Banda Aceh (Waspada Aceh) – Berakhirnya masa kontrak Pertamina Hulu Energi (PHE) dalam pengelolaan minyak dan gas di Wilayah Kerja Blok B, Aceh Utara, Provinsi Aceh, merupakan peluang besar bagi Pemerintah Aceh.
Banyak pihak mendukung pemerintah untuk mengambil alih migas eks-Exxon Mobil tersebut, yang hingga kini masih dalam tahap negosiasi dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah Aceh ikut mendorong hal tersebut. Pihaknya mengapresiasi Pemerintah Aceh yang berupaya mengubah skema pengelolaan WK (wilayah kerja) migas di Blok B dengan skema ‘Cost and Recovery’.
Menurut Danil Akbar Taqwadin, Wakil Ketua Bidang Hikmah dan Hubungan antar Lembaga PW Pemuda Muhammdiyah Aceh, Kamis (17/10/2019) di Banda Aceh, tata kelola migas selama ini telah berdampak pada ketimpangan ekonomi dan sosial terhadap masyarakat Aceh.
Persoalan ini juga jadi salah satu sumber konflik (underlying cause) yang pernah berlaku antara GAM dan RI sejak 1976 hingga 2005. Namun usai MoU Helsinki, perbaikan tata kelola usaha migas di Aceh mulai dirintis. Hal itu dapat dilihat dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan PP Nomor 2 tahun 2015 tentang Pengelolaan Bersama Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
“Kedua regulasi tersebut melindungi kepentingan Aceh dalam konteks pengelolaan sumber daya migas yang lebih konkrit, dengan payung hukum yang lebih kuat berbanding provinsi lainnya,” ujar Danil Akbar Taqwadin.
Sementara itu, menyoroti perkembangan terakhir soal negosiasi skema pengelolaan migas, Danil menganggap, skema ‘Cost and Recovery’ memberikan peluang bagi PT Pembangunan Aceh (PEMA) untuk dapat mengelola sendiri blok migas tersebut. Hal itu lebih potensial ketimbang skema ‘Gross Split’ yang ditawarkan Kementerian ESDM.
Pengelolaan WK migas oleh pemerintah daerah dengan skema ‘Cost & Recovery’, lanjut Danil, sejatinya bukanlah hal yang baru. Hal itu sudah dilakukan di perusahaan daerah Kabupaten Siak, PT Bumi Siak Pusako, yang bekerja sama dengan Pertamina dengan skema Badan Operasi Bersama (BOB).
“Apalagi di Aceh, skema ‘Cost and Recovery’ ini sebenarnya adalah skema yang ditawarkan dalam PP 23/2015 tentang pengelolaan bersama SDA Migas,” tuturnya.
Karena itu, Pemuda Muhammadiyah mendesak Pemerintah Aceh, dalam hal ini Plt Gubernur Nova Iriansyah, untuk dapat memastikan pengambilalihan WK Migas di Blok B, Aceh Utara itu sesuai dengan skema yang menguntungkan Aceh.
“Plt Gubernur perlu secara langsung dan serius untuk bertemu dengan Kementerian ESDM serta para pihak terkait untuk memastikan skema ‘Cost and Recovery’ dapat dijalankan dalam pengelolaan migas di blok B,” imbuhnya.
Konsekuensinya?
Jika skema ‘Cost and Recovery’ disepakati, tentu ada beberapa konsekuensi bagi Pemerintah Aceh. Apa saja yang perlu dipertimbangkan?
PW Muhammadiyah menyebut sejumlah hal, di antaranya kesiapan dari PT Pembangunan Aceh sendiri. “Seberapa besar kemampuan mengelola Blok B secara profesional, baik dari sisi personal, anggaran dan program? Ini perlu dipikirkan jauh-jauh hari,” kata Danil.
Selanjutnya, berkaitan dengan skema pengelolaan migas, ada beberapa item yang harus disepakati antara pihak pengelola dan Pemerintah Aceh, termasuk mengenai ‘Signature Bonus’ dan sebagainya.
Selain itu juga perlu mewanti-wanti kemungkinan adanya permainan mafia migas jika menggunakan skema ‘Cost and Recovery’. Ini bisa terjadi ketika pemerintah membuka lebar partisipasi masyarakat dalam pengelolaan migas.
“Potensi timbulnya permainan mafia cukup besar. Lantas, bagaimana Pemerintah Aceh dapat memastikan skema nantinya tidak melahirkan fenomena penyimpangan baru yang dapat merusak kredibilitas Aceh, dalam hal ini PT Pembangunan Aceh yang dipersiapkan untuk mengelola WK Blok B?” tandas Danil dengan nada bertanya. (Fuadi)