Sabtu, April 20, 2024
Google search engine
BerandaTausiahReorientasi Gerakan Dakwah

Reorientasi Gerakan Dakwah

Oleh Muhammad Qorib

Agar meninggalkan bekas, maka dakwah mesti bersifat humanis dan dapat mengangkat isu-isu strategis. Ke depan dakwah harus direvolusi. Revolusi dakwah menyangkut masalah kebutuhan umat manusia secara riil

Dakwah dalam konteks gerakan Islam diibaratkan jantung yang mengalirkan darah ke sekujur tubuh. Posisi dakwah adalah sebagai instrumen untuk mentransformasikan nilai-nilai Islam ke berbagai aspek kehidupan. Dakwah merupakan dinamisator, dengannya Islam dapat berkembang dan tanpanya Islam boleh jadi terpuruk menjadi semacam material sejarah yang mati. Sampainya Islam yang menjadi sistem keyakinan kita saat ini adalah konsekuensi logis dari pelaksanaan dakwah tersebut.

Masalah Dakwah

Dalam perkembangan kontemporer sebagaimana yang kita saksikan kini, dakwah sejatinya tajam seperti radar. Berbagai permasalahan pelik yang dihadapi masyarakat dapat ditangkap dan dipecahkan secara baik. Jika dipaparkan secara luas, masalah-masalah yang dihadapi umat demikian beragam. Tak jarang diantaranya mengancam kehidupan umat, dan yang lebih mencekik kesadaran kita adalah menipisnya volume keimanan sebagai benda paling berharga dalam Islam.

Terdapat dua masalah besar yang menjadi tantangan dakwah pada masa sekarang, yaitu: masalah internal yang disebabkan oleh umat Islam sendiri, dan masalah eksternal yang disebabkan oleh skenario global untuk memperlemah dakwah Islam. Kedua masalah ini menarik untuk dicermati agar umat memiliki kesadaran kolektif sembari merawat energi yang masih ada untuk gerakan dakwah selanjutnya.

Masalah internal yang dihadapi umat Islam menjadi tantangan dakwah yang demikian berat, menyangkut tidak saja rendahnya kesadaran dan lemahnya kemauan untuk maju, namun juga sikap tertutup selain tak ambil pusing dengan berbagai perubahan yang terjadi. Pada konteks ini umat Islam sering bersikap gagap, tertutup, curiga dan defensif dengan hal-hal baru yang berkembang, seperti isu-isu kemanusiaan universal. Isu-isu ini bisa menyangkut radikalisme, toleransi, demokrasi, gender, Hak Asasi Manusia (HAM) maupun islamisasi budaya.

Jika ditilik secara mendalam, isu-isu yang dianggap kontemporer dan menjadi wacana global ini sebenarnya bukanlah tema baru yang menakutkan dan mengancam jika dilihat dari perspektif Islam. Alquran maupun hadis banyak menyinggung hal ini. Bahkan untuk beberapa hal Alquran mengungkapkannya secara eksplisit. Misalnya saja tentang perempuan. Posisi perempuan dalam pandangan Islam cukup mulia, tidak saja secara teologis, namun kesempatan untuk aktif di ruang publik. Surah ke empat dalam Alquran dinamai An-Nisaa’ menjadi bukti kuat bertapa Islam menempatkan kaum perempuan pada posisi mulia.

Demikian pula dengan persoalan budaya (urf), Islam tidak mengaturnya secara kaku. Islam menjadi semacam ruang dialogis pertemuan antara agama dan budaya. Budaya akan sangat membuat Islam semakin dinamis dan kaya, sementara Islam menjadi bingkai dan pengarah mana budaya yang dapat diterima atau tidak. Sebagaimana diungkapkan bahwa Islam is one but it has many impelementations/Islam itu tunggal namun diimplementasikan dengan budaya beragam. Budaya sesungguhnya menjadi bagian urusan dunia, dan umat Islam diberikan peluang untuk mengurusnya. Dalam sebuah hadis ditegaskan “antum a’lamu bi amri dunyaakum/ kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu.”

Masalah eksternal yang menghambat dinamika dakwah muncul dari luar diri umat Islam. Peta perpolitikan dan perekonomian dunia kini tidak berpihak pada umat Islam. Namun uniknya sumber konflik politik dan perebutan sumber-sumber ekonomi ada di dunia Islam. Ini menarik untuk dicermati. Dunia Islam yang terhampar dari Gambia di Afrika Barat sampai Indonesia di Asia Tenggara seperti sebuah dadu yang pergerakannya tergantung pada sang pelempar.

Pada satu sisi, dunia Islam sulit bersatu. Namun pada sisi lain, negara-negara Islam bersikap lembut dan bersahabat dengan negara-negara Barat dan sekutunya. Barat dalam hal ini Amerika dan Rusia menjadi pelempar dadu yang demikian berpengaruh. Rutinitas konflik antar sesama umat Islam bagi Barat menjadi pasar emas yang cukup menjanjikan. Ketika Barat sibuk mengekspor berbagai merek senjatanya sekaligus mendapat devisa bagi negara, dunia Islam sibuk menghabiskan anggaran negara untuk membeli senjata perang di tengah isak tangis dan kesengsaraan rakyatnya.

Betapa senangnya negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, Cina, Jerman dan Perancis, mendapatkan keuntungan jutaan dolar dari penjualan senjata mereka. Uniknya, negara-negara dunia ketiga dalam hal ini negara-negara Islam asyik masyuk mengimpor senjata-senjata canggih Barat dan sekutunya. Lebih unik lagi, moncong-moncong senjata itu diarahkan ke negara-negara Islam pula. Ini merupakan sebuah fakta yang tidak dapat diterima akal sehat.

Kompleksitas problem dakwah semakin berat ketika masalah politik dan ekonomi di berbagai negara Islam diekpor ke berbagai negara Islam lain. Perang boneka (proxy war) dalam hal ini menemui momentumnya. Tidak sampai di situ, masalah politik dan ekonomi lebih membakar di saat penafsiran agama menjadi alat legitimasi yang bersifat disintegratif. Misalnya, konflik politik dan kontestasi ekonomi antara Arab Saudi versus Iran pada level akar rumput menjadi konflik teologis. Padahal sebelum meletusnya revolusi Islam Iran 1979, Arab Saudi dan Iran seperti sahabat sejati. Masalah teologis muncul ketika satu sama lain merasa terusik secara politis dan ekonomis.

Arab Saudi dengan petro dolarnya dan Iran dengan kecerdikan dan gerakan kulturalnya merambah negara-negara Islam lain sebagai ladang persaingan. Sebagaimana dimafhumi, Arab Saudi yang sebagian besar berpaham Ahlussunnah dan Iran yang sebagian besar berpaham Syiah bersaing keras untuk mendapatkan pasar simpati. Keduanya mencoba untuk membelah dunia ke dalam dua kategori, yaitu: kami dan kalian.

Dakwah dalam konteks ini seperti kibasan pedang yang diayunkan oleh pendekar mabuk yang tak sadarkan diri. Alih-alih mencerdaskan, umat semakin bergerak mundur ke belakang. Orang lain sudah menciptakan berbagai penemuan ilmiah sementara umat Islam hidup bahagia di atas pusaran konflik internal yang memilukan.

Materi dakwah yang semestinya menjurus pada pengentasan kemiskinan, pembangunan peradaban yang kini sirna dari tangan umat Islam, berganti menjadi materi saling menghujat, saling menyalahkan, saling memojokkan, dan pada konteks tertentu saling mengkafirkan dan fatwa mati. Inilah ironi dakwah itu. Bagaimana model khairu ummah (umat terbaik) dapat terwujud jika umat Islam masih berkubang di lumpur konflik. Predikat sebagai umat terbaik hanyalah utopia.

Benar kata Muhammad Abduh, kebesaran Islam mahjuubun (tertutup) karena perilaku umat Islam itu sendiri. Meminjam semangat Bung Karno, bahwa musuh yang terbesar umat Islam bukan mengusir Amerika dan sekutunya dari dunia Islam, melainkan konflik internal antar umat Islam itu sendiri. Masih menurut Bung Karno, umat Islam memilih mengamalkan “Abu Islam” ketimbang “Api Islam”.

Revolusi Dakwah
Agar meninggalkan bekas, maka dakwah mesti bersifat humanis dan dapat mengangkat isu-isu strategis. Ke depan dakwah harus direvolusi. Revolusi dakwah menyangkut masalah kebutuhan umat manusia secara riil. Dakwah tidak saja berisi janji-janji manis yang berujung surga. Dakwah merupakan jihad menciptakan peradaban asri yang dapat dinikmati manusia sejagad. Dakwah adalah aktifitas spiritual dan sosial yang memformat umat untuk hidup bahagia secara material dan spiritual, duniawi dan ukhrowi, dunia hasanah dan akhirat hasanah. Wallaahu a’lam.

Penulis adalah Dosen FAI UMSU Dan Alumni MTs/ MAS Aisyiyah Binjai

BERITA TERKINI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER