Sabtu, Desember 21, 2024
spot_img
BerandaOpini"Ya Dok, Sepertinya Badai Belum akan Berlalu"

“Ya Dok, Sepertinya Badai Belum akan Berlalu”

“Sekarang ramai diberitakan bahwa Aceh saat ini “zero” positif COVID-19. Padahal berkaca dari Wuhan dan belahan dunia lainnya, ledakan pandemi biasanya terjadi dua bulan setelahnya”

——————

Oleh: drg. Cut Khaliqun Setiawati, MARS

Saya membaca keprihatinan dan kekhawatiran mendalam kalangan dokter di Aceh dari berita (Waspada 15/4/2020). Prihatin dengan keterbatasan sarana dan prasarana hingga sumber daya manusia medis di Aceh saat ini untuk menghadapi pandemi COVID-19. Sementara masyarakat mulai longgar dalam mematuhi anjuran social dan physical distancing.

Sekarang ramai diberitakan bahwa Aceh saat ini “zero” positif COVID-19. Padahal berkaca dari Wuhan dan belahan dunia lainnya, ledakan pandemi biasanya terjadi dua bulan setelahnya. Bila meledak akan menjadi ancaman besar karena Aceh tidak siap. Demikian menurut para dokter Aceh yang tergabung dalam GBTMA (Gerakan Bantu Tim Medis Aceh).

Ketua IDI (Ikatan Dokter Indonesia) Aceh, dr.Syafrizal Rahmanyang, sekaligus penasehat GBTMA, juga mengkhawatirkan pintu-pintu masuk Aceh yang masih terbuka. Seperti perbatasan Sumut – Aceh, pelabuhan tikus yang membawa TKI ilegal dari Malaysia dan orang-orang yang punya riwayat bepergian ke daerah pandemi. Sementara di Sumatera Utara sendiri dilaporkan sudah lebih 100 orang positif Corona.

Sejak pencabutan jam malam di Aceh yang kontroversial itu, sudah terlihat lagi geliat ‘keudee kupi’. Satu persatu aktivitas di tempat umum mulai muncul kembali. Tapi bandara dan terminal memang belum pernah tutup sejak penguasa mengumumkan penemuan pasien positif COVID-19 pertama di negeri ini.

Artikel Lainnya: Masyarakat Aceh Dimohon “Bek Tungang”

Kalau kita mengkhawatirkan orang-orang yang kembali dari daerah pandemi, sebenarnya pengendalian arus masuk manusia di bandara dan pelabuhan lah yang paling krusial. Namun hari ini arus kedatangan penumpang tak tampak berhenti.

Terkait mudik juga kita lihat ada beberapa kali perubahan kebijakan. Ada banyak pejabat yang meminta masyarakat jangan mudik. Bahkan ada yang mengancam akan memberi sanksi bagi yang nekat. Namun pejabat yang lebih tinggi justru membolehkan mudik. Nah, masyarakat pun jadi bingung, dan yang lebih pusing lagi ya orang medis.

Kekisruhan tersebut memanggil setiap jiwa yang peduli untuk urun pemikiran. Secara pribadi saya melihat sedikitnya ada delapan hal yang bisa kita analisa terkait polemik ini.

Berita Terkait: Awas! Virus Corona Bisa “Meledak” di Aceh

Pertama, kegamangan penguasa saat ini dalam membuat kebijakan menunjukkan bahwa kita benar-benar telah ketergantungan pada asing. Ketakutan akan larinya investor, kekhawatiran terhambatnya impor dan keterlanjuran mempekerjakan tenaga kerja asing. Itu semua menjadi dalih kita tak bisa menutup akses masuk internasional. Sementara sumber wabah pertama kali bukan dari dalam negeri.

Kedua, ketersediaan dana yang minim. Padahal negara seharusnya memiliki sumber dana yang mutlak selalu ada bila dibutuhkan untuk kondisi bencana. Termasuk ketika terjadi wabah. Faktor penyulit pembiayaan hari ini adalah kebijakan politik ekonomi yang kita anut, serupa dengan Amerika Serikat, sang kampiun kapitalisme demokrasi. Yakni politik ekonomi simalakama, di mana basis pendanaan negara berasal dari pajak dan utang. Tak dipungut pajak, mati negara. Tapi bila dibebani terlalu berat, rakyat yang sekarat. Maka hari ini ketika semua pintu-pintu perekonomian semakin tertutup, tidak mungkin negara memilih pajak sebagai jalan keluar mengatasi wabah.

Ketiga, penataan ulang anggaran negara terasa ganjil. Kebijakan penguasa dalam menentukan skala prioritas penggunaan anggaran selama masa sulit seperti ini terlihat aneh. Padahal pemerintah daerah diminta merelokasi APBD untuk penanganan COVID-19, sementara pembangunan ibukota baru diinstruksikan tetap berjalan. Saya sebagai orang awam sungguh-sungguh tidak paham seberapa mendesaknya proyek tersebut. Pemerintah pusat terlihat lebih memilih melakukan penghematan di sektor lain yang justru lebih riskan. Seperti membebaskan ribuan napi dari lapas yang membuat masyarakat “bergidik ngeri”.

Keempat, utang akhirnya menjadi pilihan. Setelah mencoba merealokasi anggaran, penguasa akhirnya memilih menerbitkan surat utang jangka panjang dengan bunga cukup menantang untuk menghadapi ekses pandemi ini. Padahal timbunan utang lama sudah lebih dari enam ribu triliun. Entah bagaimana cara kita melunasinya agar negeri ini tak tergadai. Sesak dada ini memikirkannya.

Kelima, sumber daya alam yang melimpah tidak lagi bisa diandalkan untuk menjadi pembiayaan negara. Berbagai aturan internasional telah membelenggu kita. Memaksa kita membuka ruang untuk swasta asing berlomba mengelola. Itulah keadilan bagi kapitalisme hari ini.

Keenam, tantangan dari para buruh migran yang terancam kelaparan di negeri orang. Penguasa terpaksa menerima mereka pulang sebab tak punya pilihan. Karena untuk menanggung biaya hidup mereka selama di sana pun, penguasa tak kuasa. Menjadi pekerjaan rumah baru untuk memikirkan pendataan, edukasi dan karantina paska kedatangan mereka di tanah air. Agar tidak menjadi bom waktu pemicu ledakan COVID-19 di Aceh maupun Indonesia.

Ketujuh, keterbatasan sumber daya di bidang kesehatan itu penilaian yang relatif. Jika mengacu kepada standar, fasilitas kesehatan besar seperti rumah sakit tipe A dan B biasanya sudah memenuhi. Apalagi saat ini, hampir semua rumah sakit sudah terakreditasi. Bahkan ada yang telah mendapat pengakuan dari Joint Commission International (JCI). Namun dalam keadaan wabah tak terkendali, memang tak satu negara pun sanggup menyediakan fasilitas kesehatan yang cukup.

Sering kita dengar, asuransi tidak menanggung penyakit akibat wabah. Sebagaimana kemarin kita sempat membaca pernyataan Dirut BPJS, bahwa secara peraturan perundang-undangan BPJS dilarang menanggung penyakit akibat wabah. Pernyataan ini sebenarnya memiliki makna tersirat, BPJS tidak sanggup menanggung pembiayaan kesehatan masa wabah. Pelayanan pengobatan pasien-pasien terkena wabah pastilah memakan biaya yang sangat besar karena jumlah kasusnya banyak. Maka dari itu, negaralah yang sebenarnya harus membiayai. Atau negara memilih tindakan preventif secara maksimal agar biaya kuratif dan rehabilitatif dapat diminimalisir.

Kedelapan, negara bisa saja meminta donasi dari rakyat yang kaya dan dermawan. Tapi ini aib dalam sistem kapitalisme demokrasi. Orang kaya sudah cukup pahit hidupnya dalam sistem ini. Mereka seumur hidup dikejar terus dengan segala macam pajak. Tak ada jaminan kesehatan bagi mereka jika tak membayar premi. Segala layanan publik yang berkualitas selalu dibandrol dengan harga yang pantas, seperti pepatah melayu, ‘ada rupa ada harga’. Nah, bagaimana mungkin pula dimintakan lagi sumbangannya?

Memohon pada Sang Pencipta

Wahai pembaca yang mulia. Bukannya diri menulis dengan maksud hendak memutus asa. Namun beginilah realita memupuk harap dalam sistem yang “berkurap” ini. Kapitalisme adalah sistem yang dilandaskan kecerdasan akal manusia semata. Wahyu Sang Pencipta seolah tak layak terlibat dalam kehidupan berbangsa bernegara. Padahal kesimpangsiuran kebijakan yang bertiti di atas ideologi kapitalisme sekuler yang berbingkai sistem demokrasi ini, terbaca nyata.

Maka mari kembali kita bersimpuh di hadapan Sang Pencipta. Merunduk menghiba mengaku tak kuasa. Virus halus itupun tak berdaya kita menghalaunya. Harap ampunan dan kasih sayangNya untuk membawa kita keluar dari segala problematika. Termasuk dalam mengatasi penyebaran wabah makhluk yang hanya tercipta dengan seizinNya.

Ikhtiar harus dibarengi dengan tawakal. Sementara tawakal hanya ada pada insan, masyarakat dan negara yang beriman. Untuk itu, kita perlu perkuat lagi keimanan kita. Agar kita sanggup dan percaya menyerahkan semua ikhtiar dan kekhawatiran kita kepada Sang Pencipta. Termasuk ketakutan akan larinya para pemodal asing. Atau kehilangan pendapatan akibat berkurangnya wisatawan. Maupun kerisauan terhadap tekanan pihak luar yang barangkali sudah sempat membeli kehormatan jiwa kita. Campakkan itu semua, seraya mengharap pertolonganNya. Pencipta kita adalah Zat Maha Perkasa, yang sanggup menyelesaikan segalanya.

Iman, ikhtiar dan tawakal hanya bermakna bila dibalut takwa. Apakah takwa? Takwa adalah menaati segala perintah Sang Pencipta dan meninggalkan semua laranganNya. Maka jangan lagi memisahkan negara dari agama. Kita perlu evaluasi kembali berbagai kebijakan yang saat ini diterapkan, agar negara kembali menjadi takwa. Seperti hutang berbunga yang diandalkan negara misalnya. Itu adalah riba yang dilarang agama, dan faktanya juga menganiaya negara.

Pajak yang diterapkan atas warga negara secara terus menerus, ini juga diharamkan dalam agama. Faktanya juga manusia dari agama manapun sama-sama merasa tercekik oleh pajak. Apalagi bila hari ke hari kian bertambah dan meluas pungutannya. Dalam Islam pajak boleh diambil dalam jangka waktu tertentu dari orang kaya saja. Tapi ini dilakukan jika kas baitul mal kosong dan telah menunda kegiatan-kegiatan pembangunan yang penting tapi tidak mendesak.

Penguasa juga harus mengetahui tugas pokok dan fungsinya. Bercermin dari Rasulullah yang pernah menjadi pemimpin negara. Pemimpin adalah pengurus rakyat, sebagaimana orangtua mengurus anaknya. Maka harus menjamin keterjangkauan rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasarnya. Islam memandang pendidikan, kesehatan dan keamanan adalah kebutuhan dasar rakyat. Selain sandang, pangan dan papan tentunya. Ini semua tidak melihat status miskin dan kaya. Hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara secara amanah, agar dapat dipergunakan untuk kemakmuran rakyat dengan sebesar-besarnya.

Maka dengan situasi dan kondisi sedemikian rupa, di mana kehidupan rakyat terpelihara. Segala kebutuhan hidup terjangkau dan berkualitas sama. Orang-orang kaya pun ketika dibutuhkan akan membantu dengan sukarela. Mereka mudah menjadi dermawan, karena hidup tak lagi berbeban. Dan mereka juga tau bahwa amal itu berkonsekuensi pahala, bekal kembali ke kehidupan abadi.

Masya Allah, rindu nian hati ini mengasa. Islam rahmatan lil ‘alamin kan menjadi nyata. Bukan hanya Muslim yang bahagia. Seluruh manusia dalam naungannya kan merasakan keadilan dan sejahtera. Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur mewujud untuk kita. Cahaya mempesona kan berpendar ke segala penjuru dunia.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS. An-Nashr: 1-3). (**)

  • Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Kebijakan Publik
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER