Senin, Mei 6, 2024
Google search engine
BerandaAcehMekanisme Lokal Perlindungan Perempuan Pembela HAM di Aceh Diluncurkan

Mekanisme Lokal Perlindungan Perempuan Pembela HAM di Aceh Diluncurkan

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di Aceh kini memiliki mekanisme lokal untuk mendapatkan perlindungan dan jaminan sosial.

Mekanisme ini diluncurkan oleh Flower Aceh bersama Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh, dengan dukungan Nonviolent Peaceforce dan Kedutaan Besar Belanda, Kamis (28/12/2023) di Ayani Hotel Banda Aceh.

Sejumlah pihak mendeklarasikan komitmen bersama untuk mendukung upaya perlindungan perempuan pembela HAM di Aceh, mereka terdiri dari perwakilan dari SKPA terkait, legislatif, tokoh strategis, perguruan tinggi, aparat penegak hukum, perempuan pembela HAM dari community organizer, pendamping korban, paralegal, perempuan penyintas, pimpinan LSM, jurnalis serta lembaga eks kombatan perempuan.

Kabid Perlindungan Perempuan dan Anak pada DP3A Aceh Tiara Sutari, yang mewakili plt kepala dinas DP3A Aceh, mengatakan bahwa perempuan pembela HAM sangat rentan menghadapi kekerasan dalam aktivitas mereka. Menurut catatan Komnas Perempuan, ada 101 kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM selama 10 tahun terakhir.

“Negara harus memastikan keamanan dan perlindungan bagi perempuan pembela HAM. Beberapa peraturan perundang-undangan yang ada belum cukup memberikan perlindungan dan jaminan sosial bagi perempuan pembela HAM,” jelasnya.

Tiara menambahkan bahwa pemerintah Aceh telah membuat beberapa Qanun dan Peraturan Gubernur yang berkaitan dengan pemberdayaan dan perlindungan perempuan, termasuk perempuan pembela HAM. Salah satunya adalah Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2009 tentang Pemberdayaan dan Perlindungan Perempuan, yang akan direvisi agar lebih komprehensif dan mengakomodasi hak-hak perempuan pembela HAM.

Selain itu, ada juga Qanun 9 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Penanganan Korban Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, serta Peraturan Gubernur 2019 tentang Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak pada DP3A Aceh.

Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati mengatakan bahwa perlindungan perempuan pembela HAM memerlukan dukungan aparat penegak hukum sebagai stakeholder strategis yang dapat memastikan keamanan mereka dari ancaman dan intimidasi dalam menjalankan kerja-kerja kemanusiaan di komunitas.

“Jaminan sosial bagi perempuan pembela HAM juga penting untuk diperhatikan, karena umumnya perempuan pembela HAM lebih mengutamakan tenaga dan waktunya untuk didedikasikan demi memperjuangkan hak korban dan kelompok marjinal. Oleh karena itu, perlu ada skema perlindungan yang komprehensif yang dapat menjamin hak-hak dasar mereka, seperti kesehatan, pendidikan, ketahanan ekonomi, dan jaminan hari tuanya,” katanya.

Riswati juga menekankan pentingnya pemberdayaan ekonomi bagi perempuan pembela HAM, terutama dalam kondisi rentan, agar dapat mandiri dan bertahan dalam situasi apapun. Hal ini juga berkaitan dengan legalitas status mereka sebagai aktivis, yang sebagian tidak memiliki sertifikasi atau dokumen resmi yang dapat melindungi mereka.

“Perlindungan di komunitas juga menjadi faktor penting dalam mendukung perempuan pembela HAM, karena mereka sering kali berhadapan dengan masalah sosial dan budaya yang berakar di tingkat desa atau gampong. Untuk itu, perlu ada komitmen dari aparatur desa dan masyarakat setempat untuk menghargai dan menghormati peran dan hak perempuan pembela HAM,” ucapnya.

Tim Penulis Mekanisme Lokal Perlindungan dan Jaminan Sosial Perempuan Pembela HAM di Aceh, yang dipimpin oleh M. Mirza Ardi, akademisi UIN Ar-Raniry, mengatakan bahwa persiapan penyusunan mekanisme ini telah berlangsung melalui rangkaian workshop dan konsultasi publik dengan berbagai pihak terkait mewakili unsur pemerintahan dan non pemerintahan sejak bulan September 2023.

Namun, lanjutnya ada beberapa hal yang penting dipertajam dalam protokol ini, seperti konteks lokal (seperti peran pemerintah gampong, mahkamah syariah, dan lain-lain), keamanan keluarga serta protocol jaminan sosial.

“Maka perlu berkolaborasi dengan pemerintah dan antar lembaga. Karena itu draf ini akan disosialisasikan dan diuji coba. Kemudian kita monitoring evaluasi di mana kita ubah dan perbaiki per 6 bulan baik yang diterapkan di komunitas dan lembaga dan perorangan, dan dokumen ini juga akan terus dikaji kembali,” jelasnya.

Ketua PUSHAM USK dan juga Ketua Presidium Balai Syura, Khairani Arifin pada akhir kegiatan menyebutkan beberapa catatan penting yang mencuat dalam kegiatan, meliputi pentingnya melengkapi dokumen mekanisme lokal ini dengan referal sistem dan mekanisme kerja detail, memperkuat kolaborasi dan kerja sama multipihak pemerintah dan non pemerintah sampai ke tingkat desa untuk mendukung perlindungan dan jaminan sosial bagi perempuan pembela HAM.

“Dan juga memperkuat sistim dan dukungan untuk implementasi makanisme, pentingnya internalisasi dan sosialiasi, melakukan uji coba serta monitoring evaluasi terhadap implementasi mekanisme lokal perlindungan perempuan pembela HAM ini,” tutupnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER