Banda Aceh (Waspadaaceh) – Aceh membutuhkan energi besar dan perjuangan panjang untuk bisa mengelola pertanahan sendiri seperti diamanahkan dalam UUPA No.11 tahun 2006. Sudah 13 tahun persoalan itu belum juga tuntas.
Dalam Forum Diskusi Group (FGD), yang digelar Dinas Pertanahan Aceh, Selasa (9/4/2019, menghadirkan Prof Jamaluddin, Dekan Fak Hukum Unimal, Lhokseumawe, Kadis Pertanahan Aceh, DR Edi Yandra dan DR Hamdani AG, akademisi, mencari formula dan mendeteksi persoalan serta strategi baru agar permasalan pertanahan bisa diselesaikan.
Sebenarnya, diakui Edi Yandra, UUPA hanya memberikan batas deadline 2 tahun, sudah terbentuk kantor Pertanahan Aceh di kabupaten/kota se Aceh.
Artinya, tahun 2008, sudah selesai. Namun, hingga April 2019, ada 9 Kabupaten/kota
yang belum memenuhi instrumen yang diwajibkan oleh UUPA menjadi perangkat daerah di kabupaten/kota.
Tidak cuma itu, sebutnya, peraturan turunan, yakni Peraturan Presiden No.23 untuk percepatan pengalihan kewenangan pertanahan itu, baru terbit tiga tahun lalu, yakni 2015 (Perpres No.23/2015).
Itu pun, timpal Sekretaris Badan Pertanahan Aceh, Muktaruddin, yang menjadi moderator, setelah pihaknya melakukan rapat secara marathon dalam priode tersebut sebanyak 200 kali.
Pasca terbitnya Perpres No.23/2015, bukan berarti sudah berjalan mulus. Sejak terbit Perpres tersebut hingga sekarang, Kementerian Agaria belum membuat Tim Percepatan Pengalihan Kewenangan Pertanahan di Aceh.
Padahal, berbagai upaya termasuk menyurati departemen terkait di Jakarta sudah dilakukan Pemerintah Aceh. Hasilnya tetap nihil.
Dekan Fak Hukum Unimal, Lhokseumawe, Prof Jamaluddin menyatakan, masalah tanah sangat urgent karena menyangkut hajat hidup rakyat. Sebab itu, dia sarankan jangan berhenti berjuang sebelum tuntas semuanya.
“Jangan kendor. Kita harus berkerja dan berjuang lebih keras lagi,” tukas Prof Jamaluddin.
Dia juga menyinggung lahirnya UUPA untuk menyelesaikan konflik Aceh. Konflik muncul akibat ketidak adilan terkait masalah ekonomi. Pasal 33 UUD’45 antara lain menyinggung soal tanah air digunakan untuk kemakmuran rakyat.
Karena itu, harus ada politikal will dari pemerintah pusat, untuk melancarkan proses pengalihan kewenangan masalah pertanahan di Aceh.
Dia sepakat lobi dan strategi untuk memuluskan pengalihan kewenangan pertanahan terus dibangun. Sembari menyelesaikan PR dari dalam, antara lain, sembilan kantor pertanahan di kabupaten/kota yang belum ada segera dibentuk, sebab qanunnya sudah ada.
Peserta FGD dari berbagai unsur antara lain, wartawan, LSM dan Perwakilan Pertanahan kabupaten/kota di Aceh, menawarkan solusi. Antara lain merubah strategi campaign, diplomasi dan lobi yang intens kepada pejabat terkait hingga level menteri.
Rencananya, forum FGD ini akan diperluas dengan narasumber dan peserta dari tokoh Aceh di Jakarta.
Kemudian melakukan dengar pendapat dengan DPR-RI, untuk bisa memanggil Menteri Agraria dan BPN ke Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta. (B01)