Banda Aceh (Waspada Aceh) – Terkait dengan gagasan Anggota DPR RI asal Aceh, Rafli Kande, tentang budidaya dan pemanfaatan ganja Aceh, yang ditanggapi pro-kontra di kalangan publik, dia mengatakan, bahwa budidaya ganja itu dimaksudkan untuk bahan baku medis (farmasi).
“Tentunya akan diatur dalam regulasi dan dikawal oleh negara,” kata Rafli dalam keterangan pers yang disampaikan secara tertulis, Jumat (31/1/2020).
Menurutnya, melalui penjanjian perdagangan bebas, ada produk unggulan yang dapat diekspor ke pasar-pasar dunia, termasuk Ganja Aceh, yang sudah cukup dikenal hingga ke seluruh dunia karena kualitasnya.
Ada beberapa konsep awal yang ditawarkan Rafli, seiring pro dan kontra yang muncul atas pernyataannya sehari lalu di media massa.
Pertama, penetapan zonasi pilot project industri Ganja Aceh untuk kebutuhan medis dan turunannya.
“Caranya dengan menjadikan kawasan khusus di Aceh yang selama ini ganja bisa tumbuh subur, namun penting untuk membentuk mekanisme tersistem untuk menyukseskan program tersebut,” kata dia lagi.
Pemanfaatan ganja dari sisi medis, sambung Rafli, sudah diakui dan digunakan sejumlah negara lebih maju. Sementara di Indonesia, hal itu terbentur UU Nomor 35 Tahun 2009, pada pasal 8 ayat 1.
Aturan itu menyebutkan tentang Narkotika Golongan 1 yang tidak boleh digunakan untuk kebutuhan medis.
“Jika pemerintah serius mau kelola dengan bijaksana, tinggal kita ajak teman DPR dan seluruh institusi terkait, kita revisi, yang terpenting kita harus menutup celah penyalahgunaan,” jelas dia.
Sementara, menurut dia, secara hukum agama, tumbuhan ganja pada dasarnya tidak haram. Yang haram adalah penyalahgunaannya.
“Legalisasi Ganja Aceh itu, untuk komoditi ekspor sebagai bahan kebutuhan medis dan turunannya. Bukan untuk penyalahgunaan,” pungkasnya. (Fuadi)