Sabtu, Mei 4, 2024
Google search engine
BerandaOpiniPR Pariwisata Aceh, antara Literasi dan Kebijakan Daerah

PR Pariwisata Aceh, antara Literasi dan Kebijakan Daerah

“Bahkan di beberapa lokasi justru mengalami mis-managemen, dimana pemerintah daerah bertindak langsung sebagai operator destinasi”

Oleh: Ronny P Sasmita

Belum lama ini, saya diundang sebagai salah satu narasumber pada acara rapat koordinasi bidang ekonomi se Aceh yang diadakan oleh Biro Ekonomi Sekretariat Provinsi Aceh, di Kutacane, Aceh Selatan.

Tema yang harus saya kupas adalah tentang strategi pengembangan sektor pariwisata di daerah, khususnya untuk Provinsi Aceh.

Dalam kapasitas sebagai anggota Pokja Industri Pariwisata Nasional Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN RI), saya tentu cukup senang dengan antusiasme kepariwisataan yang diperlihatkan dalam rakor, mengingat secara nasional sektor pariwisata sudah sejak beberapa tahun lalu dijadikan sebagai salah satu leading sector nasional.

Meski baru memasukkannya ke dalam agenda rakor, saya cukup yakin Aceh belum terlambat untuk bisa ikut mencicipi manisnya kue ekonomi pariwisata, jika ingin serius menanganinya mulai dari saat ini. Toh dalam prakteknya, beberapa kabupaten dan kota, seperti Langsa, telah terlebih dahulu menyadari potensi pariwisata yang ada di daerahnya dan telah menunjukan berbagai keberpihakan nyata untuk mendongkrak kinerjanya.

Sebagaimana daerah lain di Indonesia yang memiliki potensi pariwisata berlimpah, Aceh pun ada dalam barisan yang sama. Topogafi alam panoramik, keunikan budaya yang sudah tak perlu diragukan lagi, pola hidup masyarakat yang mengundang keingintahuan, kekayaan kuliner yang sangat khas dan sistem sosial budayanya juga menarik.

Selain itu sistem serta model aktualiasi keyakinan yang juga tak kalah spritualistiknya dibanding dengan daerah lain, adalah rentetan potensi turistik yang siap untuk mengisi pundi-pundi ekonomi Aceh. Tentu jika disentuh dan dikelola dengan tepat.

Semua potensi tersebut, tentu terlebih dahulu harus disadari sebagai potensi pariwisata, agar kemudian bisa dikategorikan sebagai aset pariwisata yang bisa monoteisasi untuk kemaslahatan masyarakat Aceh.

Dalam konteks ini, saya bertemu dengan persoalan pertama, yakni literasi pariwisata. Terdapat disparitas literasi pariwisata yang cukup signifikan, terutama di antara para pengambil kebijakan di Aceh.

Kurang mendalam dan komprehensifnya literasi kepariwisataan hampir terdapat di semua level pengambil kebijakan yang mengakibatkan potensi-potensi pariwisata di atas menjadi kurang tersadari dan tergali. Bahkan di beberapa lokasi justru mengalami mismanagemen, di mana pemerintah daerah bertindak langsung sebagai operator destinasi.

Sikap pemerintah yang bertindak sebagai operator destinasi, menyebabkan hasil yang didapat cenderung sangat minim, sesuai dengan bentuk sentuhan yang diberikan. Kondisi illiterasi pariwisata semacam ini harus segera ditambal oleh pemerintah provinsi, dengan cara duduk bersama dengan semua kepala daerah yang memiliki potensi pariwisata dan membuat komitmen bersama terhadap sektor pariwisata di daerahnya masing-masing.

Komitmen pariwisata setiap kepala daerah tersebut kemudian harus diturunkan ke dalam aksi nyata berupa penyamaan visi misi pariwisata sampai ke level paling bawah di daerah masing-masing. Dalam hal ini, regulasi, insentif, pun berbagai macam keberpihakan (fiskal, hukum, dan politik), harus segera diarahkan kepada sektor pariwisata di daerah.

Hal semacam ini lazim kita sebut dengan istilah pembentukan “CEO Commitment” atau komitmen kepala daerah. Jika kepala daerah sudah committed, maka jalan lebar akan terbentang untuk sektor pariwisata di daerah. CEO Commitment adalah entry point yang akan menjadi pemula signifikan untuk menggeliatkan sektor pariwisata di daerah.

Contoh nyata adalah Banyuwangi. Komitmen tinggi dari seorang Bupati Azwar Anaz adalah roh perubahan Banyuwangi dari daerah yang dipersepsikan sebagai daerah santet menjadi daerah destinasi wisata yang membanggakan.

Hasilnya, dengan menggerakan sektor pariwisata, dalam periode 5-8 tahun, Banyuwangi berhasil meningkatkan kunjungan wisata dari angka 400 ribuan menjadi 5 juta kunjungan. Tak pelak, kontribusi pariwisata pada PDRB Banyuwangi membesar sangat tajam, tingkat kemiskinan mengecil, dan lapangan kerja bergerak meluas.

Kini, hotel-hotel berbintang sudah menancapkan kukunya di Banyuwangi. Selain kesempatan kerja formal melebar, peluang-peluang ekonomi pun membesar. Sektor ekonomi kreatif bergerak dinamis sebagai imbas meningkatnya kunjungan wisata. Masyarakat desa ikut pula menikmati kue ekonomi wisata dengan diperkenalkannya konsep desa wisata. Rumah-rumah masyarakat desa tak sedikit yang berubah menjadi homastay, home industri pedesaan pun ikut terkerek, dan banyak lagi.

Selain persoalan literasi pariwisata yang berimbas pada rendahnya komitmen pariwisata kepala daerah, masalah lainya adalah aksesibilitas, terutama bandara. Wilayah Aceh yang luas kurang didukung oleh infrastruktur kepariwisataan yang mumpuni. Daerah-daerah yang menyimpan potensi besar kepariwisataan akhirnya sangat sulit diakses, baik dari Banda Aceh maupun dari Kualanamu Medan.

Saya membutuhkan waktu sekira 7 jam dari Kualanamu, Medan, menuju ke Kutacane, Aceh Selatan. Sebagaimana cerita yang saya dapat sepanjang acara, beberapa daerah lain di Aceh juga mengalami nasib yang sama. Idealnya, destinasi luar biasa yang ada di daerah-daerah Aceh, bisa diakses maksimum 2 jam perjalanan. Lebih dari itu, para calon wisatawan akan berfikir lebih panjang untuk datang.

Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Aceh selayaknya memasukan rencana pengaktifan bandara-bandara kecil atau perintis di daerah yang secara geografi berposisi di tengah. Dengan pengaktifan satu bandara perintis di satu daerah, diharapkan akan memangkas jarak tempuh menjadi 1-2 jam menuju beberapa daerah di sekitarnya. Rencana tersebut tentu disertai dengan usaha yang mumpuni untuk berbicara dengan maskapai yang biasa melayani rute perintis agar membuka jalur penerbangannya ke bandara tersebut.

Mengapa Banyuwangi bisa seperti saat ini? Salah satu jawabannya adalah pembukaan akses penerbangan langsung ke Banyuwangi dari beberapa daerah lain, terutama dari Jakarta dan luar negeri. Pun hal yang sama terjadi di Manado, daerah yang dijuluki Arief Yahya sebagai the rising star dari Timur. Pembukaan penerbangan langsung dari beberapa kota di China ke Manado, mendadak membuat Manado kedatangan satu jutaan wisman (data 2018).

Selanjutnya adalah pembenahan destinasi. Dengan terbentuknya kesamaan literasi, komitmen kepala daerah, keberpihakan kebijakan daerah, dan adanya rencana aksi membenahi aksesibilitas, langkah selanjutnya adalah pembenahan destinasi. Keberpihakan fiskal untuk melengkapi infrastruktur dan amenitas di lokasi destinasi sangat perlu dikedepankan, mulai akses jalan yang baik sampai pada keberadaan dan kelayakan fasilitas umum seperti toilet yang bersih dan layak.

Hal tersebut diawali dengan kesepatakan bersama semua kepala daerah agar menentukan satu atau dua destinasi utama di masing-masing daerah dan fokus untuk mengembangkannya.
Setelah ditemukan satu atau dua destinasi utama, maka harus segera diputuskan kelembagaanya, yakni siapa yang akan mengelolanya atau siapa DMO-nya (Destination Management Organisation).

Destinasi tidak bisa berkembang begitu saja, sekalipun pemerintah daerah sudah memberikan beberapa keberpihakan regulasi dan insentif. Yang membuat destinasi memiliki tata kelola yang unggul adalah pengelolanya. Pengelolanya bisa dari mana saja, apakah BUMN, BUMD, Bumdes, Pokdarwis dan koperasi. Atau swasta sekalipun, tak jadi soal, selama ada pengelolanya, selama ada yang “incharge” dan bertanggung jawab atas kemajuan destinasi tersebut.

Biar badan pengelola akan men-design segala tetek bengek kepariwisataan di lokasi destinasi dan menentukan atraksi-atraksi pendukung apa yang diperlukan di kawasan destinasi. Contoh bagus untuk ini adalah pengelola wisata mangrove di Langsa yang dikelola oleh BUMD khusus yang didirikan pemerintah Kota Langsa.

Berdasarkan data mutakhir yang saya dengar dari pengelola wisata magrove Langsa, mereka telah berhasil membukukan kunjungan wisatawan sekita 400 ribu di tahun 2018 lalu.
Masalah lainnya adalah minimnya SDM kepariwisataan. Hal ini juga harus segera diatasi oleh semua stake holder di Aceh. Dan pendeknya, terdapat begitu banyak potensi dan peluang kepariwisataan di saetaero Aceh Raya, lengkap dengan keunikan masing-masing destinasi.

Persoalan selanjutnya ada di tangan pemerintah provinsi, pemerintah daerah, kegigihan pemerintah lokal dalam menggandeng pemerintah pusat, pihak swasta lokal dan nasional yang akan dilibatkan, dan masyarakat Aceh sendiri.

Langkah awal, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah selayaknya merumuskan segera tourism masterplan di ranah masing-masing (Rencana Pembangunan Pariwisata Daerah) agar ada proyeksi peta jalan kepariwisataan di Aceh untuk tahun-tahun mendatang.

Dalam rencana startegis tersebut harus pula diproyeksikan tentang bagaimana peran terbaik sektor pariwisata di Aceh dalam pemberantasan kemiskinan yang masih jauh di atas angka kemiskinan nasional, dalam penurunan angka pengangguran di daerah, dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, dan dalam memperbesar kontribusi PDRB pariwisata. Semoga.

  • Penulis adalah Anggota Pokja Industri Pariwisata Nasional Komite Ekonomi dan Industri Nasional Republik Indonesia (KEIN RI) dan Direktur Eksekutif Economic Action Indonesia (EconAct)
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER