“Kami sangat khawatir dengan Medsos yang semakin tidak terkendali, bahkan jika sudah malam akan menampilkan hastag pronografi dan berbahaya jika diakses anak-anak”
— Pj Gubernur Aceh Dr. H. Safrizal ZA —
Seiring mudahnya akses internet, Media Sosial (Medsos) menjadi salah satu sarana yang kerap diakses, termasuk oleh anak-anak.
Tidak masalah jika Medsos digunakan secara bijak karena dapat memberikan beberapa manfaat, di antaranya sebagai sarana mengeksplorasi minat dan bakat anak dan sebagai tempat mencari informasi.
Namun selain itu, media sosial justru bisa juga menjadi bumerang bagi anak dan remaja apabila digunakan tanpa pengawasan orang tua. Dampak buruk yang mungkin timbul dari penggunaan media sosial pada anak dan remaja, meliputi susah konsentrasi, termakan rumor tidak benar dan tidak percaya diri.
Apalagi, konten saat ini banyak yang asal-asalan dalam artian tidak memberikan pembelajaran, informasi atau hal positif lainnya. Melainkan mempublikasi konten yang tidak wajar seperti pornografi, konten bullying dan body shaming.
Tentunya konten seperti ini dapat berpengaruh buruk terhadap anak, termasuk bisa menjadi pemicu bagi anak untuk menjadi pelaku. Karena itu, hal ini menjadi kekhawatiran bagi orangtua termasuk pemerintah, karena dapat merusak masak depan anak Indonesia termasuk anak Aceh.
Berawal dari masalah itu, Penjabat (Pj) Gubernur Aceh Safrizal ZA, menyampaikan kekhawatirannya kepada Deputi Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) RI, Ratna Susiawati, terkait perkembangan konten Medsos yang sangat mudah diakses oleh anak-anak.
Hal tersebut disampaikan Safrizal ZA, saat menerima kunjungan kerja Deputi Menteri PPPA RI, Ratna Susiawati, di ruang rapat Kantor Gubernur Aceh di Banda Aceh, Kamis (26/9/2024).
“Kami sangat merasa khawatir dengan Medsos yang semakin tidak terkendali. Bahkan di salah satu Medsos, jika sudah malam akan menampilkan hastag pronografi. Ini tentu sangat berbahaya jika diakses anak-anak,” ujar Pj Gubernur Aceh.
Kondisi ini, lanjut Safrizal, semakin berbahaya, jika orangtua abai serta tidak menjalankan fungsi kontrol dengan baik terhadap gawai yang dimiliki sang anak. Dalam beberapa kasus, bahkan orangtua tidak memahami operasional gawai.
Oleh karena itu, mantan Pj Gubernur Provinsi Bangka Belitung ini mengajak Kementerian PPPA untuk memformulasikan sebuah sistem dan metode sosialisasi kekinian untuk mencegah hal itu.
“Untuk bisa mendeliver program kita, maka tidak lagi bisa menggunakan cara konvensional harus modern. Harus ada cara baru karena anak-anak sekarang berada di dunia yang jauh berbeda dengan kita, misalnya dengan menggaet influencer serta membuat konten-konten menarik,” kata Safrizal.
Safrizal memahami bahwa kerja-kerja Kementerian dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) sudah cukup maksimal. Sebab melindungi anak merupakan pekerjaan yang membutuhkan passion, karena kerja-kerja sosialnya jauh lebih banyak. Karena itu, Pj Gubernur Aceh mengingatkan pentingnya kerja sama lintas sektor.
Peningkatan SDM Jadi Fokus
Menanggapi hal tersebut, Deputi Menteri PPPA menyampaikan tentang perlunya keputusan gubernur untuk memformulasikan Standard Operating Procedure (SOP) eksternal agar pembentukan tim task force (gugus tugas) lintas instansi bisa segera dilakukan.
Selain itu, Ratna Susiawati juga menjelaskan, Kementerian PPPA bersama Dinas Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DPPPA) saat ini terus menjalankan program peningkatan kapasitas sumberdaya manusia di lembaga tersebut.
“Peningkatan SDM juga menjadi fokus kami di kementerian dan dinas. Selain itu, terkait membangun jejaring, selama ini kami terus menjalin kerjasama dengan sejumlah lembaga seperti Skala dan AIPJ,” ujar Ratna.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, mengatakan peningkatan kapasitas SDM sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi anak-anak.
“Kita harus bekerja sama untuk menciptakan jaringan perlindungan anak yang efektif. Semua pihak perlu terlibat, mulai dari tingkat desa hingga pemerintah daerah,” tuturnya.
Dia berharap dengan meningkatkan kualitas SDM dan menyebarkan pengetahuan mengenai hak-hak anak, dapat meminimalkan risiko kekerasan terhadap anak serta memberikan akses yang lebih baik bagi mereka.
Ke depan, diharapkan dengan adanya peningkatan kualitas SDM dan kolaborasi yang baik, perlindungan anak di Aceh dapat lebih diperkuat, sehingga anak-anak bisa tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang aman dan kondusif. (*)