“Walaupun Aceh sendiri memiliki aturan syariat Islam, tetapi kami merasa aman dengan aturan itu. Khususnya di Banda Aceh, belum ada ditemukan konflik agama. Jadi di sini cukup baik toleransinya”
—————-
Sebuah vihara di Jl.Panglima Polem, kawasan Peunayong, Kota Banda Aceh. Lampion (lampu tradisional) berwarna merah tampak menghiasi. Gedung vihara ini juga didominasi warna merah. Ada pula patung kepala Naga. Terlihat khas Tiongkok.
Di dalam vihara ini tampak seorang lelaki tua, pengurus vihara, sedang membersihkan tempat pembakaran dupa. Dia juga mengecek persedian lilin serta perlengkapan ibadah lainnya.
Di sudut ruangan vihara, sudah tersedia dupa beragam ukuran, disusun rapi di atas meja. Telihat seorang lelaki, Hasan namanya, sedang membersihkan rak kaca, yang di dalamnya terdapat patung-patung hewan mau pun dewa-dewi.
Hasan adalah pengurus Vihara Dharma Bhakti tersebut. Pria berusia 61 tahun itu harus bersih-bersih untuk mempercantik vihara. Besok, Jumat, 12 Februari 2021, Hasan dan warga etnis Tionghoa lainnya akan merayakan Tahun Baru Imlek. Ada juga menyebutnya Hari Raya Imlek, hari besar yang akan dirayakan etnis Tionghoa di seluruh dunia.
Di vihara ini, meski belum masuk hari Imlek, beberapa orang berkulit putih, rata-rata bermata sipit, tampak datang dan pergi silih berganti. Mereka datang untuk berdoa. Mengapit beberapa batang hio, mereka melakukan sembahyang. Aroma khas dari asap dupa dan hio yang dibakar, menyebar ke sekitar vihara.
“Vihara tetap dibuka bagi setiap orang yang ingin sembahyang, namun harus tetap mematuhi protokol kesehatan. Setelah sembahyang, nanti juga langsung pulang. Jadi bergantian, tidak boleh berkerumun,” kata Hasan.
Aturan itu juga berlaku saat merayakan Tahun Baru Imlek besok. Biasanya banyak tamu yang datang untuk sembahyang. Ada juga waga sekitar yang hanya sekedar melihat-lihat.
“Walau Imlek, semua yang datang harus mematuhi protokol kesehatan,” tegas Hasan kepada Waspadaaceh.com, yang mengunjungi vihara itu pada Senin (8/2/2021).
Hasan kembali mengingatkan, acara Imlek tetap menerapkan protokol kesehatan yang ketat, untuk menghindari penyebaran COVID-19. Makanya, untuk menghindari kerumunan, perayaan Tahun Baru Imlek tahun ini, kata Hasan, tidak disemarakkan dengan pertunjukan atraksi barongsai maupun acara lain yang mengundang keramaian.
Merayakan Imlek dengan Damai
Hasan menjelaskan, meski etnis Tionghoa jumlahnya minoritas di Serambi Makkah, kepercayaan mereka tetap dihormati oleh masyarakat di Aceh. Mereka tetap bisa melaksanakan Tahun Baru Imlek dengan tenang dan damai.
“Walaupun Aceh sendiri memiliki aturan syariat Islam, tetapi kami merasa aman dengan aturan itu. Khususnya di Banda Aceh, belum ada ditemukan konflik agama. Jadi di sini cukup baik toleransinya,” ungkap Hasan tersenyum.
“Saya yang sudah lama tinggal di sini. Bahkan saya juga sudah lancar bahasa Aceh. Dalam beraktivitas, kami semua seperti sudah bersaudara. Tidak ada yang mengganggu sampai sekarang. Kita harapkan mudah-mudahan keberagaman dan toleransi ini terus bisa terjaga,” lanjut Hasan.
Kata Hasan, banyak juga etnis Tionghoa berasal dari luar daerah, yang berkunjung ke vihara di Banda Aceh. Mulanya mereka memang merasa khawatir, karena di Aceh berlaku syariat Islam. Tapi setelah sampai di Aceh, warga etnis Tionghoa yang datang dari luar Aceh tersebut mengaku senang dan nyaman. Mereka mengalami sendiri bahwa orang-orang di Aceh sangat toleran kepada suku dan penganut agama lain.
Yusmar, lelaki berusia 52 tahun ini pulang kampung ke Banda Aceh. Dia sudah lama merantau ke Jakarta. Sekarang dia pulang liburan ke kampung Laksana, Banda Aceh, untuk liburan menyambut Imlek.
“Saya terus terang, saya lahir di Aceh. Sejak kecil saya sudah di Aceh dan berbaur dengan etnis Aceh, sehingga hubungan kami dengan mereka baik-baik saja,” kata Yusmar kepada Waspadaaceh.com, di Vihara Dharma Bakti tersebut.
Ketika keluar Aceh, kata Yusmar, dia sering mempromosikan kampung halamannya. Yusmar menjelaskan, dia banyak mengajak teman-temannya etnis Tionghoa dari luar provinsi untuk datang berkunjung ke Aceh.
“Awalnya mereka takut, karena berlaku syariat Islam. Saya katakan tak perlu khawatir. Setelah mereka sampai ke Aceh, mereka bilang ternyata tak seperti persepsi sebelumnya. Mereka mengatakan karakter orang Aceh itu sangat menghormati tamu,” ungkap Yusmar dengan nada gembira.
“Memang kita minoritas di sini karena Aceh dominan Muslim. Kita mengharapkan yang mayoritas bisa tetap mengayomi kami yang minoritas. Juga sebaliknya, kami yang minoritas bisa menghormati kepada yang mayoritas,” ucap Yusmar.
Dalam adat Aceh ada istilah peumulia jame (memuliakan tamu). Sehingga sudah menjadi budaya bagi masyarakat Aceh untuk menghormati tamunya.
Di Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar, dilaporkan terdapat sekitar 2.500 hingga 3.000 lebih warga keturunan Tionghoa. Sebelum tsunami, jumlah warga keturunan Tionghoa di atas 3.000 orang.
Sudah Muslim, Tetap Merayakan Imlek
Jurnalis Waspadaaceh.com beberapa hari lalu bertemu dengan Ken Ken, 36 tahun. Dia warga etnis Tionghoa di Banda Aceh yang sudah muallaf (masuk agama Islam).
Menurut Ken Ken, Tahun Baru Imlek merupakan tradisi leluhur. Ken mengaku ikut merayakan Imlek dengan caranya sendiri. Pria langsing ini tetap bersilaturrahmi dengan keluarga, kerabat dan teman-temannya. Dia akan mengadakan makan-makan, menyediakan kue-kue untuk para tamu.
Pada Imlek besok, Ken berencana untuk ikut dan berpartisipasi pada kegiatan sosial, membagikan bantuan kepada warga suku Tionghoa yang kurang mampu.
Ken mengaku, sebelumnya juga merupakan pengurus Vihara Dharma Bhakti. Kata Ken, meski Aceh adalah daerah syariat Islam, namun toleransi antar umat beragama sangat kuat.
“Islam mengajarkan untuk tetap menjaga silaturrahmi tanpa mengenal agama,” pesan Ken.
Imlek Dirayakan dengan Damai
Dalam buku, Etnis Cina Perantauan di Aceh, yang ditulis oleh Abdul Rani Usman, disebutkan bahwa Hari Raya Imlek merupakan awal dimulainya tahun baru orang Cina (Tionghoa) yang dirayakan dengan penuh kegembiraan.
Tahun Baru Imlek telah diakui pemerintah menjadi salah satu hari besar dan hari libur nasional. Kebijakan ini sangat membahagiakan kalangan etnis Tionghoa.
Dalam buku tersebut menjelaskan terjadinya komunikasi antar budaya etnis Cina dan etnis Aceh, sejarah kedatangan etnis Cina, nilai-nilai budaya yang berkembang, pola interaksi, adaptasi kemudian terjadinya masyarakat yang plural dan multietnis.
Abdul Rani Usman, saat ditemui Waspadaaceh.com, Rabu (10/2/2021) mengatakan, banyak dari warga Tionghoa yang saat ini berada di Banda Aceh, lahir dan besar di kota “Serambi Makkah” ini.
“Mereka relatif tidak ada masalah dalam relasi sosial antara warga Tionghoa dan komunitas lain di Aceh. Hubungan antaretnis Cina dan Aceh sudah terjadi ratusan tahun. Dan hubungan tersebut sebenarnya terbina atas kerjasama, dengan adanya hubungan diplomasi, bisnis, dan kerja,” kata Abdul Rani Usman.
Abdul Rani Usman adalah penulis buku yang juga Direktur Badan Koordinasi Pusat Bahasa Mandarin (BKPBM) Aceh. Dia aktif sebagai dosen UIN Ar-Raniry Banda Aceh. Abdul Rani Usman juga dikenal sering membawa mahasiswa Aceh ke Tiongkok atau China.
“Mereka (etnis Tionghoa) sangat menghargai nilai lokal. Mereka bisa beradaptasi dengan masyarakat di sini. Sebaliknya orang Aceh juga menghargai serta juga belajar dengan orang Cina. Hal ini terjalinnya komunikasi yang baik antar etnis,” jelas Abdul Rani Usman.
“Justru mereka lebih senang wilayah syariat. Kenapa? Karena makanan sudah pasti halal, kemudian tidak ada main judi. Main judi kan menghambur-hamburkan uang. Orang Cina (Tionghoa) di sini mengatakan, justru Aceh sebagai daerah yang aman dan penuh dengan toleransi,” lanjut Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Program Studi Pascasarjana UIN Ar-Raniry Banda Aceh ini. (Cut Nauval Dafistri)