“Kita miris melihat angka kekerasan yang terus meningkat, tapi di satu sisi kita apresiasi kepada masyarakat yang sudah berani melaporkan adanya kekerasan”
– Kepala DPPPA Aceh Meutia Juliana –
Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Pada tahun 2020 angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh yang terlapor sebanyak 905 kasus, di tahun 2021 meningkat menjadi 924 kasus. Kemudian di tahun 2022 meningkat drastis menjadi 1029 kasus dan melonjak lagi menjadi 1098 kasus di tahun 2023.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPPA) Aceh, Meutia Juliana, S.STP, M.Si, mengatakan miris melihat tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh. Di mana bentuk kekerasan paling banyak diterima oleh perempuan adalah bentuk Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), kekerasan fisik dan kekerasan psikis.
Sementara bentuk kekerasan yang paling banyak diterima oleh anak adalah pelecehan seksual, kekerasan fisik, kekerasan psikis, pemerkosaan dan KDRT.
Meutia mengakui, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak sejak tahun 2022-2023 paling mendominasi di Banda Aceh, Bener Meriah dan Aceh Utara. Namun, di satu sisi DPPPA Aceh, juga mengapresiasi keberanian korban dan keluarga, lingkungan dan gampong berani melaporkan kejadian itu kepada pihak yang berwajib.
“Kita miris melihat angka kekerasan yang terus meningkat, tapi di satu sisi kita apresiasi kepada masyarakat yang sudah berani melaporkan kekerasan baik yang dialami oleh diri sendiri atau kekerasan yang dialami oleh orang sekitar,” sebutnya dalam diskusi yang berlangsung beberapa waktu lalu di Banda Aceh.
Menurut Meutia, jarang korban dan keluarga berani melaporkan peristiwa tersebut karena dianggap akan merusak citra keluarga. Apalagi kekerasan terhadap perempuan dan anak sering dilakukan oleh orang yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan korban.
Seperti ayah tiri dan anak tiri, kakek dan cucu, abang kandung dan adek kandung. Seharusnya pelaku ini menjadi orang pertama yang melindungi korban bukan malah sebaliknya.
“Karena sebagian besar merasa itu adalah aib, apalagi dilakukan oleh orang terdekat sehingga enggan untuk dilaporkan. Ini yang sangat kita sayangkan,” sebutnya.
Karena itu dia mendorong masyarakat apabila melihat atau mendengar bentuk kekerasan di lingkungan sekitar segera laporkan ke Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) terdekat.
DP3A Aceh Dorong Keuchik
Selain korban didorong untuk berani melapor, keluarga dan pemerintah gampong juga diharapkan berani melapor jika mengetahui seseorang mendapat kekerasan.
Kepala Dinas PPPA Aceh menceritakan pihaknya pernah menemui ada kepala desa (keuchik) di Aceh yang melaporkan langsung kepada pihak UPTD PPA Aceh terkait kekerasan yang diterima oleh warganya.
“Pernah ada kasus yang melaporkan itu justru keuchiknya kalau tidak salah terkait kasus KDRT. Korban diambil oleh keuchiknya dan membawa korban ke tempat kami,” awal Meutia berkisah.
Beberapa hari kemudian, kata Meutia, keuchiknya kembali menanyakan kembali kepada pendamping atau petugas yang mendampingi korban bagaimana progres penanganan terhadap korban dan apa yang sudah petugas lakukan terhadap warganya.
“Jadi kami cap jempol keuchiknya. Beliau ini adalah orang yang peduli terhadap masyarakatnya,” sebutnya.
Meutia mengapresiasi keuchik tersebut atas kepeduliannya dalam melindungi perempuan dan anak di wilayah kerjanya. Karena itu, dia berharap kepada seluruh keuchik di Aceh punya kepedulian yang sama untuk berani melaporkan kekerasan yang dialami oleh warganya.
Ketika lingkungan sekitar peduli, aparat juga peduli, korban juga berani melapor, kekerasan yang diterima korban bisa lebih cepat ditangani.
Menjamin Identitas Pelapor
Plt Kepala Bidang Perlindungan Perempuan dan Anak DPPPA Aceh, Tiara Sutari AR, menjelaskan angka kekerasan terhadap perempuan dan anak memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini juga seiring dengan keberanian korban untuk melapor.
Keberanian korban untuk melaporkan kekerasan yang dialaminya perlu diapresiasi, sehingga dengan laporan itu Pemerintah Aceh dalam hal ini DPPPA Aceh dapat mengambil langkah dalam penanganannya.
Karena itu, Tiara mendorong masyarakat harus berani melaporkan kekerasan jika mengalaminya agar mendapatkan pemulihan terutama terkait psikologis untuk memulihkan trauma.
Apabila korban tidak dipulihkan, dikhawatirkan dapat memicu perilaku kekerasan kembali sehingga korban menjadi pelaku kekerasan itu sendiri.
Dia juga menegaskan kepada masyarakat yang menjadi pelapor untuk tidak takut, karena identitas dari pelapor akan dijamin kerahasiaannya oleh UPTD PPA Aceh maupun UPTD di kabupaten/kota.
“Masyarakat yang melapor akan dirahasiakan identitasnya. Karena itu adalah bagian dari etika pelayanan pada UPTD PPA Aceh,” sebut Tiara kepada Waspadaaceh.com, Rabu (30/10/2024).
Jadi, Tiara mengimbau kepada masyarakat yang mengalami kekerasan untuk segera melaporkan baik dengan mendatangi langsung UPTD PPA Aceh yang beralamat di Jalan Tgk. Bate Timoh No.2 Jeulingke Kecamatan, Syiah Kuala, Banda Aceh atau pengaduan juga bisa dilakukan ke Sahabat Perempuan Anak (SAPA) 129.
Masyarakat bisa melaporkan segala bentuk kekerasan, baik berupa kekerasan fisik, psikis, KDRT, pelecehan seksual, pemerkosaan hingga bulian pada layanan yang sudah disiapkan oleh DPPPA Aceh. Tentunya, layanan yang diberikan ini gratis dari proses pengaduan, pendamping hingga pemulihan psikologi korban. (*)