Minggu, November 24, 2024
spot_img
BerandaLaporan KhususSemua Pihak Harus Perkuat Perlindungan Anak dari Ancaman Kekerasan

Semua Pihak Harus Perkuat Perlindungan Anak dari Ancaman Kekerasan

“Perlindungan anak erat kaitannya dengan perbaikan kualitas SDM dan diperlukan perhatian serius semua pihak untuk mencegah anak dari ancaman kekerasan”

– Kadis DPPPA Aceh Meutia Juliana, S.STP, M.Si –

Perlindungan dan pemenuhan hak anak terus ditingkatkan dalam menciptakan kualitas sumber daya manusia (SDM). Hanya saja, pemenuhan hak anak itu masih menjadi tantangan.

Satu indikasinya terlihat dari laporan sejumlah kasus tentang kekerasan terhadap anak yang masih tinggi di Aceh.

Kekerasan terhadap anak apa pun latar belakang dan motifnya memang masih menjadi pekerjaan rumah berbagai pihak, antara lain, lembaga pendidikan, penegak hukum, institusi agama, hingga orang tua.

Menurut data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, kasus kekerasan terhadap anak dari tahun ke tahun meningkat. Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 485 kasus kekerasan terhadap anak. Angka tersebut naik menjadi 468 kasus pada tahun 2021.

kemudian meningkat lagi menjadi 571 kasus pada tahun 2022, selanjutnya semakin meningkat dengan 634 kasus pada tahun 2023. Sementara itu, kasus kekerasan yang dialami oleh anak sangat beragam, mulai dari kekesaran fisik, emosional, seksual hingga penelantaran anak, KDRT serta TPPO.

Tahun 2023, bentuk kekerasan terhadap anak paling tinggi yaitu kekerasan psikis tercatat sebanyak 130 kasus, diikuti oleh kekerasan fisik sebanyak 143 kasus, kekerasan seksual 164 kasus, dan pemerkosaan anak 139 kasus.

Berdasarkan wilayahnya, Aceh Tamiang memiliki jumlah kasus tertinggi dengan 62 kasus, diikuti oleh Kota Banda Aceh dengan 51 kasus, Bener Meriah 41 kasus, dan Aceh Utara 39 kasus.

Terbongkarnya satu per satu kasus kekerasan pada anak menggambarkan fenomena gunung es. Hal ini menjadi alarm untuk semakin memperkuat perlindungan terhadap anak.

Menurut aktivis perempuan dan anak, Riswati, Direktur Flower Aceh, selama ini banyak anak-anak merasa takut untuk melaporkan hingga menutupi kasus tersebut dengan alasan aib. Sikap ini pada akhirnya tidak memberi efek jera bagi pelaku dan semakin banyak korban selanjutnya. Di sisi lain perlu pemulihan psikologi yang komprehensif bagi para korban secara maksimal.

Riswati mengatakan, pentingnya penyadaran tentang hak kesehatan reproduksi dan seksual, serta upaya pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak, upaya ini dapat dilakukan dengan memperkuat mekanisme pencegahan dan penanganan KTPA berbasis komunitas dan lembaga pendidikan, termasuk memastikan kesadaran kritis masyarakat.

Direktur Flower Aceh, Riswati. (Foto/Cut Nauval d)

Riswati juga menambahkan bahwa perlu ada peningkatan kapasitas dan kualitas lembaga layanan KTPA untuk menjangkau hingga ke tingkat desa. Kemudian memastikan implementasi dan pengawasan kebijakan perlindungan perempuan dan anak berjalan dengan efektif. Optimalisasi kerjasama lintas sektor dan multipihak dalam pencegahan dan penanganan KTPA di Aceh sangat diperlukan.

“Pentingnya memperkuat fungsi keluaraga terkait fungsi agama, cinta dan kasih Sayang, fungsi perlindungan, fungsi reproduksi, fungsi pendidikan dan pengasuhan, fungsi ekonomi serta fungsi budaya dan lingkungan,” tuturnya kepada Waspadaaceh.com, Kamis (4/4/2024).

Oleh karena itu, lanjut Riswati, pentingnya alokasi anggaran yang memadai untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, serta memastikan pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak dalam perencanaan dan pembangunan Aceh di semua tingkat.

Ketua Komisi V DPRA, M. Reza Fahlevi Kirani, juga mengatakan dalam hal pencegahan dan penanganan kasus tersebut diperlukan evaluasi secara komprhensif untuk menekan angka tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh, isu ini memerlukan perhatian dari semua pihak. Peran orangtua sangat penting dalam melindungi anak-anak mereka dengan pengasuhan yang baik.

Ketua Komisi V DPRA, M. Reza Fahlevi Kirani (Foto/Cut Nauval d).

Pemerintah Aceh, melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA), diminta untuk menyusun skema baru yang efektif untuk menurunkan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak (KTPA). Menurutnya selama ini skema yang ada masih kurang didukung oleh anggaran yang memadai dan sumber daya manusia.

Reza juga mengimbau pemerintah kabupaten dan kota untuk bersikap proaktif dan serius dalam menangani kasus-kasus kekerasan di Aceh. Terkait penegakan hukum menurutnya juga masih belum memberikan efek jera bagi pelaku, terutama pelaku pelecehan seksual maupun pemerkosaan terhadap anak.

Ia menambahkan, penanganan kasus kekerasan terhadap anak tidak hanya sebatas menangani pasca kejadian, tetapi juga bagaimana mencegah sebelum kasus itu terjadi.

“Diperlukan pendekatan preventif dan kuratif, yang harus dimasifkan mulai dari tingkat gampong, dengan melibatkan berbagai stakeholder seperti di tingkat akar rumput, harus ada pendekatan dengan aparatur gampong, karena mereka tau betul bagaimana karakter masyaakatnya,pasti ada identifikasi dimana kejadian dan potensi-potensinya,” tuturnya.

Upaya Perlindungan

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Acehberupaya meningkatkan layanan perlindungan anak melalui pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA).

“Saat ini, baru 10 dari 23 kabupaten/kota di Aceh yang memiliki UPTD PPA, dan 13 lainnya masih dalam proses pembentukan,” kata Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, saat ditemui Waspadaaceh.com, Jumat (5/4/2024).

Selain itu, pihaknya juga sedang fokus pada pelatihan aktivis terpadu berbasis masyarakat desa yang ramah perempuan dan peduli anak. Program-program berbasis komunitas seperti Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) , Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA), dan hotline layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129

“Dari seluruh angka kekerasan di Aceh, 60 persen dialami oleh anak, itu yang terlapor, yang tidak terlapor saya yakin masih banyak, inilah yang disebut dengan fenomena gunung es,” lanjutnya.

Meutia mengimbau kepada warga agar berani melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jika ada yang melihat, mendengar, atau mengalami kekerasan, segera laporkan melalui hotline UPTD PPA di nomor 0811-6808-875 atau dapat mengunjungi langsung Kantor UPTD PPA yang berlokasi di Jl. Teungku Batee Timoh No 2 Jeulingke, Kec. Syiah Kuala, Banda Aceh.

“Perlindungan anak erat kaitannya dengan perbaikan kualitas SDM, pentingnya partisipasi dari semua pihak dalam upaya perlindungan anak dari ancaman kekerasan,” tuturnya.

Upaya edukasi melalui gerakan forum anak, hadirnya fasilitas ramah anak seperti Masjid Ramah Anak, Pesantren Ramah Anak maupun fasilitas lainnya. “Sehingga anak-anak memiliki wadah untuk mengekspresikan dirinya, menyuarakan haknya s dan berkreasi,” lanjutnya.

Menurutnya, melalui program Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga), DP3A berupaya meningkatkan kehidupan dan ketahanan keluarga. Program ini mencakup pendidikan/pengasuhan, keterampilan menjadi orangtua, keterampilan melindungi anak, peningkatan partisipasi anak dalam keluarga, serta penyelenggaraan program konseling bagi anak dan keluarga.

Perkuat Fungsi Keluarga 

Meutia juga mengatakan keluarga bisa menjadi benteng utama yang bisa melindungi anak dari risiko kekerasan, termasuk kekerasan seksual. Penguatan fungsi keluarga pun menjadi sangat penting. Meutia juga menyoroti fenomena fatherless atau kurangnya peran ayah dalam pengasuhan anak.

Menurutnya, selama ini tugas-tugas pengasuhan anak hanya dibebankan pada ibu. Padahal, ayah memiliki peran yang sama pentingnya dalam membangun dan mengedukasi agar terhindar dari bahaya kekerasan.

“Fungsi keluarga perlu diperkuat, terutama terkait dengan perlindungan, komunikasi, dan sosial,” tuturnya.

Untuk mencegah dan mengenali adanya kekerasan yang dialami oleh anak, komunikasi menjadi hal penting yang harus diperhatikan. Ketidakterbukaan anak kepada orangtua menjadi kendala dalam mengidentifikasi tindak kekerasan.

Oleh karena itu, orangtua perlu waspada terhadap banyaknya kekerasan fisik dan kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang yang justru dikenal oleh anak. Anak pun perlu diajarkan untuk berani mengatakan tidak jika ada inidikasi seperti pelecehan seksual yang terjadi padanya.

Komitmen ini terus diperlukan agar kekerasan anak dapat berakhir serta hak-hak anak sebagai generasi penerus bangsa benar-benar dapat terpenuhi dan terlindungi. Tanpa perlindungan yang maksimal, kualitas peradaban masyarakat dan keberlangsungan bangsa di masa depan menjadi terancam. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER