“Masjid Tuha Ulee Kareng, saksi bisu sejarah Islam di Aceh, menjadi simbol kuatnya jejak peradaban Islam di bumi Serambi Mekkah”
Di Desa Ie Masen, Kecamatan Ulee Kareng, Kota Banda Aceh, berdiri sebuah masjid tua yang dikenal sebagai Masjid Tuha Ulee Kareng. Berada di jantung kawasan kuliner terkenal dengan aroma khas kopi robusta, masjid ini sebagai saksi bisu sejarah peradaban Islam.
Bangunan yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari Simpang Tujuh Ulee Kareng ini diyakini sudah ada sejak abad ke-18. Masjid ini menjadi salah satu situs cagar budaya sebagai bukti perkembangan dan kejayaan Islam di masanya.
Tepat di samping Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) 5 Ulee Kareng, masjid ini menyimpan cerita panjang perjalanan Islam di tanah rencong.
Pantauan Waspadaaceh.com pada Minggu (17/11/2024), suasana di Masjid Tuha Ulee Kareng tampak sepi, hanya ada satu atau dua orang yang sedang melaksanakan shalat Zuhur.
Dari luar, Masjid Tuha Ulee Kareng tampak sederhana, namun kaya akan nilai sejarah. Atap limas bertingkat dua dengan ventilasi di antaranya memastikan sirkulasi udara tetap lancar meski tanpa jendela.
Dinding bangunan yang semi-permanen, dihiasi dengan jeruji kayu kecil yang menjadi saluran sirkulasi udara, sementara 12 tiang kayu kokoh yang menopang bangunan dihiasi dengan ukiran kaligrafi Arab yang memperindah bangunan tua ini.
Tiang-tiang ini menjadi saksi bisu perjalanan panjang masjid ini sebagai pusat dakwah di Serambi Mekkah. Selain itu, rak-rak di dinding masjid menyusun Al-Quran berbagai ukuran.
Walaupun beberapa bagian masjid mengalami renovasi, seperti atap yang sebelumnyabterbuat dari daun rumbia diganti dengan seng dan dinding yang diperkuat beton, nuansa tradisionalnya tetap terjaga.
Sentuhan kayu pada bagian ornamen bangunan berhasil menjaga keaslian arsitektur masjid ini.
Menurut Tgk. Saifuddin, salah satu pengurus masjid, menjelaskan Masjid Tuha Ulee Kareng dibangun pada abad ke-18, dimulai oleh Teuku Meurah Lamgapang dan diteruskan setelah kedatangan ulama Habib Abdurrahman bin Habib Husein Al-Mahdali, atau lebih dikenal sebagai Habib Kuala Bak U, pada 1826. Bersama saudaranya, Habib Abu Bakar Bilfaqih (Teungku Dianjong), Habib Kuala Bak U menjadikan masjid ini sebagai pusat ibadah dan dakwah Islam di Aceh.
Di belakang masjid, terdapat area pemakaman. Di sinilah para ulama dan tokoh penting Aceh dimakamkan, termasuk Habib Kuala Bak U. Para ulama seperti Teuku Meurah Lamgapang dan anak-anaknya hingga Ulee Balang lainnya. Teuku Meurah ialah pejabat Ulee Balang III Mukim Ulee Kareng pada masa itu. Makan tersebut, kini menjadi tujuan ziarah bagi masyarakat sekitar maupun luar daerah.
Meskipun masjid ini tidak lagi digunakan untuk salat berjamaah, aktivitas keagamaan tetap hidup. Pengajian mingguan dan kegiatan belajar diniyah bagi siswa Madrasah Ibtidaiyah Negeri 5 (MIN) Ulee Kareng menjadi bagian dari rutinitas masjid ini.
Bukan hanya menjadi tempat ibadah, kini juga menjadi wisata religi. “Banyak yang datang ke sini untuk beribadah sekaligus berziarah,” ujar Saifuddin.
Sebagai cagar budaya yang dilindungi, masjid ini tetap terjaga keaslian sejarahnya. Warga Ulee Kareng juga secara tegas menentang renovasi besar-besaran, karena mereka ingin mempertahankan nilai-nilai sejarah dan budaya yang terkandung dalam bangunan tersebut.
Rahmi, (26), baru saja tiba di halaman masjid. Ia bergegas mengambil air wudu untuk melaksanakan salat zuhur.
Setelah selesai, ia duduk sebentar, mengenang masa kecilnya di lingkungan masjid yang penuh kenangan.
“Dulu waktu masih sekolah di MIN Ulee Kareng ini, waktu mata pelajaran fikih belajar tata cara shalat, pasti belajar salat di sini, masih teringat lantainya yang hanya plesteran, sekarang sudah pakai keramik.” kenangnya.
Meskipun perubahan pada masjid ini terasa, Rahmi berharap agar lebih banyak kegiatan diadakan untuk menghidupkan suasana masjid.
“Perlu lebih diaktifkan lagi aktivitas di masjid ini. Selain pengajian, misalnya bisa ada musabaqah atau kegiatan lainnya agar suasana tetap hidup,” ujarnya.
Rahmi tak hanya berharap agar masjid ini menjadi lebih aktif, tetapi juga agar keberadaannya semakin dikenal oleh masyarakat luas.
Selain itu, Rahmi juga menyoroti pentingnya perawatan masjid, seperti menjaga kebersihan mukena dan rutin membersihkan rak yang mulai berdebu.
“Masjid ini adalah tempat yang sangat penting bagi masyarakat, jadi kebersihannya perlu diperhatikan. Mukena harus selalu bersih, dan rak-rak yang ada di dalam masjid harus sering dibersihkan,” tambahnya.
Namun, Rahmi juga menyadari bahwa Masjid Tuha Ulee Kareng masih kurang dikenal oleh banyak orang, terutama di kalangan generasi muda.
“Perlu disosialisasikan dan dipromosikan keberadaan masjid tua ini. Karena tidak seterkenal masjid-masjid besar yang ada indrapuri atau di pelanggahan, sehingga keberadaannya semakin dikenal,” ujar Rahmi,
Masjid Tuha Ulee Kareng menjadi saksi hidup perjalanan panjang sejarah Islam di Aceh, dan keberadaannya menjadi simbol betapa kuatnya jejak budaya Islam yang telah mengakar di bumi Serambi Mekkah. (*)
Waspada Aceh on TV