Banda Aceh (Waspada Aceh) – Harga tandan buah segar (TBS) sawit di Provinsi Aceh “terjun bebas” menyentuh harga di bawah Rp1.000/Kg. Di beberapa daerah bahkan hanya dihargai Rp800/Kg.
Dengan harga serendah itu, kini para petani dikhawatirkan mengalami kerugian besar. Apalagi harga pupuk masih tetap tinggi.
“Makin anjlok, makin parah, rata-rata di bawah Rp1.000/Kg. Kita sampai bingung mau ngadu kemana lagi dan ke siapa. Harga terus turun, kita khawatirkan malah nanti petani semakin merana,” kata Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Aceh, Sofyan Abdullah, kepada Waspadaaceh.com, Jumat (24/6/2022).
Sofyan mengatakan, dilema yang dirasakan petani saat ini adalah kegalauan saat akan memanen. Karena khawatir bila dipanen, biaya operasional dan produksi lebih besar dari pendapatan.
“Rugi jelas. Petani itu bingung, waktu harga sawit Rp3.000/Kg, pekerja minta naik upah. Ketika saat ini anjlok, pekerja tidak mau turunkan upahnya. Belum lagi pupuk, perawatan pohon. Pekerja pun banyak, tukang dodos atau tukang panen, tukang angkat sampai tukang lansir,” ujarnya.
Pekerja di kebun sawit itu banyak, lanjut Sofyan, artinya produksi di kebun juga biaya besar tapi tidak sebanding dengan pendapatannya. Belum lagi pabrik kelapa sawit (PKS) yang kadang menolak buah TBS dari petani.
“Bukannya membaik, kini harga sawit makin terjun bebas rata-rata di bawah Rp1.000/Kg bahkan di Kota Subulussalam, hanya Rp800/Kg,” ujarnya.
Asosiasi, tegas Sofyan, hanya bisa pasrah pada keadaan. Jika pun mengadu ke Pemerintah Aceh melalui Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun), juga sia-sia. Kebijakan pengaturan semuanya ada di pusat, daerah tidak memiliki kewenangan apapun, sebutnya.
“Petani kita pesimis. Mau ngadu kemana lagi? Kita pun bingung. Kita cuma bisa pasrah aja. Kita lihat saja waktu beberapa minggu kedepan ini,” tegasnya.
Padahal beberapa waktu lalu ketika Presiden Jokowi kembali membuka keran ekspor CPO, memasuki awal bulan Juni, harga TBS sawit masih berada pada kisaran Rp1.700/Kg atau rata-rata di bawah Rp2.000/Kg di Aceh. Harga itu saja pun terbilang masih rendah dibanding harga sebelum pemerintah menutup keran ekspor. (sulaiman achmad)
