Banda Aceh (Waspada Aceh) – Seiring berakhirnya masa tugas Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki per tanggal 6 Juli 2023, pengamat politik di Aceh menilai Achmad Marzuki tidak layak diusulkan kembali menjadi Pj Gubernur Aceh.
Alasan pengamat menilainya tidak layak, karena selama 11 bulan menjabat sebagai Pj Gubernur Aceh, tidak banyak yang bisa dilakukan Achmad Marzuki.
Pengamat Politik dan Ekonomi dari Universitas Muhammadyah Aceh, Taufiq A. Rahim kepada Waspadaaceh.com, Sabtu (10/6/2023) menyebutkan, jika dilihat dari kinerja Achmad Marzuki selama hampir setahun menjabat Pj Gubernur Aceh nilainya sangat buruk.
“Hal itu juga diperkuat oleh Dirjen Bina Kewilayahan Kemendagri, yang menilai Achmad Marzuki gagal menjalankan empat indikator dari enam indikator yang ada,” kata Taufiq.
Akademisi ini menjelaskan, pertama indikator kemiskinan. Saat ini Aceh masih menempati posisi nomor satu termiskin di Sumatera dengan 16,7 persen kemiskinan atau terdapat 800 ribu orang miskin di Aceh.
Berita terkait:Â Partai Aceh Tidak Ajukan Nama Achmad Marzuki ke Mendagri
Indikator kedua, lanjut Taufiq, adalah pengangguran. Selama hampir satu tahun menjabat, angka pengangguran di Aceh juga naik dari 800 ribu menjadi 1,3 juta orang. Begitupun dengan stunting dan inflasi. Inflasi di Aceh mencapai 6,1 persen, sementara pertumbuhan ekonominya hanya 4,2 persen.
“Artinya, kinerja yang ditunjukkan selama ini oleh Achmad Marzuki jelek, dan tidak ada kinerjanya,” tegasnya.
Dia juga menilai kedekatan Achmad Marzuki selaku pemimpin di Aceh dengan masyarakat juga kurang. Di samping itu, dia membeberkan selama enam bulan lebih izin tambang galian C jumlahnya meningkat, mencapai 400 lebih.
“Itu membuat adanya deporestrasi (penebangan hutan) yang dapat merusak lingkungan hidup di Aceh. Jika terjadi banjir bandang atau longsor dia juga tidak tanggap,” tuturnya.
Kata Taufiq, investor yang dijanjikan ketika awal ia dilantik, sampai saat ini belum terbukti. “Tidak ada investor datang ke Aceh. Itu omong kosong aja waktu di awal,” jelasnya.
Di samping itu, dia juga menyebutkan tim kerja Pj Gubernur Aceh dari enam orang kini menjadi 17 orang. Tentunya penambahan itu telah membebani APBA.
Jadi, menurutnya tidak ada yang bisa dibanggakan atau hal yang fenomenal sejak Achmad Marzuki menjadi Pj Gubernur Aceh. Dengan melihat raport merah dari Achmad Marzuki, Taufiq A Rahim menilai sangat tidak layak jika diusulkan kembali Pj Gubernur Aceh.
Namun demikian, pengganti Achmad Marzuki juga harus memenuhi syarat, baik aturan maupun Undang-Undang. Karena itu dia berharap agar DPRA tidak sembarangan mengusulkan nama calon Pj Gubernur Aceh.
“Apalagi tidak cukup syarat, karena mengurus rakyat Aceh 5, 38 juta bukan sedikit. Dan hari ini problem di Aceh juga sangat komplek baik kesiapan dalam menjelang tahun politik, kemiskinan, pengangguran dan stunting,” tuturnya.
Dia berpesan, agar DPRA selektif untuk memilih calon Pj Gubernur Aceh. Di samping itu DPRA harus menguji calon Pj Gubernur Aceh yang diusulkan nantinya.
Minim Terobosan untuk Rakyat
Sementara itu, Pengamat Sosial dan Politik dari Universitas Abulyatama (Unaya) Banda Aceh, Usman Lamreung, juga menilai, selama setahun menjabat Pj Gubernur Aceh sepertinya tidak melakukan apapun atau minim terobosan dan kebijakan untuk kepentingan rakyat.
Awal dilantik, lanjut Usman, banyak yang menaruh harapan pada Achmad Marzuki untuk melakukan pembenahan internal birokrasi pasca Nova. Namun sangat disayangkan, hampir berakhir masa tugas sebagai Pj Gubernur, mutasi dan rotasi tak kunjung dilakukan.
Begitu juga, kata Usman, janji menghadirkan para investor ke Aceh, hanya sektor tambang saja yang terlihat sehingga menuai berbagai sorotan publik.
“Di sektor lain, belum ada satupun investor berminat ke Aceh, baik sektor perikanan, perkebunan, parawisata dan lainnya. Bisa jadi karena masalah kepastian hukum, politik dan birokrasi,” jelasnya.
Kata Usman, begitu juga dengan kebijakan pengentasan kemiskinan, masih belum berbanding lurus dengan realisasi anggaran. Masalah kemiskinan, sebenarnya menjadi masalah bersama provinsi dan kabupaten/kota. Seharusnya sebagai Pj Gubernur, Acmad Marzuki harus mampu membangun koordinasi dan komunikasi dengan kabupaten/kota.
“Sayangnya kurang ada koordinasi dan komunikasi serius dilakukan Pj Gubernur Aceh. Hanya sekali, setelah itu tidak terdengar lagi,” tegasnya.
Masalah PON Aceh juga menjadi dilematis dan nyaris gagal. Pj Gubernur Aceh sepertinya tidak mampu membangun komunikasi dan koordinasi lintas sektor dalam menyukseskan PON, termasuk pengadaan fasilitas seperti vanue dan kesiapan teknis lainnya.
Baru-baru ini, tambah Usman, Pj Gubernur juga membuat kegaduhan politik terkait dengan revisi Qanun LKS.
“Padahal Pj Gubernur bisa mengelola konflik tersebut dengan lintas sektor duduk bersama, MPU, akademisi, ulama, pengusaha dan kelompok lainnya. Tetapi ini tidak dilakukan,” tegasnya.
Karena itu, dia menilai Aceh seperti tidak ada pemimpin, tidak ada kebijakan pembangunan ekonomi untuk mendorong tersedianya lapangan kerja, menurunkan stunting, kemiskinan masif dan berbagai masalah lain seperti banjir, kemarau, serta illegal logging.
“Termasuk semua rekomendasi DPRA untuk melakukan reformasi birokrasi tidak dilakukan. Karena itu, sudah selayaknya Pj Gubernur Aceh dievaluasi dan diganti dengan yang lebih paham masalah Aceh,” tutupnya. (*)