, 45, petani aren lainnya menambahkan, selain tidak boleh bicara kotor, petani aren juga tidak boleh pelit ketika ada orang lain meminta sebagian hasil sadapannya.
“Jika itu dilanggar maka air aren akan cepat mengering atau berkurang,” kata Aman.
Aman mengatakan, setelah selesai mengambil air nira, harus dilakukan penyaringan terlebih dahulu dengan menggunakan kain. Tujuannya agar air nira menjadi bersih, dan siap untuk dimasak atau diolah.
Kembali ke Silahudin, dia kembali menjelaskan, untuk proses pemasakan, terlebih dahulu air nira yang sudah disaring, ditempatkan ke dalam wadah yang besar seperti kuali. Kuali diletakkan di atas tungku tanah, kemudian dimasak dengan bahan bakar kayu.
Selama proses pemasakan air nira, harus terus diaduk selama 3-4 jam. Sedangkan untuk membantu proses pengentalan adonan, hingga pengerasan, biasanya petani atau pengrajin gula aren menggunakan campuran getah kapuk atau ada juga yang menggunakan buah kemiri.
Setelah adonan mulai mengental, selanjutnya dituang ke cetakan dari kayu, bambu atau dari bahan lain yang sudah dipersiapkan. Biasanya hanya membutuhkan waktu 40 menit adonan akan mengeras, maka jadilah gura aren. Gula aren Aceh Tenggara biasanya dibungkus dengan pelepah pohon pisang, ada juga yang menggunakan daun pandan.
Silahudin menambahkan, pengolahan gula aren dia lakukan setiap dua hari sekali. Setiap memproduksi atau mengolah air nira, rata-rata bisa menghasilkan sebanyak 15 Kilogram gula aren. Gula aren dia jual dengan harga antara Rp20 ribu hingga Rp21 ribu/kilogram, tergantung kualitasnya.
“Selalu ada pesanan dari luar daerah, atau pun dari kalangan masyarakat sekitar,” katanya.
Masa Depan Tak Semanis Gula Aren
Kata bapak tiga anak ini, penghasilan sebagai petani aren, selama ini hanya cukup untuk menopang kebutuhan keluarga. Dia mengakui, profesi sebagai petani atau pengrajin gula aren memang belum menjanjikan masa depan yang “manis,” tidak semanis gula aren yang diolahnya.
“Yang penting biaya sekolah ketiga anak saya masih bisa terpenuhi,” ujar Silahudin. Meski sering juga dia mengalami kesulitan, misalnya ketika musim hujan datang, yang bisa menghalanginya untuk menyadap nira.
Silahudin berharap kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Tenggara, Pemerintah Aceh maupun pusat, agar membantu mereka (petani aren) memfasilitasi untuk mendapatkan peralatan yang lebih mendukung. Sebab selama ini mereka hanya mengandalkan cara-cara tradisional, termasuk untuk mendapatkan bibit hingga proses pengolahan.
Selain itu dia berharap pemerintah membantu menyediakan bibit aren berkualitas bagus, yang kandungan gula dalam air niranya lebih tinggi. Dengan demikian maka hasil produksi olahan gula aren para petani di Aceh Tenggara bisa meningkat dari biasanya dan lebih berkualitas.
“Kami ingin tetap bisa menjaga kualitas gula aren di Aceh Tenggara ini. Bila kualitas bibit pohon aren tidak terjamin, maka lama-kelamaan produksi dan cita rasa gulan aren bisa berubah,” tambahnya.
Sementara itu Wildan, Camat Lawe Sumur, mengatakan, dari 24 desa yang ada di wilayahnya, jumlah petani aren ada sebanyak 70 Kepala Keluarga (KK). Mereka sudah sejak lama menggeluti sebagai petani aren, yakni di Desa Buah Pala, Tiger Miko, Bertandang, Lawe Sumur dan Desa Kuta Lesung.
Kata camat, petani aren di lima desa tersebut bisa memproduksi gula aren diperkirakan perbulannya mencapai 11 ton. Produk gula aren petani itu, lanjut Wildan, pemasaran masih melalui tengkulak, tidak kepada konsumen langsung.
“Sebagian memang dijual ke pasar-pasar tradisional yang ada di Kutacane. Saat ini memang belum ada kerja sama dari pihak luar yang difasilitasi oleh pemerintah daerah untuk menjual gula aren hasil olahan petani tersebut,” lanjut Wildan yang belum genap dua bulan menjabat camat di daerah itu.
Kata Wildan, dia nantinya akan menganjurkan kepada masing-masing kepala desa agar membantu petani aren melalui dana desa atau BUMDes. Petani aren bisa membentuk kelompok agar lebih mudah dalam proses pemasaran.
“Kami dari kecamatan siap untuk membantu petani aren, khususnya di Kecamatan Lawe Sumur,” ungkapnya.
Kepala Bidang Usaha Kecil Menengah (Kabid UKM) Dinas Koperasi dan UKM Aceh Tenggara, Zailani, mengatakan, jumlah petani aren di kabupaten itu yang tercatat mencapai lebih 400 petani. Mereka, kata Zailani, tersebar di beberapa kecamatan, yakni Lawe Sumur, Bukit Tusam, Ketambe Deleng Pokisen, Babul Rahmah, Lawe Sigala Gala dan Kecamatan Badar.
Sedangkan luas lahan pohon aren belum bisa dicatat secara tepat, pasalnya kata dia, pohon aren tersebut tumbuh secara liar. Bila ditanam oleh petani aren, biasanya berjarak puluhan meter dengan jenis tanaman lain. Tidak khusus pohon aren. Setiap petani aren diperkirakan mempunyai pohon aren sebanyak 20 sampai 30 batang.
“Di lahan petani aren, bukan pohon aren saja yang ditanam, ada juga jenis tanaman kopi, coklat, jagung, lemiri dan karet,” kata Zailani.
Pemerintah daerah, lanjut Kabid UKM ini, pada tahun 2019 pernah membantu sebagian petani aren yang membentuk kelompok. Bantuannya berupa peralatan pendukung produksi aren. Dananya bersumber dana APBA, namun belum merata bagi seluruh petani aren, ujarnya.
“Namun kita terus berupaya memfasilitasi pemasaran gula aren hasil produksi petani. Di samping itu bantuan modal juga nantinya akan kita usulkan kepada pemerintah daerah maupun dari pusat,” ucap Zailani.(Sopian)