Dalam opininya, Yogi mengkritik penempatan perwira aktif TNI di jabatan sipil yang dinilainya bertentangan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem ASN.
Oleh: Marah Sakti Siregar
BARU sekitar sepuluh hari berkantor, pengurus baru Dewan Pers
(2025-2028) sudah disambut masalah yang ngeri-ngeri sedap. Sumbernya: detiknews.com. Redaksi media siber ini, pada Kamis (22/5/25) pukul 07.32 WIB memuat artikel opini yang ditulis Yogi Firmansyah, seorang ASN di Kementerian Keuangan. Judulnya: “Jenderal di Jabatan Sipil: Di Mana Merit ASN?”
Tapi, baru dua hari tayang, Jumat sore (24/5/25) artikel opini itu dicabut dengan catatan yang mengejutkan. “Redaksi menghapus artikel ini atas rekomendasi Dewan Pers dan demi keselamatan penulisnya.”
Sontak insan media sosial, media pers, dan publik, heboh. Maklum, terbilang jarang berita, artikel, atau isi media siber dicabut dan diumumkan dengan narasi seperti itu. Apa yang ditulis di artikel itu sampai keselamatan penulisnya terancam? Begitulah umumnya pertanyaan publik. Dewan Pers sendiri disorot. Betulkah Dewan Pers mengizinkan pencabutan artikel itu?
Segalanya menjadi jelas ketika sang penulis Yogi Firmansyah, Jumat siang, 23 Mei, dengan terpincang-pincang datang mengadu untuk meminta perlindungan ke Dewan Pers (DP). Dia merasa jiwanya terancam. Sayang, mungkin karena dadakan, tidak ada Anggota DP yang bisa ditemuinya. Ia pun diterima dengan bersahabat oleh beberapa anggota Pokja Komisi Pengaduan dan Komisi Hukum Dewan Pers.
Sambil menangis di pertemuan itu, mahasiswa bea siswa Magister Ilmu Administrasi UI itu, menuturkan tindak kekerasan yang dialaminya pada hari Kamis, 22 Mei 2025. Hanya sekitar dua jam setelah artikel opini yang ditulisnya tayang di detiknews.com.
Ada dua tindak kekerasan yang diterimanya. Pertama, pada sekitar pukul 09.00 pagi, ketika mengantar anaknya yang TK ke sekolah. Sepeda motornya dipepet dua orang yang berboncengan dan mengenakan helm yang tertutup rapat. Akibatnya, dia terjatuh. Sang penyerempet langsung kabur.
Lalu beberapa jam kemudian saat keluar rumahnya di daerah Cipondoh, Tangerang. Dia kembali diikuti oleh dua orang berboncengan juga pake helm tertutup penuh. Tapi, sepeda motornya beda dengan sepeda motor yang sebelumnya.
Kali ini, orang tak dikenal yang diboceng sepeda motor itu menendang Yogi sampai jatuh dari motor. Akibatnya, kaki kirinya cidera. Menyebabkan ia kini kalau jalan, harus terpincang-pincang.
Yogi mengatakan dia tak pernah punya musuh atau bertikai dengan orang lain. Mengapa ada orang mengincarnya?
Ayah dua anak itu mulai merasa cemas, ketika seorang temannya mengingatkan agar dia ber hati-hati. Sebab, itu mungkin dampak artikel yg ditulisnya di detiknews.com.
Apa yang ditulis Yogi? Sebenarnya dia hanya sedang menjalankan tugas dari dosennya. Agar menulis analisa seputar birokrasi dan tulisan itu dimuat di media. Yogi pun menuliskan analisanya. Terkait pengangkatan sejumlah perwira tinggi TNI di posisi puncak birokrasi sipil.
Dalam opininya, Yogi mengkritik penempatan perwira aktif TNI di jabatan sipil, seperti posisi eselon I di kementerian dan BUMN, yang dinilainya bertentangan dengan prinsip meritokrasi dalam sistem ASN.
Ia menilai bahwa penempatan tersebut tidak sejalan dengan UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, yang mengatur bahwa prajurit aktif hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.
Jadi, analisa yang mengingatkan sebenarnya. Tak ada kritik atas personal atau narasi menghina dan merendahkan seseorang atau kelompok.
Kritik yang Menyerempet
Tapi, terkait tulisan kritik itulah, teman Yogi tadi sempat mengingatkan. Bahwa kritiknya bisa menyerempet atau diserempetkan melawan kebijakan Presiden Prabowo dalam menunjuk berapa perwira tinggi TNI menjadi pejabat eselon satu di kementerian, lembaga dan badan usaha milik negara.
