Senin, November 25, 2024
spot_img
BerandaProfilMusrin, Sosok Pengacara asal Aceh Tenggara, Pernah Dibui Hingga Inisiator Bantuan Hukum...

Musrin, Sosok Pengacara asal Aceh Tenggara, Pernah Dibui Hingga Inisiator Bantuan Hukum Gratis di Batam

“Dari dalam jeruji besi, Musrin merasakan sulitnya memperjuangkan hak buruh. Seketika itu pula, muncul cita-citanya, suatu saat nanti akan menjadi seorang pengacara, yang bisa memperjuangkan hak-hak orang lain termasuk hak buruh”

———

Duduk di sebuah warung kecil di dekat kediamannya di Rusun Sewa Muka Kuning, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), Musrin berbagi pengalaman dengan jurnalis yang datang menemuinya, belum lama ini.

Ditemani secangkir kopi, perbincangan pada malam itu kian menarik. Apalagi Musrin menceritakan kisah hidupnya sejak masa kecil hingga saat ini. Lelaki asal Aceh yang kini menjadi seorang pengacara ini begitu bersemangat menceritakan perjalanan hidupnya.

Musrin terlahir dari keluarga yang serba kekurangan. Ayahnya hanya seorang petani sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga (IRT) biasa. Pria kelahiran 7 September 1977 di Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, ini adalah satu-satunya anak laki-laki dari lima bersaudara.

Terlahir dari keluarga kurang mampu, Musrin tumbuh menjadi seorang anak laki-laki yang mandiri. Dari sejak kecil dia telah belajar hidup sederhana. Ketika libur sekolah, Musrin telah membantu orang tuanya ke sawah untuk menanam padi. Hidup Musrin memang tidak seberuntung teman-teman sebayanya, yang bisa bermain sesuka hatinya ketika libur sekolah.

Ketika Musrin hendak berangkat menuju sekolah, dia harus berjalan kaki beberapa kilometer dari rumahnya menuju ke sekolah. Tak hanya itu, Musrin harus menyeberangi sungai yang cukup besar, yaitu Sungai Alas, jika ingin sampai ke sekolah.

“Kalau ke sekolah itu, kita jalan kaki berkilo-kilometer. Terus ada sungai besar yang harus kita seberangi. Jadi kalau kita mau nyebrang ya berenang, kita buka seragam sekolah, kita bungkus kantong plastik dan naikkan ke atas kepala biar gak basah,”kisah Musrin di masa kecilnya.

Ketika dia sedang berjuang menempuh pendidikan di sekolah SD itu, cobaan pun menghampirinya. Kala itu Musrin masih duduk di bangku sekolah kelas 3 SD, saat ibunda tercintanya meninggal dunia.

Musrin merasa terpukul dan terguncang, tapi hidup harus tetap dia jalani. Walau semangat Musrin untuk tetap belajar, sempat pudar, bahkan dia tidak memikirkan sekolahnya. Di mata Musrin, ibundanya itu sosok yang selalu mendukungnya sehingga dia memiliki semangat belajar.

Musrin harus kehilangan sosok ibu, di saat dia masih membutuhkan peluk kasih sayang dan dorongan semangat dari seorang ibu. Ibunda Musrin meninggal setelah menderita sakit.

“Sebelum ibu meninggal, saya dipeluk ibu dan dicium. Ada pesan sebelum beliau meninggal. Ketika itu ibu saya meminta saya untuk ikut paman yang di Banda Aceh. Beliau pesan, saya harus sukses dan terus melanjutkan sekolah,” kenang Musrin.

Berjalannya waktu, Musrin pun akhirnya lulus di bangku Sekolah Dasar Negeri (SDN) 05 Tanah Merah, Aceh Tenggara, pada tahun 1990.

Sekolah di Banda Aceh

Selepas tamat sekolah dasar, pamannya pun datang memintanya untuk tinggal di Banda Aceh bersamanya. Musrin mau tidak mau harus berpisah dengan ayah tercintanya. Di satu sisi ketika itu, kondisi ekonomi orang tuanya memang tidak memungkinkan untuk membiayai sekolah Musrin untuk melanjutkan pendidikan hingga ke bangku SMP.

Tinggal bersama pamannya, abang kandung dari almarhumah ibundanya, Musrin disekolahkan di SMPN 13 Banda Aceh. Selanjutnya, tamat SMP dia melanjutkan ke Sekolah Teknik Mesin (STM), hingga Musrin bisa menamatkan pendidikan di STM Negeri 1 Banda Aceh pada tahun 1996.

“Lulus SD saya langsung tinggal bersama paman saya, karena orang tua pun sudah tak punya biaya untuk menyekolahkan saya. Saya disekolahkan dari SMP sampai STM oleh paman,” tuturnya kepada Waspadaaceh.com.

Merantau Hingga ke Batam

Singkat cerita, lulus dari sekolah STM, Musrin sempat memiliki cita-cita menjadi seorang prajurit TNI. Namun takdir berkata lain. Jalan hidup Musrin berubah. Musrin memilih merantau pada tahun 1996 ke daerah Kota Pinang, Labuhanbatu Selatan, Sumatera Utara (Sumut).

Di Kota Pinang, Musrin pun rela bekerja sebagai kuli bangunan demi bertahan hidup. Waktu itu, Musrin hanya mendapatkan gaji empat ribu lima ratus rupiah dan tinggal di sebuah mess.

Berjalannya waktu, kembali muncul keinginan Musrin memperpanjang langkah untuk merantau ke kampung yang lain. Empat bulan di Kota Pinang bekerja sebagai kuli bangunan, Musrin pun memutuskan pergi merantau ke Kota Batam pada tahun 1997.

Menuju Kota Batam, Musrin melalui banyak rintangan yang cukup berat. Bermodalkan gaji sebagai kuli bangunan yang dia kumpulkan, hanya Rp75 ribu, Musrin tetap nekat merantau ke Batam.

“Waktu itu saya punya modal sekitar 75 ribu rupiah dari hasil kerja bangunan. Saya pakai untuk ke Batam. Ketika itu naik kapal Ferry Dumai Express. Ongkosnya pun masih 35 ribu,” kenangnya.

Tiba di Batam, Musrin hanya menyisakan uang Rp40 ribu rupiah. Sesampai di Batam, rasa takut pun sempat menghampirinya.

“Modal tinggal 40 ribu, cukup untuk apalah itu. Sempat berpikir, hari-hari esok itu aku makan di mana ya? Duit tinggal segini,” cerita Musrin mengenang masa ketika pertama kali tiba di Batam.

Motivasi Musrin nekat ke Kota Batam, karena ketika itu isunya, di Batam kalau bekerja dibayar dollar. “Kerjanya pun banyak dan mudah. Makanya nekat ke Batam,” cerita Musrin.

Namun, apa yang dibayangkan Musrin tentang Batam, tidak lah seindah yang ada di benaknya. Setibanya di Batam, dia harus menghadapi dan menjalani berbagai rintangan.

Dari Pelabuhan Sekupang ketika itu, Musrin naik taksi yang kala itu disebut Taksi Kombet. Bermodalkan Rp40 ribu yang tersisa di saku, Musrin melanjutkan perjalanannya ke kota Batam.

“Naik taksi kombet dari pelabuhan. Saya minta diantar waktu itu ke terminal. Tapi eh, malah diantar ke halte. Halte BCA Jodoh waktu itu. Nah, karena belum tahu Batam, sempat terkotang- katung lah di halte itu. Sampai tidur pun di halte itu beberapa hari,” kenang Musrin, sambil menggelengkan kepalanya.

Tak ingin terlalu lama terpuruk dan hanya tinggal di sebuah halte, Musrin pun memberanikan diri untuk berkeliling menelusuri kota Batam. Hari demi hari dia lalui dengan sabar dan ikhlas, hingga akhirnya Musrin berkenalan dengan seseorang dari suku Flores (Nusa Tenggara Timur).

“Pas tidur di halte, datang lah orang Flores. Saya kenalan. Saya ditanya waktu itu, dari mana mau kemana? Saya jawab, saya dari Aceh mau cari kerja di sini (Batam). Saya ditanya lagi, ada keluarga gak. Saya jawab, tidak ada,” kata Musrin mengisahkan.

“Setelah berkenalan, saya diajak ke rumahnya. Disuruh tinggal di rumahnya. Dan waktu itu, saya merasa lega, bersyukur. Alhamdulillah, akhirnya ada orang baik yang menolongku di Batam,” kenangnya.

Ketika itu, Musrin pun berjanji dalam hatinya. Suatu saat akan membalas pertolongan orang Flores tersebut. “Ya, karena yang pertama yang menolong itu orang Flores. Saya sangat menganggap bahwa orang Flores itu adalah saudara ku semua siapa pun orangnya, yang akan kubantu sebisaku suatu saat nanti,” kata Musrin kepada jurnalis.

Bertemu dengan sosok yang dianggapnya pahlawan di Batam baginya. Musrin pun akhirnya dapat bekerja. Tak hanya memberikan tempat tinggal, Musrin diajak bekerja oleh temannya itu.

“Dengan orang Flores itu, saya diajak kerja. Kerja bongkar muat bawang putih. Soal gaji, ya tergantung ada bongkar muat atau tidak. Karena waktu itu, saya berpikir, bisa bertahan saja sudah syukur. Makan siang waktu itupun satu bungkus lima orang,” kata Musrin mengenang masa itu.

Bukan hanya bekerja sebagai kuli panggul, Musrin diberikan tugas untuk mengantarkan bawang putih, setelah dibongkar kemudian diantar ke toko-toko di wilayah Jodoh-Nagoya, Batam.

“Ya, habis bongkar, saya antar ke toko-toko di daerah Jodoh Nagoya,” kenangnya.

Selama beberapa bulan dan tahun-tahun berikutnya, Musrin berpindah-pindah tempat kerja. Dia sempat bekerja di toko dan bekerja di sebuah restoran.

Mendemo Perusahaan Tempat Bekerja

Tahun 1999 akhir, berbekal ijazah STM, Musrin akhirnya diterima bekerja subcon di PT Halimun Jaya untuk ditempatkan bekerja di PT Shimano Muka Kuning Batam.

Memasuki satu tahun bekerja sebagai karyawan, Musrin diangkat menjadi karyawan kontrak PT Shimano dengan gaji Rp90 ribuan. Kala itu Musrin diangkat dari operator produksi menjadi Quality Assurance (QA).

Musrin yang semakian paham tentang Kota Batam, kemudian bergabung dan mulai aktif di serikat buruh SBSI (Serikat Buruh Seluruh Indonesia) Batam. Musrin menjadi salah satu pengurus inti di SBSI.

Kian aktif di serikat buruh, pada tahun 2002, Musrin bersama rekan-rekannya melakukan aksi demo di perusahaan tempat dia bekerja. Ketika itu, Musrin dan rekan-rekannya menuntut agar ada penghapusan kerja sistem outsorcing di perusahaan.

“Ketika saya sudah aktif di serikat buruh. Tahun 2002 kita buat aksi demo besar-besaran. Kita menuntut penghapusan outsorcing dan kita minta adanya pemberian cuti haid. Demo itu kita gelar sampai tiga kali dalam beberapa bulan,” kata Musrin.

Namun naasnya, ketika berjuang membela hak buruh, Musrin malah dihadapkan dengan rintangan cukup berat. Musrin dan seorang rekannya, harus berurusan dengan hukum (pihak berwajib) terkait dampak aksi demo yang dilakukannya.

“Saya sampai ditahan pihak berwajib. Karena menggelar demo waktu itu,” kenangnya.

“Memang waktu itu saya yang sangat vokal dalam aksi. Makanya saya sampai diamankan. Agar demo itu bisa berakhir,” sambungnya.

Dari dalam jeruji besi, Musrin merasakan sulitnya memperjuangkan hak buruh. Seketika itu pula, muncul cita-citanya, suatu saat nanti akan menjadi seorang pengacara, yang bisa memperjuangkan hak-hak orang lain termasuk hak buruh.

Setelah lepas dari jeratan hukum jeruji besi, Musrin pun dibebaskan. Bukan malah mendapatkan hasil memuaskan dari aksi demo itu, Musrin malah kena PHK oleh manajemen PT Shimano Muka Kuning, tepatnya pada tahun 2002 akhir.

Musrin menerima uang PHK, yang dijadikannya untuk membeli sepeda motor. Sebab menurut dia ketika itu, setelah PHK, Musrin harus menghadapi masa-masa sulit menjadi seorang pengangguran. Bermodalkan sepeda motor itu, Musrin lalu beralih profesi sebagai tukang ojek di Muka Kuning.

“Dari hasil PHK itu, saya beli sepeda motor. Jadi tukang ojek lah. Yang penting waktu itu, saya bisa makan. Tidak menjadi pengangguran yang tidak tentu arah. Ketika itu, saya pun sudah tinggal di Perumahan Otorita Muka Kuning,” katanya.

Sebelum tinggal di Perumahan Otorita, Musrin pernah merasakan tinggal di rumah liar (Ruli). Saat tinggal di Ruli, Musrin merasakan pahitnya tergusur. Harus pindah dari tempat satu ke tempat lainnya.

Menjadi tukang ojek ketika itu, Musrin sadar akan sulit mencari sesuap nasi. Delapan bulan jadi tukang ojek, hingga dia pernah sampai tertidur di atas motor demi menunggu penumpang datang.

Musrin mengenang, ketika menjadi tukang ojek, dia hanya mampu mendapatkan penghasilan Rp15 ribu perhari. Hasil ngojek itu ia sisihkan untuk keperluan makan dan membayar uang kost.

Sembari menjadi tukang ojek, memasuki tahun 2003, Musrin mencari pekerjaan yang lebih layak. “Dan syukur Alhamdulillah, saya akhirnya bekerja di PT Yeakin Muka Kuning,” kisahnya.

Walau sudah bekerja di sebuah perusahaan besar, Musrin tetap menekuni profesinya sebagai tukang ojek. Dia memiliki pendirian ketika itu, “selagi masih muda, harus giat kerja. Agar suatu saat tidak susah lagi,” kata Musrin.

Musrin kemudian menemukan belahan hatinya. Dia bertemu dengan sosok Dewi, wanita yang sangat dia kagumi. Hingga akhirnya, Musrin memantapkan diri untuk menikahi Dewi, sang pujaan hati.

Di tahun 2005, Musrin dan istrinya pindah ke Rusun Sewa Muka Kuning. Saat itu pula, lahirlah anak pertamanya.

Namun lagi-lagi, baru kehadiran anak pertama, Musrin kembali menjadi seorang pengangguran. Tapi semangat itu tidak pernah pudar darinya. Dia kembali mencari pekerjaan sembari menjadi tukang ojek.

Dari PT Yeakin, Musrin kembali mendapatkan pekerjaan di PT Patlite Indonesia Batam. Di perusahaan itu, Musrin bekerja dari tahun 2004 hingga 2006. Sehabis kontrak dari PT Patlite, Musrin banting setir. Dia mengikuti pendidikan sekuriti di Poltabes Barelang.

Setelah mengikuti pendidikan sekuriti, Musrin beberapa kali berpindah-pindah tempat kerja. Hingga saat itu, Musrin bekerja sebagai sekuriti di Panbil Mall. Pada tahun 2009, Musrin terpilih dan dipercaya oleh KPU Kota Batam menjadi ketua PPS (Panitia Pemungutan Suara) Kelurahan Muka Kuning, untuk pesta demokrasi Pemilihan Presiden/Wakil Presiden dan Legislatif.

Selepas berprofesi sebagai sekuriti dan sebagai Ketua PPS Muka Kuning, tahun 2009 akhir, Musrin mendapatkan tawaran pekerjaan di salah satu sabcon DDW-PaxOcean PT.Drydock sebagai manager operasional.

Di perusahaan itu, Musrin hanya bertahan hingga satu tahun. Lagi-lagi, dia kembali menjadi seorang pengangguran.

Kuliah Hukum di Unrika Batam

Namun, saat menganggur kerja, Musrin akhirnya memutuskan untuk memberanikan diri mendaftar kuliah di Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) di Fakultas Hukum pada tahun 2010. Ketika itu, Musrin telah berumur 33 tahun.

Musrin, SH. saat mendampingi masyarakat yang membutuhkan bantuan hukum dari Advokasi Hukum Partai Gerindra Provinsi Kepulauan Riau. (Foto/Ist)

“Ya, 2010 walaupun habis kontrak, beranikan kuliah di UNRIKA Fakultas Hukum. Ya, biayanya dari ngojek lah. Termasuk untuk biaya keluarga,” cerita pria berkacamata itu.

Mulai merasakan bangku kuliah, Musrin bertemu dengan temannya. Dia pun ditawari bekerja sebagai colector di PT Adira Finance Batam. Tanpa pikir panjang, pada tahun 2011, Musrin bergabung di Adira. Dia kembali menekuni profesi baru sembari tetap kuliah.

Singkat cerita, pada tahun 2012 dan 2015, Musrin dikaruniai anak kedua, anak perempuan. Musrin melalui hidupnya bersama keluarga tercinta dengan penuh kesederhanaan.

“Waktu itu, saya berpikir, pokoknya saya harus selesai kuliah dengan apapun caranya. Saya tidak pernah mengeluh dengan keadaan saya. Saya terus berusaha untuk semua agar cukup dan semangat,” katanya.

Hingga akhirnya, perjuangan Musrin terbayarkan. Dia berhasil lulus pada tahun 2014, ketika umurnya menginjak 37 tahun. Musrin pun berhasil meraih gelar sarjana hukum (SH) sesuai impian sebelumnya.

“Alhamdulillah, saya bisa lulus dan menjadi salah satu mahasiswa peraih nilai terbaik di Universitas Riau Kepulauan (UNRIKA) Batam,” ungkapnya.

Pada tahun 2015, dia kemudian melanjutkan perjuangannya, dengan mengikuti pendidikan dan ujian advokat di PERADI. Perlahan tapi pasti hingga akhirnya lulus pada tahun 2016.

Pada tahun 2017, Musrin pun disumpah menjadi Advokat di Pengadilan Tinggi Pekanbaru, Riau. Setelah disumpah. Musrin menekuni profesinya sebagai seorang pengacara (lawyer).

“Alhamdulillah ya, waktu saya punya cita-cita bisa menjadi pengacara di umur 45 tahun. Namun takdir berkata lain. Saya bisa lulus di umur 37 dan jadi pengacara di umur 40 tahun,” kata Musrin.

Meski telah disumpah menjadi seorang pengacara, Musrin masih bekerja di PT Adira. Hingga muncul niatnya ingin fokus menjadi seorang pengacara. Akhirnya dia memilih mundur dari PT Adira Finance Batam secara baik-baik.

Selain jadi pengacara, Musrin mulai aktif di berbagai organisasi kemasyarakatan sejak tahun 2016. Salah satunya bergabung di Organisasi Pemuda Tempatan Nusantara (Paten) dan menjadi ketua komite di Sekolah Dasar (SD) 009 Muka Kuning, Sei Beduk hingga saat ini.

Musrin juga tetap aktif sebagai seorang aktivis, yang selalu menyuarakan kepentingan rakyat kecil. Dia sempat menggelar aksi demo menolak Kenaikan Tarif Dasar Listrik (TDL) Batam.

“Pas sesudah disumpah, saya dan teman-teman ketika itu, buat demo. Menolak kenaikan Tarif Dasar Listrik pada tahun 2017. Dan itu menjadi perjuangan yang tak bisa dilupakan,” kata Musrin senang.

Pada tahun 2018, Musrin diberi amanah untuk menjadi penasehat hukum Iman Sutiawan, ketua DPD Partai Gerindra Kepri. Kala itu Iman Sutiawan menjadi salah satu pimpinan di DPRD Kota Batam (mantan Wakil Ketua DPRD Kota Batam), sekaligus tenaga ahli hukum di unsur pimpinan DPRD kota Batam.

“Tahun 2019 saya juga dipercaya dan diberikan tugas sebagai tim advokasi hukum pemenangan bapak Prabowo-Sandi di Kepri. Di mana ketika itu, Prabowo-Sandi menjadi calon Presiden dan Wakil Presiden,” katanya.

“Waktu itu juga, saya fokus memberikan pendampingan hukum terhadap relawan-relawan Prabowo-Sandi yang ada di Kepri,” sambungnya.

Selain fokus menjadi seorang pengacara. Musrin aktif di partai Gerindra. Juga diamanahkan menahkodai tim Advokasi Hukum Partai Gerindra Provinsi Kepulauan Riau hingga saat ini.

Beri Bantuan Hukum Gratis

Di Partai Gerindra, Musrin menginisiasi dan membentuk gerakan bantuan hukum gratis bagi masyarakat kurang mampu. Bahkan, hingga saat ini, bantuan hukum gratis tersebut telah tersebar tak hanya di Batam, namun hingga Tanjung Pinang, Karimun dan kabupaten lain di Provinsi Kepulauan Riau.

“Bayaran ya tidak ada. Tapi saya kan punya pendirian, bahwa ketika saya mudahkan urusan orang lain, maka saya yakin, urusan saya pun akan dipermudah oleh Allah Swt,” ungkap Musrin.

Bantuan hukum gratis yang diinisiasinya itu, juga mendapatkan dukungan penuh dari Ketua DPD Partai Gerindra Kepri, Iman Sutiawan. Gerakan itupun mendapatkan apresiasi serta dukungan dari Sufmi Dasco Ahmad, Ketua Harian DPP Partai Gerindra yang saat ini sebagai Wakil Ketua DPR RI.

Memberikan bantuan hukum gratis terhadap orang-orang yang kurang mampu, dukungan pun kian mengalir untuk Musrin. “Alhamdulillah, dukungan itu terus mengalir. Dan tidak terlepas juga adanya dukungan penuh dari bang Aweng Kurniawan, ketua Paten Batam dan juga saudara saya Astoni selaku Bendahara Paten Batam dan banyak lagi,” katanya.

Musrin yang telah mencintai pekerjaannya sebagai pengacara, kembali mendapatkan dorongan dari tokoh akademisi Kepri yakni Prof.Jemmy Rumengan (Almarhum). “Beliau sosok yang memberikan dorongan agar saya menempuh ke jenjang perkuliahan magister hukum. Dan hal ini tak mungkin saya sia-siakan,” cerita Musrin.

Tahun 2020, Musrin resmi melanjutkan pendidikanya ke jenjang Magister Ilmu Hukum (S2) di Universitas Batam (UNIBA).

“Alhamdulillah, semua ini tak terlepas dari dukungan keluarga, saudara, sahabat dan orang-orang yang selama ini memberikan dukungan penuh,” ungkapnya.

Di akhir perbincangan bersama Musrin, ada pesan yang dititipkan untuk memotivasi banyak orang dalam menimba ilmu.

“Menimba ilmu. Bismillah saja yang penting kita punya kemauan, niat dan semangat untuk belajar. Jangan pernah mengeluh hanya karena kita orang susah dari segi finansial. Karena selagi kita mau. Semua pasti bisa,” pesannya. (Ris/Acep)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER