Minggu, Desember 22, 2024
spot_img
BerandaPariwaraKisah Pilu Pernikahan di Bawah Usia 19 Tahun

Kisah Pilu Pernikahan di Bawah Usia 19 Tahun

“Ayah dan warga saat itu mengatakan tidak perlu dibawa ke kantor WH (Wilayatul Hisbah), cukup dinikahkan saja.”

Pernikahan anak di bawah usia 19 tahun masih menjadi fenomena yang memprihatinkan di Provinsi Aceh.

Meskipun sering dianggap sebagai solusi untuk meringankan beban keluarga, kenyataannya, pernikahan dini berpotensi memperburuk berbagai masalah sosial, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, gangguan kesehatan reproduksi, dan risiko putus sekolah.

Di usia 16 tahun, Bunga (bukan nama sebenarnya) harus menjalani pengalaman hidup yang tak pernah ia bayangkan. Di usia yang begitu muda, ia sudah melewati fase-fase sulit, menikah, bercerai, dan mengandung seorang anak tanpa kehadiran suami.

Kisahnya berawal dari hubungan singkat yang berujung pada pernikahan dini karena tekanan sosial di desanya, sebuah wilayah di pesisir Aceh Besar.

Bunga adalah anak tunggal. Kehidupan keluarganya terpecah sejak ayahnya menikah lagi pada 2020, lalu dua tahun kemudian ibunya meninggal karena sakit. Terpukul oleh kondisi keluarga, Bunga memutuskan berhenti sekolah di pesantren tempatnya belajar.

Dalam keadaan rentan, ia kemudian menjalin hubungan dengan Rey (bukan nama sebenarnya) yang berusia 20 tahun. Namun, hubungan singkat itu justru memaksanya menikah di luar kehendaknya.

Suatu hari, Bunga dan Rey ketahuan berduaan di rumah oleh ayah Bunga. Warga desa menekan mereka untuk menikah atau menghadapi hukuman dari aparat Wilayatul Hisbah.

“Ayah dan warga saat itu mengatakan tidak perlu dibawa ke kantor WH (Wilayatul Hisbah), cukup dinikahkan saja. Maka itu kami menikah secara siri,” ungkap Bunga.

Atas desakan warga, pasangan muda ini terpaksa menikah secara siri pada Maret 2023 untuk “menutupi aib.” Bunga tidak memiliki kartu keluarga bersama suaminya, hanya secarik kertas yang ditandatangani oleh penghulu.

Harapan untuk melanjutkan pernikahan secara resmi hancur ketika Rey menceraikannya hanya tiga bulan kemudian. Selama pernikahan, mereka sering bertengkar, terutama karena Rey ingin Bunga tinggal bersama keluarganya di Pidie, sedangkan Bunga menolak karena takut perlakuan keluarganya.

Selama kehamilannya, Bunga mendapat dukungan dari ketua kader puskesmas yang rutin mengunjungi dan memberinya nasihat. Namun, Bunga merasa tidak siap menjadi ibu dan tertekan dengan situasi keuangannya. Meskipun pernah mencoba menggugurkan kandungannya, ia akhirnya melahirkan dan kini mendapat dukungan dari berbagai pihak, termasuk UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak serta Flower Aceh.

Bunga berpesan kepada anak-anak muda untuk tidak mengalami nasib sepertinya, karena pernikahan dini berdampak buruk pada psikologis dan kesehatan fisik. Ia merasa tidak dapat menikmati masa remajanya dan menganggap perlunya perhatian dari orang tua serta lingkungan sekitar.

Meskipun kisahnya kelam, Bunga bercita-cita untuk hidup mandiri dan menjadi wirausaha. “Saya ingin berkarya dan tidak menyerah dengan keadaan ini. Insya Allah bisa bangkit dan mandiri,” tuturnya penuh harap.

Pernikahan anak memerlukan perhatian serius. Pendidikan, dukungan keluarga, dan lingkungan yang peduli bisa menjadi kunci pencegahan kasus serupa. Penelitian dari Flower Aceh menunjukkan bahwa praktik pernikahan anak umum terjadi di daerah pedesaan, terutama di keluarga berpendapatan rendah.

Direktur Flower Aceh, Riswati, menyoroti bahwa pernikahan dini dapat mengakibatkan dampak psikologis, kesehatan reproduksi yang buruk, serta masalah ekonomi.

Upaya untuk mencegah pernikahan dini meliputi edukasi mengenai hak kesehatan seksual dan reproduksi, sosialisasi undang-undang tentang batas usia pernikahan, serta peran tokoh agama dalam mencegah praktik pernikahan siri. Pendidikan calon pengantin juga penting untuk mencegah pernikahan dini, dan perlu adanya dukungan untuk pendidikan wajib selama 12 tahun. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER