Senin, Juni 16, 2025
spot_img
BerandaEditorialSengketa 4 Pulau, Mendagri Abaikan Aspirasi Aceh

Sengketa 4 Pulau, Mendagri Abaikan Aspirasi Aceh

Sangat wajar bila kemudian rakyat Aceh, khususnya para tokoh di tanah rencong, menyampaikan protes atas penetapan sepihak Mendagri terkait tapal batas ini.

Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, yang menetapkan empat pulau di perairan perbatasan Sumut-Aceh sebagai bagian dari Provinsi Sumatera Utara, disebut telah mencederai perasaan rakyat Aceh. Keputusan Mendagri dinilai sepihak, tanpa melihat histori keberadaan pulau tersebut.

Empat pulau dimaksud adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Ketek, dan Pulau Mangkir Gadang, yang berada di wilayah perairan perbatasan antara Kabupaten Tapanuli Tengah (Sumut) dan Kabupaten Aceh Singkil (Aceh). Penetapan itu telah memicu unjuk rasa dan kecaman keras dari berbagai kalangan di Aceh.

Pasca keluarnya Kepmendagri ini, untuk meredam gejolak di Aceh, Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution menemui Gubernur Aceh Muzakir Manaf di Banda Aceh, Rabu (4/6/2025). Tapi menurut informasi, sang gubernur tanah rencong, Mualem, tak begitu merespon serius kedatangan menantu Joko Widodo atau Jokowi ini.

Mualem dikabarkan hanya bertemu sebentar, tanpa banyak bicara, kemudian meninggalkan Bobby bersama asisten di pemerintahan Aceh. Mualim selanjutnya melakukan perjalanan ke kawasan Barsela (Barat – Selatan), yang dinilainya justru lebih penting.

Tak ada pernyataan dari Pemerintah Aceh terkait pertemuan Bobby dengan Mualem. Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan Mualem pasca keluarnya Kepmendagri yang dinilai tidak adil bagi Aceh tersebut. Belum lagi tekanan rakyat Aceh kepada Mualem, karena keputusan sepihak Jakarta itu justeru terjadi di masa kepemimpinannya.

Mau tidak mau, suka tidak suka, Kepmendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025, menjadi ujian berat bagi Muzakir Manaf sebagai Gubernur Aceh. Beberapa politisi Aceh, sebut saja Azhari Cage, anggota DPD RI, malah sudah langsung turun ke pulau yang disengketakan, untuk menunjukkan adanya bukti-bukti autentik, yang mengindikasikan bahwa pulau tersebut milik Provinsi Aceh.

Jadi tentu saja Muzakir Manaf yang telah dipercaya rakyat untuk memimpin Aceh, tidak boleh menerima begitu saja keputusan sang penguasa di pusat. Apalagi ada bukti administrasi, yakni Surat Kesepakatan Bersama (SKB) tahun 1992 antara Gubernur Aceh Ibrahim Hasan dan Gubernur Sumut Raja Inal Siregar, yang menetapkan keempat pulau itu sebagai bagian dari Aceh. Kesepakatan itu juga disaksikan oleh Mendagri saat itu, Rudini.

Lantas atas dasar apa Mendagri Tito Karnavian mengambil keputusan bahwa keempat pulau tersebut masuk ke wilayah Provinsi Sumatera Utara? Sangat wajar bila kemudian rakyat Aceh, khususnya para tokoh di tanah rencong, menyampaikan protes atas penetapan sepihak Mendagri terkait tapal batas ini.

Aceh lagi-lagi merasa “dipecundangi” oleh pusat. Label provinsi yang mendapat predikat “Istimewa” hanyalah sekadar pepesan kosong. Buktinya pusat masih memaksakan kehendak tanpa menimbang aspirasi rakyat Aceh.

Segala keputusan penting masih dilakukan secara top down, tanpa melihat historis dan bukti autentik lainnya. Tanpa mendengar aspirasi rakyat Aceh. Atas keputusan Mendagri ini, apakah Pemerintah Aceh di bawah kepemimpinan Muzakir Manaf akan diam saja? Entahlah. Rakyat hanya bisa menunggu. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER