Jumat, Mei 17, 2024
Google search engine
BerandaNasionalWina Armada: Perpres Publisher Rights "Karpet Merah" Menuju Belenggu Pers Indonesia

Wina Armada: Perpres Publisher Rights “Karpet Merah” Menuju Belenggu Pers Indonesia

Pekanbaru (Waspada Aceh) – Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas atau Perpres Publisher Rights dibuat dengan filosofi yang salah.

“Tidak itu saja, Perpres ini dibuat dengan metodologi yang salah dan sampai pada kesimpulan yang salah pula,” kata Wartawan Senior dan Praktisi Pers Wina Armada Sukardi di Auditorium H Ismail Suko Pustaka Wilayah Soeman HS Provinsi Riau, Pekanbaru, Senin (29/04/2024).

Saat memaparkan materi diskusi bertajuk ‘’Masa Depan Media Pasca Terbitnya Perpres Publisher Rights’’ yang digelar Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Provinsi Riau itu, Wina menyebutkan, jika kebijakan tersebut nantinya dilaksanakan, maka akan terjadi blander dan menggiring pers Indonesia menuju replika rezim pers terbelenggu ala Orde baru.

Bahkan menurut Wina, dapat mengaburkan dan menggabungkan kembali “code of publication” dengan “code of interprese,” tepat seperti ketika berlakunya SIUPP dulu.

‘”Saya tegaskan, terbitnya Perpres ini sangat bertentangan dengan Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta serta mengancam kesinambungan kemerdekaan pers,” tegas Wina Armada.

Kegiatan yang dibuka Kepala Dinas Komunikasi Informatika dan Statistik (Kadiskominfotik) Provinsi Riau Ikhwan Ridwan diwakili Sekretaris Diskominfotik Provinsi Riau Devi Rizaldi ini dihadiri Ketua Bidang Kerja Sama SMSI Pusat Novrizon Burman, Plt Ketua SMSI Riau Luna Agustin dan Ketua PWI Riau Raja Isyam Azwar.

Diskusi ini menghadirkan tiga narasumber yang berkompeten yakni Ketua Komisi Penelitian Pendataan dan Ratifikasi Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro, Wartawan Senior dan Praktisi Pers Wina Armada Sukardi dan Dewan Pakar SMSI Pusat Zulmansyah Sekedang.

Menurut Wina, Perpers Nomor 32 Tahun 2024 dari judul saja sudah salah kaprah. Bahkan, Perpers tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, kontradiktif dan kontra produktif.

“Dari judulnya saja, jelas terang benderang udah ngaco banget. Kacau sekali. Masak, kualitas jurnalistik dituntut menjadi tanggung jawab platform digital,” tegas pakar hukum dan etika pers ini.

Wina menyatakan, Perpres ini juga mengatur perusahaan (code of interprese) atau soal mengatur substansi jurnalisme (code publication). Ini saja menurutnya sudah tidak jelas. Padahal perusahaan platform digital tidak punya wartawan atau sie (seksi) yang mengatur soal redaksi.

“Pantaskah dituntut tanggung jawab untuk mendukung jurnalisme yang berkualitas?,” tanya Wina.

Lantas apa yang dimaksud jurnalisme bermutu? Wina menjelaskan, 1) Setiap redaksi memiliki karakter dan penilaian “berita berkualitas” sendiri-sendiri. 2) Ada independensi news room yang tidak boleh dicampuri pihak lain. 3) Sepanjang telah sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik (KEJ), karya pers layak ”fit to print” atau disiarkan/ditayangkan. Dan 4) Pengawasan Kode Etik pada Dewan Pers dan Organisasi Wartawan.

“Karya ‘komersial’ dan ‘karya bermutu’ dalam jurnalistik dapat sama ada satu berita, tetapi juga dapat berbeda,” katanya.

Pertanyaannya, kata Wina, tanggung jawab siapa peningkatan mutu jurnalisme tersebut? Yang jelas, mutu jurnalisme itu tanggung jawabnya redaksi atau perusahaan pers masing-masing, Dewan Pers dan Organisasi Wartawan, lanjutnya.

“Mutu jurnalisme itu tidak boleh ada campur tangan dari manapun terhadap pers nasional,” katanya.

Apakah terhadap perusahaan platform digital yang tidak tahu menahu soal kualitas jurnalisme dapat dituntut harus melakukan peningkatan mutu jurnalistik atau jurnalisme yang berkualitas?

Wina menyebutkan, dalam unsur menimbang huruf “a” disebut, “bahwa jurnalisme berkualitas sebagai salah satu unsur penting dalam mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang demokratis perlu mendapat dukungan perusahaan platform digital.” Lalu apa hubungan ”dukungan” perusahaan platform digital dengan “mewujudkan kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat yang demokratis di Indonesia?”

Lanjut Wina, mereka lembaga ekonomi dan bukan politikus! Apa hubungannya perusahaan platform digiltal dengan dukungan terhadap jurnalisme berkualitas? Apa manfaatnya buat mereka?

“Publisher Rights ini lebih banyak merugikan perusahaan pers. Perusahaan platform digital melanggar UU Pers dan banyak landasan pembuatan yang tidak jelas serta tidak kokoh. Sebaiknya Perpres ini dicabut saja. Tak ada gunanya bagi kemjuan pers. Kalau pemerintah masih bersikukuh, diupayakan ada judial review (JR) ke Mahkamah Agung,” tegas Wina. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER