Lhokseumawe (Waspada Aceh) – Film dokumenter 17 Surat Cinta yang diputar dalam gala premiere di Lhokseumawe pada Minggu (17/11/2024) menyajikan fakta-fakta mengejutkan mengenai kondisi hutan di Indonesia.
Disutradarai oleh Dandhy Laksono, film ini mengungkapkan kenyataan pahit tentang deforestasi yang terjadi di berbagai wilayah, dari Aceh hingga Papua. Film ini diputar secara serentak di beberapa wilayah di Indonesia.
Dokumenter ini diproduksi oleh Ekspedisi Indonesia Baru melalui kolaborasi dengan berbagai organisasi lingkungan, seperti Auriga Nusantara, Forest Watch Indonesia, Yayasan HAkA, dan Greenpeace Indonesia, 17 Surat Cinta menyoroti bagaimana hutan-hutan yang seharusnya dilindungi—seperti kawasan Suaka Margasatwa (SM) Rawa Singkil justru menjadi korban eksploitasi.
Dalam film ini, penonton melihat sisi gelap dari perambahan hutan yang dilakukan secara terorganisir, mengancam keberlanjutan ekosistem dan keanekaragaman hayati.
Ketua Pembina Yayasan JINOE, Ramadhan, dalam sambutannya mengungkapkan acara ini bukan hanya sekadar film screening, tetapi juga sebagai sarana edukasi penting.
“Film ini membuka mata masyarakat, khususnya generasi muda, tentang betapa seriusnya ancaman terhadap hutan kita. Ini adalah panggilan untuk kita semua agar lebih peduli terhadap kelestarian lingkungan,” ujarnya.
Antusiasme warga Lhokseumawe yang hadir melebihi kapasitas awal, dengan lebih dari 150 peserta yang berasal dari berbagai komunitas anak muda, menunjukkan bahwa isu deforestasi semakin mendapat perhatian serius.
Raja Mulkan, juru kampanye Yayasan HAkA, mengungkapkan bahwa kerusakan hutan di Aceh sudah terjadi secara terstruktur dan terorganisir.
Ia menyoroti pentingnya peran aktif anak muda dalam mengkampanyekan isu deforestasi, yang kini menjadi ancaman serius di wilayah-wilayah yang seharusnya dilindungi.
Film ini juga memberikan pesan kuat bagi generasi muda untuk lebih aktif dalam memperjuangkan kelestarian lingkungan. Sebagai saksi dari kenyataan yang dihadapi hutan Indonesia, para penonton merasa terdorong untuk bertindak dan berperan dalam menyelamatkan warisan alam yang tak ternilai ini.
Menurut Ardi Mansyah, tim Advokasi Pemuda Pembela Lingkungan Hidup (P2LH), apa yang terjadi di SM Rawa Singkil adalah kejahatan lingkungan yang menunjukkan bagaimana oligarki bisa tumbuh subur di Indonesia.
“Meskipun kawasan tersebut sudah ditetapkan sebagai Suaka Margasatwa, perambahan hutan terjadi, namun BKSDA tidak mengambil tindakan terhadap para pelaku,” ujarnya.
Almuzakki, mahasiswa dari Lhokseumawe, mengungkapkan bahwa film yang ditontonnya membuka mata tentang parahnya deforestasi di Indonesia.
Ia terkejut melihat hutan yang seharusnya dilindungi justru dihancurkan dan merasa terpanggil untuk lebih aktif dalam kampanye pelestarian lingkungan.
Intan, seorang peserta lainnya, merasa sedih dan marah setelah menyaksikan kerusakan hutan yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, sementara pemerintah tidak melakukan tindakan.
“Ketika saya menyaksikan bagaimana hutan dibabat olehpihak yang tidak bertanggung jawab dan pemerintah tidak melakukan penindakan, saya merasa sedih dan geram,” ujarnya. (*)