Senin, Maret 31, 2025
spot_img
BerandaLaporan KhususPandangan Psikolog Terhadap Tingginya Kekerasan Anak di Aceh

Pandangan Psikolog Terhadap Tingginya Kekerasan Anak di Aceh

“Stres akibat masalah ekonomi, ketidakmampuan orang tua dalam mengelola emosi, rendahnya pengetahuan tentang pengasuhan positif, serta dampak digitalisasi menjadi beberapa penyebab utama kekerasan”

Kasus kekerasan terhadap anak di Aceh menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat lonjakan signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Pada tahun 2020, tercatat sebanyak 485 kasus, angka ini meningkat menjadi 468 kasus pada tahun 2021, lalu 571 kasus pada 2022, dan mencapai 634 kasus pada 2023.

Kepala Dinas PPPA Aceh, Meutia Juliana, menggambarkan fenomena ini sebagai gunung es. Meskipun banyak kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di kabupaten dan kota, sebagian besar kasus ini tidak terungkap ke publik. Hal ini menunjukkan betapa kompleksnya masalah ini dan masih banyaknya kasus yang tersembunyi.

Dari total kasus kekerasan terhadap anak, kekerasan psikis menjadi yang paling banyak terjadi, dengan 130 kasus tercatat pada 2023. Sementara itu, kekerasan fisik tercatat sebanyak 143 kasus, kekerasan seksual 164 kasus, dan pemerkosaan anak sebanyak 139 kasus.

Psikolog Klinis Psikodista yang fokus pada penanganan anak dan perempuan, Siti Rahmah, menjelaskan bahwa ada berbagai faktor yang menyebabkan anak menjadi korban kekerasan.

“Stres akibat masalah ekonomi, ketidakmampuan orang tua dalam mengelola emosi, rendahnya pengetahuan tentang pengasuhan positif, serta dampak digitalisasi menjadi beberapa penyebab utama kekerasan,” ujar Rahmah yang juga dosen psikologi di Universitas Syiah Kuala, kepada Waspadaaceh.com, Senin (11/11/2024)

Hal ini menyebabkan anak-anak menjadi sangat rentan terhadap kekerasan, baik fisik, psikis, maupun seksual.

Dampak Kekerasan yang Berkepanjangan

Rahmah juga menekankan bahwa kekerasan terhadap anak memiliki dampak yang sangat besar bagi perkembangan mereka. Studi menunjukkan bahwa kekerasan dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian anak dan berpotensi mempengaruhi kualitas hubungan sosial mereka di masa depan.

Menurut Rahmah, pencegahan kekerasan terhadap anak harus dilakukan secara komprehensif, yang melibatkan berbagai pihak.

“Pencegahan tidak hanya bisa datang dari luar seperti sekolah dan masyarakat, tetapi juga harus dimulai dari rumah. Orang tua perlu diberi pemahaman tentang pengasuhan yang positif,” ujar Rahmah.

Ia juga menyarankan agar orang tua siap belajar mengenai cara-cara pengasuhan yang lebih baik untuk menciptakan lingkungan yang aman bagi anak-anak.

Rahmah juga menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam menangani kasus kekerasan terhadap anak.

Pemerintah, kata Rahmah, harus lebih adaptif dalam menghadapi masalah ini dengan menjangkau semua lini masyarakat untuk memberikan perlindungan yang menyeluruh kepada anak-anak.

Terapi untuk Anak Korban Kekerasan

Untuk anak-anak yang menjadi korban kekerasan, Rahmah mengungkapkan bahwa terapi adalah langkah yang paling efektif.

Psikolog yang terlatih dapat membantu anak untuk memulihkan diri dari trauma yang dialami, memberikan dukungan emosional dan psikologis yang dibutuhkan untuk proses penyembuhan.

Kasus kekerasan terhadap anak yang beragam ini memerlukan pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik dalam penanganannya.

Rahmah berharap penanganan kasus kekerasan terhadap anak dapat dilakukan secara komprehensif, termasuk reedukasi masyarakat dan pihak-pihak terkait untuk mencegah terjadinya kekerasan lebih lanjut.

Melihat meningkatnya jumlah kasus kekerasan terhadap anak, diperlukan perhatian serius dari seluruh pihak pemerintah, masyarakat, dan keluarga.

Perlindungan terhadap anak harus menjadi prioritas utama demi memastikan masa depan mereka yang lebih aman dan lebih baik. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER