Minggu, Mei 5, 2024
Google search engine
BerandaAcehMewarisi dan Melestarikan Seni Batik Aceh

Mewarisi dan Melestarikan Seni Batik Aceh

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Di tengah gempuran produk tekstil yang meniru motif batik, menjadi tantangan dalam menjaga dan merawat seni batik Aceh. Kaum muda didorong untuk melestarikan seni batik asli dari daerahnya.

Seperti yang dilakukan di salah satu tempat yang menjadi pusat pembelajaran dan produksi batik bagi para pemuda adalah Rumoh Batik di kawasan Pagar Air, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Najwa Farhatun Naura,17, siswa SMK Masjid Raya, tampak sedang mencolet atau memberi warna dengan alat dari rotan atau kuas pada motif tertentu yang dibatasi oleh garis-garis pada motif batik. Ia menunjukkan motif kolaborasi pinto Aceh, pucok reubong, dan kipas-kipas yang sedang ia kerjakan.

“Ini motif kolaborasi pinto Aceh, dan juga motif pucok reubong, dan kipas-kipas,” tuturnya saat berkunjung ke Rumoh Batik, Senin (2/10/2023).

Siswa yang akrab disapa Aura magang di rumoh batik selama tujuh bulan. Aura mengaku tertarik dengan seni batik sejak kecil.

Ia ingin belajar lebih banyak tentang proses pembuatan batik, mulai dari mencanting, mencetak, mencolet, menembok, mewarnai, hingga melorot.

“Saya suka batik karena bisa mengekspresikan diri lewat gambar dan warna. Saya juga bisa mengembangkan kreativitas saya dengan menciptakan motif-motif baru,” kata Naura.

Oliya, Koordinator Instruktur di Rumoh Batik, merupakan pria asal Cirebon yang sudah merawat warisan batik Aceh sejak 2007.

Ia terus mendalami karakter batik Aceh dan mengajarkan ilmunya kepada generasi muda. Ia berharap agar batik Aceh tetap dipertahankan dan dikembangkan sebagai salah satu identitas budaya daerah.

“Saat ini kita sedang mempersiapkan pesanan dari instansi pajak sebanyak 15 kain baju seragam,” tutur Oliya.

Kain-kain tersebut menggunakan bahan katun yang berukuran 2.5 meter.

Oliya, Koordinator Instruktur di Rumoh Batik sedang memperlihatkan salah satu hasil pembuatan batik di Rumoh Batik Aceh, Aceh Besar, Senin (2/10/2023). (Foto/Cut Nauval)

Oliya mengatakan kegiatan pembuatan batik di sini sebagian besar menggunakan metode batik cap. Batik tulis ada, tetapi belum dikembangkan secara maksimal.

“Batik cap itu lebih mudah dan cepat dibandingkan batik tulis. Batik cap itu menggunakan alat berupa cap yang terbuat dari tembaga yang sudah dibentuk sesuai motif yang diinginkan. Cap itu dicelupkan ke lilin cair, lalu ditempelkan ke kain,” jelasnya.

Ada empat motif yang paling diminati konsumen, yaitu pinto aceh, pucok reubong, rencong, dan motif khas aceh gayo.

“Batik Aceh itu unik, karena menggunakan perpaduan unsur alam dan budaya dari masyarakat Aceh sendiri. Ada motif pinto Aceh ada motif abdya yang berbentuk kipas, ada motif ketupat , dan masih banyak lagi,” katanya.

Najwa Farhatun Naura,17, siswa magang dari SMK Masjid Raya sedang mencolet atau memberi warna pada motif batik di Rumoh Batik Aceh, Senin (2/10/2023). (Foto/Cut Nauval)

Oliya mengungkapkan bahwa batik memiliki nilai seni dan sejarah yang tinggi. Batik juga tahan lama karena menggunakan lilin sebagai bahan dasar. Lilin ini berfungsi sebagai penahan warna saat proses pewarnaan.

“Kalau batik itu pasti tembus depan belakang. Sedangkan kalau hasil printing tidak tembus. Itu salah satu cara membedakan antara batik asli dan tektil,” ucapnya.

Oliya mengatakan bahwa ada beberapa hal menjadi tantangan yang dihadapi dalam menjalankan usaha batik ini.

Pertama adalah kualitas pengrajin yang perlu ditingkatkan. Ia mengatakan bahwa kreativitas pengrajin menjadi faktor utama dalam menciptakan produk batik yang menarik dan berkualitas.

“Pengrajin harus terus belajar dan berinovasi. Kami harus bisa membuat motif-motif yang sesuai dengan selera pasar. Juga harus bisa menyesuaikan warna dan ukuran kain dengan kebutuhan konsumen,” katanya.

Kedua adalah fakto cuaca yang tidak menentu. Proses pewarnaan batik membutuhkan sinar matahari yang cukup untuk menghasilkan warna yang optimal. Namun, seringkali hujan datang tiba-tiba dan mengganggu proses penjemuran.

“Kalau hujan, kami harus segera masuk dan menutup kain-kain yang sudah dicelup. Kalau tidak, warnanya bisa luntur atau pudar. Kami juga harus menunggu sampai cuaca cerah lagi untuk melanjutkan penjemuran,” katanya.

Ketiga adalah persaingan dengan produk tekstil yang meniru motif batik. Oliya mengatakan bahwa produk tekstil ini lebih murah dan mudah didapatkan di pasaran. Namun, ia menegaskan bahwa produk tekstil ini tidak bisa disebut sebagai batik, melainkan tektil atau sablon.

“Konsumen harus bisa membedakan antara batik dan tektil. Batik itu dibuat dengan proses manual yang membutuhkan waktu dan tenaga. Tektil itu dibuat dengan mesin secara instan. Batik itu memiliki nilai lebih dari segi estetika dan keaslian,” ucapnya.

Oliya berharap agar masyarakat lebih menghargai dan mencintai produk batik asli dari Aceh. Ia juga mengajak para pemuda untuk belajar dan melestarikan seni batik sebagai warisan budaya bangsa.

“Sekarang peminat batik masih kurang. Padahal batik itu bisa menjadi salah satu sumber penghasilan dan kemandirian. Saya berharap ada generasi pengrajin yang mau meneruskan usaha batik ini. Kalau tidak ada generasi pengrajin, otomatis batik Aceh akan punah,” tuturnya.

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER