Medan – General Manager PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah (UIW) Sumatera Utara, Feby Joko Priharto, mengungkapkan, sudah satu dasawarsa terakhir kepulauan Nias belum bebas dari tunggakan listrik 12 lembar ke atas (lebih dari satu tahun).
Tunggakan tersebut paling tinggi terjadi pada Oktober 2018 dengan nilai akumulatif sekitar Rp45 miliar. Dari jumlah itu tidak sedikit yang tertunggak hingga 10 tahun.
“Adapun jumlah tunggakan 12 lembar ke atas sampai dengan tahun 2018 mencapai sekitar 14 ribu rekening. Kemudian PLN Sumut bekerja secara khusus untuk menekan tunggakan tersebut mulai November 2018,” kata FJP, sapaan akrab Feby Joko Priharto, Minggu (15/9/2019).
Hingga akhirnya pada Agustus 2019, jumlah tunggakan mampu diperkecil hingga tersisa Rp3,89 miliar. Sepanjang 2019, jumlahnya turun signifikan dan sampai dengan September tinggal 74 rekening dari sebelumnya 14 ribu rekening.
Untuk itu, PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah Sumatera Utara menerapkan beberapa kiat khusus dalam melakukan penagihan terhadap belasan ribu penunggak listrik 12 lembar ke atas di kepulauan Nias.
Senior Manager Niaga PT PLN (Persero) Unit Induk Wilayah (UIW) Sumut, Rino Gumpar Hutasoit mengungkapkan, pihaknya punya cara sendiri untuk menurunkan tunggakan listrik 12 lembar ke atas (lebih dari setahun) di kepulauan Nias.
“Kalau bersurat, di pulau Nias mungkin setiap pelanggan (yang menunggak) sudah mendapat surat (peringatan) 10 sampai 20 kali,” ujar Rino.
Selain itu, PLN Sumut juga sudah berulang kali berkoordinasi dengan Pemda sampai ke tingkat kecamatan, mengenai tunggakan tersebut. Begitu juga sosialisasi ke sekolah-sekolah dan tempat ibadah.
Namun ketika itu, upaya tersebut dinilai tidak membuahkan hasil yang signifikan. Opsi lain juga tidak dapat dilakukan, yakni mengganti meteran listrik dari konvensional ke meteran token.
“Itu karena sistem PLN tidak mengakomodir proses migrasi yang masih mengalami tunggakan. Sehingga pilihannya tinggal membongkar meteran atau pelanggan melunasi tunggakannya,” ujarnya.
Di sinilah PLN Sumut menerapkan kiat-kiat khususnya yang diawali dengan memetakan wilayah dalam tiga zona. Penagihan tunggakan pada zona hijau dilakukan oleh elemen pegawai, vendor dan pengamanan terbatas (tidak dengan pengawalan aparat).
Kemudian pada zona kuning (sedang) terdiri dari pegawai, vendor dan pengamanan tetap (dikawal 1 regu personel Polri dan TNI). Lalu pada zona merah (berbahaya) upaya penagihan dilakukan berkelompok dengan jumlah tim yang lebih besar.
“Jumlah tagihan yang berada di zona merah mencapai 60 persen dari sekitar 14 ribu tagihan 12 lembar ke atas. Pada zona kuning ada 30 persen dan sisanya di zona hijau,” jelasnya.
Ini yang menjadi masalah mengapa penagihan tunggakan 12 lembar ke atas belum selesai selama 10 tahun. Pemutusan listrik yang dilakukan terhadap para penunggak 12 lembar ke atas hanya dilakukan terhadap mereka yang berada di zona hijau.
Pada kondisi tertentu, PLN terpaksa melakukan “tarik ulur” tindakan pembongkaran meteran karena tidak bisa langsung dipaksakan. Tindakan pembongkaran kerap dibatalkan karena terjadi kondisi yang membahayakan keselamatan petugas.
Namun tim penindak kembali datang berkali-kali sampai tindakan tersebut selesai dilaksanakan. Petugas diperintahkan tidak lagi kompromi. Listrik harus diputus bila penunggak tidak juga bersedia membayar tagihannya meski dengan cara dicicil.
“Sampai hari ini kami tidak pernah melakukan tindakan keras kepada warga, meski keselamatan petugas sering terancam. Dan itu kami syukuri,” tegasnya. (sulaiman achmad)