Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kekhawatiran atas potensi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dan kejaksaan dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) mencuat dalam Seminar Nasional di Universitas Syiah Kuala (USK), Kamis (17/4/2025).
Seminar yang digelar oleh Pusat Riset Ilmu Kepolisian USK ini menghadirkan tokoh nasional seperti mantan Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif, Guru Besar FH USK Prof. Dr. Rizanizarli, akademisi USU Dr. Alpi Sahari, dan Sekretaris DPC Peradi Aceh Dr. Syahrul Rizal.
Para narasumber sepakat, RUU KUHAP yang tengah dibahas DPR dan pemerintah berisiko menjadi alat represi jika tidak disusun secara partisipatif dan transparan.
“Jika kita tidak hati-hati, revisi ini bisa menjadi instrumen legal untuk kriminalisasi dan pembungkaman suara publik,” kata Laode.
Ia menyoroti pasal-pasal soal masa penahanan, saksi mahkota, hingga kewenangan penangkapan yang berpotensi disalahgunakan.
Hal senada disampaikan Prof. Rizanizarli mengingatkan pentingnya mekanisme check and balance antarlembaga penegak hukum agar kekuasaan tidak menumpuk pada satu institusi.
Sementara itu, Dr. Alpi Sahari menyoroti ketidaksesuaian prinsip Dominus Litis jika dimaknai sebagai pemisahan total kewenangan. Ia menyebut model ini justru mengarah kembali pada sistem hukum kolonial yang sudah ditinggalkan.
Dr. Syahrul Rizal, mengingatkan pentingnya memastikan posisi advokat tetap aman dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Menurutnya meskipun RUU KUHAP memuat ketentuan advokat tidak dapat dituntut selama bertindak dengan itikad baik, ketidakjelasan definisi “itikad baik” justru berpotensi menjadi pasal karet.
Dalam sesi diskusi, muncul desakan agar RUU KUHAP diuji publik di berbagai daerah, bukan hanya dibahas di Jakarta.
“Kami di daerah juga berhak didengar,” ujar salah satu peserta dari LSM lokal.
Seminar ini merekomendasikan agar RUU KUHAP tidak hanya mengganti prosedur, tapi memastikan keadilan dan perlindungan hak-hak warga negara secara menyeluruh.
Sebagai kesimpulan, seluruh narasumber sepakat bahwa RUU KUHAP berpotensi menimbulkan tumpang tindih kewenangan antarlembaga penegak hukum, khususnya antara Polri dan Kejaksaan. Oleh karena itu, RUU ini perlu dirancang dengan menekankan aspek koordinasi dan pengawasan antarlembaga secara lebih tegas dan sistematis.
RUU KUHAP sejatinya diharapkan menjadi instrumen pembaruan hukum acara pidana yang progresif, adaptif, dan memperkuat sinergi antar-lembaga penegak hukum, bukan malah menciptakan potensi konflik kewenangan. (*)