Selasa, Oktober 8, 2024
BerandaOpiniHikmah dan Rahasia Kematian (Mengenang Tu Sop dalam Ijtihad Politik)

Hikmah dan Rahasia Kematian (Mengenang Tu Sop dalam Ijtihad Politik)

“Jika kita umat Nabi Muhammad SAW, tidak beragama dalam politik, dan tidak memperbaiki politik itu dengan agama, kita semua rugi dunia akhirat”

Catatan Dr. Wiratmadinata, SH, MH

Catatan ini saya tulis, sebagai tanda penghormatan yang takzim dan ungkapan duka cita atas berpulangnya Allahyarham Tgk. H. Muhammad Yusuf, bin A. Wahab, yang oleh santri dan kerabat dekatnya dipanggil “Tu Sop”.

Beliau adalah seorang ulama Aceh yang berpikiran modern, lembut, tapi sekaligus progresif (keinginan untuk bergerak maju). Kepada arwah beliau saya sampaikan; Alfatihah. Kepergian Tu Sop yang mendadak, dalam usia relatif muda, 60 tahun, menimbulkan rasa kehilangan yang dalam bagi keluarga, santri dan seluruh umat Islam di Aceh. Baik yang pernah berkenalan langsung, maupun yang hanya mengenal namanya.

Saya sendiri tidak mengenal almarhum Tu Sop secara pribadi, tapi sudah mendengar kiprah beliau sebagai sosok yang dihormati karena ilmu dan keteladanannya. Khususnya di kawasan Bireuen, di mana beliau mendirikan dan memimpin Dayah (pesantren) Babussalam Al-Aziziyah, Jeunieb.

Pertama kali saya mendengar nama Tu Sop sekitar tahun 2010, saat masih memimpin Forum LSM-Aceh, di mana kolega dan jaringan kerja saya di sana, telah menyebut nama beliau, dan mengungkapkan keinginan mereka agar sosok Tu Sop, dapat didorong maju memimpin Aceh.

Anak-anak muda Bireuen ini, dengan sangat bersemangat mendukung Tu Sop, masuk ke dalam politik, agar dapat memberikan kontribusinya sebagai seorang ulama sekaligus pemikir, di dalam pemerintahan. Sejak saat itu, sosok Tu Sop tak asing lagi bagi saya.

Dengan mengikuti rekaman perjalanan politik serta kutipan ceramah-ceramah Tu Sop di media sosial, jelas sekali bahwa progresivitas almarhum ditunjukkan dengan ajaran Islam yang membumi, dan terkait langsung dengan kehidupan sosial-politik. Almarhum berkeinginan kuat, bahwa agama harus memberi warna atau bahkan memperbaiki politik. Artinya, pada saat bersamaan, hal itu bermakna juga memperbaiki pemerintahan.

Kiprah almarhum yang terpercaya membawanya pada posisi sebagai Ketua Himpunan Ulama Dayah (HUDA) Aceh, sejak 2019, hingga saat berpulang ke Rahmatullah pada 2024. Bahkan pada saat menghembuskan nafas terakhir, almarhum masih memiliki status sebagai Calon Wakil Gubenur Aceh, yang akan ikut Pilkada 27 November 2024 mendatang.

Suatu kali Tu Sop mengatakan dalam bahasa Aceh; “Meunyoe geutanyoe uroe nyo ummat Nabi Muhammad (SAW), hana ta meugama lam politik, dan han taperbaiki politik nyan ngoen agama, geutanyoe rugoe dunia akhirat”. (Jika kita umat Nabi Muhammad SAW, tidak beragama dalam politik, dan tidak memperbaiki politik itu dengan agama, kita semua rugi dunia akhirat”).

Selanjutnya beliau menegaskan, malah demi untuk memperkuat kebenaran, alih-alih mencari uang dari politik, bahkan kita mengeluarkan uang untuk memperkuat kebenaran. Walaupun, kita bukanlah seorang kandidat, (melainkan) hanya untuk memodali kebenaran. “Maka lahirkanlah orang-orang yang memiliki kapasitas yang baik (untuk) ke sana,” ujar Tu sop.

Dari pernyataan Tu Sop, kita bisa memahami almarhum sangat mengerti kedalaman persoalan-persoalan praktik politik di Aceh, yang selama ini terasa “banal” (bebal). Jauh dari gambaran akhlak politik yang baik. Oleh karena itu, politik di Aceh memerlukan asupan spiritualisme agama, moral dan nilai-nilai yang kuat, sehingga dunia politik dan pemerintahan menjadi bermanfaat bagi umat, tidak sebaliknya justru merugikan umat atau masyarakat.

Selanjutnya disampaikan, “Uroe nyoe peurlee taperbaiki paradigma politik, supaya nanggroe nyoe rheut bak ureung-ureung nyang beutoi. Bak jaroe ureung nyang niet jroh dan ureung nyang tuoh” (Hari ini perlu kita perbaiki paradigma politik, supaya negeri ini bisa jatuh ke tangan orang-orang yang benar, orang-orang yang berniat baik  dan orang-orang yang faham).

Bagi Tu Sop; paradigma politik yang dimaksud tentu saja paradigma moral dan akhlak politik sebagai seorang Islam yang mengedepankan tujuan-tujuan mulia kemanusiaan, sebagai tujuan politik itu sendiri. Hanya dengan paradigma dan moralitas tinggi kita bisa mendapatkan pemimpin yang “Jroh” (baik, betul, bermoral) dan yang “tuoh” (paham, mengerti, ahli).

Bagi saya, statement di atas itu adalah kalimat yang sangat kuat menjelaskan bahwa pikiran dan tindakan politik yang dilakukan Tu Sop, sejak hampir 20 tahun terakhir, dengan cara masuk ke dalam ranah pertarungan politik praktis merupakan bentuk “ijtihad politik” yang dilakukan dengan kesadaran sangat tinggi. Bukan sekedar berpolitik.

Tu Sop menyadari; untuk “peukong yang beutoi” (memperkuat kebenaran), adalah suatu strategi, agar rekrutmen politik menghasilkan manusia-manusia pilihan yang lurus. Mulai dari niat di dalam hati, keberpihakan pada kebenaran dan “Tuoh”; yaitu paham masalah-masalah pemerintahan dan masyarakat. Dan untuk itu, Tu Sop, merasa tak bisa lagi berdiam diri; karena itulah beliau masuk ke dalam ranah politik praktis. Sebenarnya tidak harus beliau sendiri; tetapi untuk “memodali kebenaran”.

Namun demikian, manusia hanya bisa berencana, Allah SWT jua yang menentukan segalanya. Takdir berkehendak lain; semua langkah dan ikhtiar Tu Sop untuk masuk ke dalam politik praktis belum berhasil hingga akhir hayatnya.

Tu Sop Wafat, Rahasia Allah

Ketika langkah-langkah itu terasa semakin dekat, dengan resmi menjadi Calon Wakil Gubernur Aceh, bersama Bustami Hamzah, Tuhan memanggil lelaki bersuara lembut ini ke haribaan selamanya. Tu Sop wafat, Sabtu, 7 September 2024 setelah mendapat perawatan singkat di sebuah Rumah Sakit di Jakarta, dan dikebumikan hari Minggu di lingkungan pesantrennya di Bireuen, Aceh. Innalilahi wa inna ilaihi raji’un.

Langit Aceh menjadi redup, dan kata-kata sulit diucapkan. Saya merenung; bagi saya, kepergian Tu Sop, tidaklah sederhana. Almarhum tidak pergi begitu saja. “Beliau bukan hanya seberkas cahaya, yang mengerlip tipis dalam senja temaram, lalu padam dan menyisakan langit yang gelap.”

Sebagai seorang ulama yang terpuji dan insyaallah menjadi kesayangan Allah SWT, ada banyak hikmah dan rahasia di baliknya. Bahkan di dalam kematiannya pun, almarhum meninggalkan pelajaran yang harusnya bisa kita ambil hikmahnya, meski tetap ada rahasia Allah SWT, yang tidak mampu kita pahami.

Kepergian Tu Sop bukan hanya duka bagi keluarga dan kerabat dekat, tapi bagi seluruh rakyat Aceh. Jauh di dalam batin, saya bisa merasakan, Tuhan seakan sedang memberikan ingatan bagi kita semua; bahwa kematian begitu dekat, meski manusia merencanakan hal-hal besar dalam hidupnya.

Mengenai kematian, Allah berfirman: “Katakanlah: Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.”  (QS. Al-Jumu’ah (62): 8.

Dalam ajaran Islam juga dikatakan, mengingat kematian juga dikenal sebagai bentuk “tazkiyah” (pensucian jiwa) yang dapat menolong seseorang untuk terus mendekatkan diri kepada Allah, itulah sebabnya kita dianjurkan melakukan “takziyah,” saat ada kematian. Nah, bagi para calon pemimpin yang akan ikut Pilkada; apakah berpulangnya Tu Sop menjadi hikmah untuk mengingat bahwa dunia ini hanyalah “tempatnya senda gurau,” hanya sekejap saja.

Bahwa sebesar apapun jabatan yang ingin diraih, harus didapatkan dengan cara berakhlak dan bermoral, sehingga menjadi bekal kebaikan pada hari kematian. Bahwa, setinggi apapun jabatan di dunia ini, jangan pernah lupa, semua akan hilang sekejap mata, ketika Tuhan memanggil kita. Bahkan di dalam kematianpun, Tu Sop mengingatkan kita; Siapkanlah diri untuk menghadap Allah SWT, dan lakukanlah segalanya dengan niat dan itikad yang mulia; karena di dalam kematian hanya itu yang berguna.

Ada banyak pertanyaan dalam hati yang tak terjawab; Mengapa Tu Sop pergi justru di saat semua orang mengharapkan? Bukankah Aceh memerlukan seorang ulama yang jadi teladan sehingga dapat mengawal kinerja para umara? Apakah Allah SWT, begitu sayang kepada beliau sehingga Allah tidak rela membiarkan Tu Sop bergelimang dalam dunia politik yang seringkali gelap dan kelabu itu?

Entahlah; itu semua Rahasia Allah, sang pemiliki masa lalu dan masa depan, penguasa alam gaib dan alam fana, yang menjadi bahan renungan kita. Akan seperti apakah masa depan Aceh di masa depan? Wallahu’alam.

Akhirul kalam; Allahyarham Tu Sop; terima kasih telah memberi warna dan pelajaran bagi kami semua. Telah kau ajarkan; apa hakikatnya berpolitik dan berjuang dalam politik. Kau telah mengingatkan kami semua sekali lagi ; bahwa pangkat, jabatan, kekayaan, kemuliaan di dunia, tidak ada harganya; jika tak memiliki catatan kebaikan insan, saat menghadap-Nya. Alfatihah. (*)

  • Penulis adalah seorang akademisi 
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER