“Sesekali para pemain dabus yang sedang menjalankan aksinya menghampiri penonton sebagai relawan dalam atraksi yang menegangkan itu”
Debus adalah salah satu tradisi seni bela diri dan atraksi kekebalan tubuh yang berasal dari budaya Melayu dan lebih dikenal di Banten.
Namun, di daerah Gayo tradisi debus (dabus) sebutan pamiliar di masyarakat, ini juga berkembang dan telah mengakar kuat dalam budaya masyarakat Gayo.
Dabus dalam budaya Gayo merupakan bentuk ekspresi kultural yang terkait dengan kepercayaan pada kekuata dan spiritualitas.
Di Gayo, tradisi dabus terus dijaga dan dilestarikan sebagai bagian dari kebudayaan lokal. Banyak acara adat atau festival budaya di Aceh yang masih menampilkan atraksi dabus, seperti perkawinan dan sunat rasul.
Seperti yang digelar di acara sunat rasul di Kampung Seneren, Kecamatan Pantan Cuaca, Kabupaten Gayo Lues, Provinsi Aceh.
Berdasarkan pantauan, pemain dabus yang berjumlah puluhan orang duduk melingkar. Mereka menggunakan seragam yang sama.
Peralatan yang digunakan berupa senjata tajam dikumpulkan di tengah-tengah atau di depan orang yang nantinya membacakan doa. Sementara rapa’i (alat musik tradisional) akan dimainkan anggota grup yang lain.
Sebelum memulai pertunjukan, pemain berdoa dan berzikir serta shalawat agar diberikan perlindungan saat bermain dabus.
Tak lama berselang satu pemain dabus berdiri di tengah lingkaran pemain dabus. Laki-laki paruh baya itu tampak mengayunkan benda tajam ke arah tubuh seperti pisau, pedang, mesin bor hingga sinso kayu dan benda tajam lainnya.
Baru memulai aksinya, masyarakat sekitar yang menyaksikan berteriak dan menutup mata karena takut saat menyaksikan beragam aksi dalam dabus.
Tak jarang, di antara penonton juga kagum akan skil pemain dabus. Benda tajam ditusuk ke badan tanpa ada bekas luka.
Sebagian orang merasa waspada dan cenderung menjaga jarak saat menyaksikan dabus. Khawatir akan terjadi sesuatu yang tak terduga.
Namun sebagian lagi justru ikut menjadi relawan dalam dabus. Maka tak jarang para pemain dabus yang sedang menjalankan aksinya menyasar penonton sebagai benda uji coba.
Begitu juga, dalam lingkaran itu bisa berdiri dua atau tiga pemain dengan menampilkan atraksi yang berbeda. Sementara di belakang pemain dabus di luar lingkaran pemain debus, masyarakat juga turut mengelilingi demi menyaksikan atraksi budaya tersebut.
Namun, tak jarang belakangan ini masyarakat menganggap kesenian ini adalah sebuah acara yang memiliki resiko tinggi. Sehingga tidak seseorang dulu digelar.
“Jarang lihat dabus sekarang. Makanya saya dan keluarga antusias menyaksikannya,” kata Ismail sambil menggendong anaknya.
Sementara itu, Ketua Sanggar Tumung Gagang grup dabus Al-Madani dari Kampung Bustanussalam, Kecamatan Blangkejeren, Sulaiman, mengatakan, grup ini sudah berdiri sejak tahun 2002. Dia mengakui kelompoknya merupakan salah satu grup dabus yang masih eksis sampai saat ini.
Tujuan mereka agar kesenian dabus tetap eksis di tengah kemajuan teknologi yang tidak bisa dipungkiri mengubah pola pikir masyarakat.
Selain itu, lanjut Sulaiman, debus ini juga salah satu kesenian masyarakat Gayo, khususnya Gayo Lues, yang turun temurun.
Dia mengakui sejak berdirinya grup dabus ini, sudah diundang ke Medan, Banda Aceh, Aceh Tenggara dan Aceh Tengah. Bahkan, di Gayo Lues sendiri hampir 70 persen kampung pernah mengundang grupnya untuk menghibur masyarakat khususnya yang melaksanakan hajatan.
Kata Sulaiman, tidak ada standar tarif yang diberikan, tetapi tergantung kepada tuan rumah yang mengundang.
“Harga yang diberikan kepada grup dabus Al-Madani juga bervariasi dan tidak ada standar tarif. Jika Ada yang punya kemudahan di atas 5 juta,” jelasnya.
Begitu juga dengan waktu tampil. Tidak ada batasan waktu, namun minimal satu jam.
“Tergantung kesiapan tuan rumah dan personel,” jelasnya.
Berhubung kesenian dabus ini memiliki resiko tinggi, pihaknya mengimbau kepada masyarakat khususnya kepada penonton agar tidak meniru aksi mereka di panggung.
“Ini kegiatan yang ekstrem, mohon jangan ditiru,” tutupnya. (*)