Salah satunya–yang ramai jadi pembicaraan publik–adalah Letjen (Pur) Djaka Budi Utama. Dia baru saja dilantik Menteri Keuangan Sri Mulyani menjadi Dirjen Bea dan Cukai baru.
Jenderal pensiunan Kopassus ini sedang disorot kalangan civil society. Di antaranya Kontras (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) karena rekam jejak masa lalunya. Ia tercatat pernah menjadi anggota Tim Mawar, tim yang terlibat dalam penculikan puluhan mahasiswa di awal reformasi (1997-1998). Dan karena itu sempat dihukum penjara.
Tapi, apakah karena mengeritik Jenderal TNI, Yogi diserempet? Sangat sulit dibuktikan.
Toh, karena merasa amat cemas dan ingin segera bisa aman, Yogi pun percaya pada dugaan dampak tulisannya itu. Ia pun segera menemui redaksi detiknews.com. Memohon agar tulisannya diturunkan (take down) saja.
Namun, redaksi detiknews menyatakan mereka tidak bisa menghapus tulisan yang sudah ditayangkan tanpa izin atau rekomendasi Dewan Pers. Makanya, dia disarankan untuk meminta rekomendasi dulu ke Dewan Pers.
Usai bertemu dengan Tim Pokja Dewan Pers, Yogi langsung menemui redaksi detiknews. Sementara, Tim Pokja melaporkan hasil pertemuan itu kepada Wakil Ketua Dewan Pers Totok Suryanto, dkk.
Abdul Manan, anggota Dewan Pers yang baru didapuk menjadi ketua Komisi Hukum DP, mengatakan berkas pengaduan Yogi memang sudah diterima pengurus DP. Tapi, terkait permintaan rekomendasi belum dibahas di rapat pleno. Makanya, ia dan pengurus DP lainnya kaget ketika redaksi detiknews melakukan penghapusan artikel dengan narasi atas rekomendasi DP.
“Mungkin karena Yogi sudah ke DP. Lalu, ia memberitahukannya kepada redaksi detiknews. Mereka kemudian menyimpulkan begitu, ” kata Manan, sambil tertawa. Setelah diingatkan, Redaksi detiknews langsung meralat pengumuman mereka.
Siaran Pers Normatif
Dewan Pers sendiri kemudian mengeluarkan siaran pers. Terdiri atas 5 butir. Antara lain, butir pertama membantah DP telah memberikan rekomendasi pencabutan artikel di detiknews.com. Dan dibutir 3 DP mengecam dugaan intimidasi terhadap penulis opini di detik.com.
Namun, secara keseluruhan siaran pers tertanggal 24 Mei 2025 dan ditanda tangani Ketua Dewan Pers DR Komaruddin Hidayat itu, dinilai beberapa tokoh pers dan tokoh media masih terlalu normatif dan kurang tegas.
“Mestinya pengurus DP tidak cuma membuat rilis dan pasif membiarkan pencabutan artikel. Tapi hendaknya disertai juga ikhtiar mengamankan dulu sang penulis dengan menghubungi pihak Polri dan LSPK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban),” kata mantan Anggota Dewan Pers DR Agus Sudibyo.
Setelah penulis aman, tambah Ketua Dewan Pengawas TVRI itu, sebaiknya artikel yang sebelumnya diturunkan, bisa dinaikkan lagi.
“Agar tak timbul kesan Dewan Pers dan juga media detiknews.com kalah dan menyerah pada aksi intimidasi dan teror dari orang yang tak dikenal,” ujarnya lagi.
Reaksi yang ditunjukkan institusi penegak dan pelindung kemerdekaan pers itu dalam menghadapi kasus intimidasi yang kemudian berujung pada pencabutan artikel opini itu, menurut Ilham Bintang, Ketua Dewan Penasihat PWI Pusat, terkesan lemah dan kurang berdaya.
“Tidak ada pesan yang menyesali terjadi pencabutan artikel dan imbauan agar jika keadaan sudah aman, Redaksi detikNews.com harus segera memulihkan artikel yang dicabutnya.”
“Selain itu, tidak ada juga seruan tegas agar negara dan aparatnya bisa segera mengusut dan menghentikan praktik intimidasi, teror, dan aksi represif lainnya, yang akhir-akhir ini makin sering melanda media dan insan pers Indonesia,” kata Ilham.
Pertengahan Maret lalu, misalnya, terjadi aksi teror dengan kiriman daging babi ke kantor Majalah Tempo. Kasus ini sudah diadukan ke polisi. Tapi sampai saat ini tak ada kabar beritanya.
Ketua Umum AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) Wahyu Dhyatmika juga meminta DP agar tidak mendiamkan saja pencabutan artikel tersebut.
“Jangan sampai nanti pihak yang dikritisi atau merasa terusik oleh tulisan atau pemberitaan di media siber, menggunakan pola intimidasi dan kekerasan seperti yang terjadi pada penulis opini di detiknews itu, sebagai cara untuk membungkam kritik terhadap mereka,” tambah CEO Tempo Info Media itu.
Kesan DP pasif dan seperti cepat menyerah kalah karena membiarkan pencabutan artikel opini di detikNews.com itu, mencuat di kalangan wartawan terutama wartawan media siber.
“Kita harapkan Dewan Pers tidak cepat tunduk pada tekanan. Pencabutan artikel di kolom opini detiknews itu, dilihat dari perspektif kebebasan pers, kurang tepat dan sangat melemahkan,” kata Firdaus, Ketua Umum SMSI (Serikat Media Siber Indonesia).
Intimidasi dan teror terhadap mereka yang menulis, mengeritik dan berekspresi di media massa memang harus terus dilawan. Begitu juga siasat pembungkaman kritik melalui modus penghapusan tulisan kritis di media siber.
Untuk itu, Dewan Pers diharapkan konsisten menegakkan aturan yang pernah diberlakukannya pada 2012.
Yaitu Pedoman Pemberitaan Media Siber (PMS). Peraturan tersebut selama ini menjadi acuan kerja semua insan media siber dan resmi disahkan Dewan Pers (DP) dengan SK DP No 1/Peraturan DP/DP/III/2012.
Dalam PMS Butir 5 huruf a disebutkan:
“Berita yang sudah dipublikasikan tidak dapat dicabut karena alasan penyensoran dari pihak luar redaksi. Kecuali, terkait masalah SARA, kesusilaan, masa depan anak, pengalaman traumatik korban, atau berdasarkan pertimbangan khusus lain yang ditetapkan Dewan Pers.”
Aturan PMS ini sebenarnya sudah lama dipatuhi atau dilaksanakan oleh para redaksi di media siber. Termasuk oleh redaksi detiknews.com.
Buktinya, ketika Yogi meminta tulisannya dicabut, mereka menolak. Sebab harus ada izin atau rekomendasi DP. Apa pun, pencabutan artikel Yogi di detiknews.com telah memunculkan spekulasi adanya gejala baru tekanan politik atau institusional terhadap media dan ASN–termasuk juga secara tidak langsung para penulis kritis di media yang selama ini menyuarakan kritik mereka terhadap kebijakan pemerintah.
Pembungkaman dan Kejahatan
Makanya, Okky Madasari, akademisi perempuan dan sastrawan, yang mendirikan platform khusus penulisan “Omong Omong Media”, ikut mengecam intimidasi dan ancaman terhadap keselamatan penulis opini di detiknews.com itu.
“Ancaman yang berujung pada dihapusnya tulisan tersebut oleh redaksi detiknews.com merupakan kejahatan, pelanggaran hukum dan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers, kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat warga negara Indonesia yang dijamin hukum dan UUD Republik Indobesia, ” kata Okky dalam pernyataan tertulis.
“Omong-Omong Media menuntut pemerintah agar menyelidiki kejahatan ini dan selanjutnya melindungi kebebasan menyampaikan pendapat rakyat Indonesia agar kejahatan seperti ini tidak tetulang lagi di masa yang akan datang.”
Agak disayangkan, belum ada pernyataan resmi yang lebih elaboratif dan bertanggung jawab dari pihak detiknews.com–media yang tergabung dalam Trans Media, grup usaha media besar milik usahawan Chairul Tanjung–terkait pencabutan artikel tersebut.
Yang jelas, tindakan itu telah menimbulkan kekhawatiran bakal munculnya aksi pembungkaman kebebasan berpendapat dan transparansi dalam praktik lirerasi dan berkomunikasi di media oleh masyarakat biasa dan oleh unsur birokrasi kita.
Nah, di tengah suasana kecemasan atas nasib jurnalisme berkualitas dan kebebasan sipil yang kian menurun itulah, pengurus baru Dewan Pers ke depan diharapkan khalayak bisa menjalankan peran konstitusionalnya dalam menjaga dan melindungi kemerdekaan pers serta kebebasan berekspresi warga negara. (*)