Senin, Juni 30, 2025
spot_img
BerandaOpini"Fatherless dan Tantangan Zaman: GATI Hadir Mengubah Narasi"

“Fatherless dan Tantangan Zaman: GATI Hadir Mengubah Narasi”

Memperingati Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-32 dengan tema “Dari Keluarga untuk Indonesia Maju”, kita diajak untuk menengok kembali peran strategis keluarga sebagai fondasi utama pembangunan bangsa.

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan. Namun, dalam praktiknya, peran ayah dalam keluarga masih sering terabaikan. Ia hadir sebagai pencari nafkah, tapi tidak selalu hadir sebagai pendamping emosional anak. Padahal, di tengah perubahan zaman yang begitu cepat dengan pergeseran nilai, lonjakan teknologi, dan keberagaman budaya, peran ayah menjadi semakin krusial dan kompleks.

Sayangnya, realitas menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan masih jauh dari ideal. Ketidakhadiran ayah, baik secara fisik dan terutama secara emosional menjadi persoalan yang tidak bisa diabaikan. Data UNICEF 2021 mencatat, sekitar 20,9% anak Indonesia tumbuh tanpa kehadiran ayah.

Fenomena fatherless ini bukan hanya menyangkut kehadiran fisik, tapi juga keterlibatan emosional yang minim. Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa 2% remaja usia 15-24 tahun mengalami gangguan kesehatan mental, dengan depresi sebagai gejala tertinggi.

Banyak dari mereka hidup dalam ketidakhadiran figur ayah yang suportif. Psikolog dari UGM, Diana Setiyawati, menyebut, keterlibatan ayah yang rendah bisa berdampak pada kemampuan anak mengelola emosi dan membangun relasi sosial yang sehat.

Gerakan Ayah Teladan Indonesia (GATI) yang diinisiasi oleh Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN hadir sebagai inisiatif strategis. GATI tidak hanya mendorong kehadiran fisik ayah, tetapi juga mengajak para ayah untuk hadir secara emosional, reflektif, dan adaptif terhadap zaman. Program ini memfasilitasi pelatihan, diskusi, dan kelas parenting berbasis komunikasi dialogis, baik lintas usia maupun lintas budaya.

Mengapa lintas budaya? Karena keluarga Indonesia tidak hanya terdiri atas suami-istri dari suku yang sama, tetapi juga kian banyak keluarga hasil pernikahan lintas etnis dan agama. Sementara itu, lintas generasi menjadi tantangan tersendiri.

Ayah generasi X atau baby boomer kerap mengalami kesenjangan komunikasi dengan anak-anak generasi Z atau Alpha yang tumbuh dalam kultur digital yang serba cepat dan terbuka.

Tiga teori komunikasi memberikan lensa untuk memahami ini. Pertama, Cross-Cultural Adaptation Theory dari Young Yun Kim, yang menggambarkan bagaimana individu termasuk ayah perlu beradaptasi dengan “budaya baru”, yakni cara berpikir dan berkomunikasi generasi anak.

Kedua, Anxiety/Uncertainty Management Theory dari William Gudykunst, yang menjelaskan bahwa kecemasan dan ketidakpastian komunikasi bisa dikelola jika ayah mengembangkan komunikasi yang mindful dan terbuka.

Ketiga, Intergenerational Communication Theory dari Howard Giles dan Harwood, yang menekankan pentingnya strategi akomodatif agar tidak terjadi jarak atau konflik antargenerasi.

Ayah masa kini bukan lagi sosok otoriter yang semua perkataannya harus dituruti. Ia harus belajar menyimak, merangkul, dan mengajak berdialog. Ia perlu mengembangkan kecerdasan emosional, literasi digital, serta kemampuan mendengarkan yang aktif.

Inilah yang coba dibentuk oleh GATI sebuah ruang transformatif yang membekali ayah dengan keterampilan pengasuhan abad ke-21.

Keluarga adalah tempat pertama seorang anak belajar tentang cinta, kepercayaan, dan nilai-nilai hidup. Ayah yang terlibat tidak hanya memperkuat ketahanan keluarga, tapi juga membentuk generasi yang lebih sehat secara mental, tangguh, dan berkarakter. Karena itu, memperkuat peran ayah bukan semata agenda normatif, melainkan investasi sosial jangka panjang.

Dan di tengah keberagaman Indonesia dalam suku, nilai, dan generasi, GATI memberi kita harapan bahwa menjadi ayah yang hadir, adaptif, dan teladan bukan lagi cita-cita, tapi sebuah keniscayaan.

Peringatan Hari Keluarga Nasional ke-32 menjadi momentum yang tepat untuk menegaskan kembali bahwa dari keluarga yang kuat akan lahir Indonesia yang maju. Dalam konteks ini, GATI memberi harapan nyata bahwa menjadi ayah yang hadir, adaptif, dan teladan bukan lagi cita-cita ideal, melainkan tanggung jawab bersama yang harus diwujudkan mulai dari rumah, mulai dari sekarang.

Referens:
Gudykunst, W. B. 2005. Anxiety/Uncertainty Management Theory. In W. B. Gudykunst (Ed.), Theorizing About Intercultural Communication. Sage

Harwood, J. & Giles, H. (1995). Aging, communication, and intergroup theory: Social identity and intergenerational communication. dalam Handbook of the Psychology of Aging

Young Yun Kim. 2001. Becoming Intercultural: An Integrative Theory of Communication and Cross-Cultural Adaptation

Survei Kesehatan Indonesia, 2023. Laporan%20ski%202023%20dalam%20angka_Final.pdf

Unicef Indonesia, Indonesia: Sejak pandemi dimulai, lebih dari 25.000 anak kehilangan orang tua akibat covid 19, 30, 2021. https://www.unicef.org/indonesia/id/siaran-pers/indonesiasejak-pandemi-dimulai-lebih-dari-25000-anak-kehilangan-orang-tua-akibat-covid

https://www.kompas.com/edu/read/2023/05/23/102720471/dampak-fatherless-bagi-perkembangan-anak-menurut-psikolog-ugm?page=2

Penulis Retno Dewanti, mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Sahid Jakarta

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER