Sabtu, Juli 27, 2024
Google search engine
BerandaOpiniAceh di Mata Dunia

Aceh di Mata Dunia

Aceh di Mata Dunia

(Reviu Buku)

 “Sebuah kejadian yang sangat menarik dalam sejarah penjajahan modern sudah kita dengar di Pulau Hindia Timur, satuan tentara Eropa yang megah sudah kalah berperang dan dibasmi oleh pejuang Aceh

Judul              : Aceh di Mata Dunia

Penulis           : Tengku Hasan M. di Tiro

Penerbit          : Bandar Publishing

Tebal Buku     : 110 Halaman

Negara            : Indonesia

Bahasa            : Indonesia

Cetakan           : Petama (Edisi Terjemahan)

Tahun Terbit   : Juli 2013

ISBN               : ISBN 978-602-17787-8-4

 

Profil Penulis

Dr. Teungku Hasan Muhammad di Tiro, M.S., M.A.,LL.D., Ph.D. (25 September 1925 – 3 Juni 2010) adalah pendiri Gerakan Aceh Merdeka dan merupakan Wali Nanggroe Aceh ke-8. Hasan Tiro adalah keturunan ketiga pahlawan nasional Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman dan Teuku Umar Johan Pahlawan bersama Cut Nyak Dhien.

Hasan Tiro berasal dari sebuah keluarga terpandang, dari Gampông Tiro di Kabupaten Pidie. Beliau merupakan putra kedua dari Leube Muhammad Tanjong Bungong dan Tengku Pocut Fatimah Tiro. Ayah Hasan Tiro merupakan pemuka agama di Tanjong Bungong, Pidie. Sementara ibunya adalah anak dari Teungku Mahyuddin dan Pocut Mirah Gambang. Teungku Mahyuddin atau Teungku Mayed Di Tiro adalah anak Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman sementara Cut Gambang adalah anak Cut Nyak Dhien dengan Teuku Umar.

Isi Buku 

Hasan Tiro dalam bukunya ini berkisah tentang sejarah perjuangan bangsa Aceh di masa kolonial Belanda dahulu. Bagaimana para pejuang Aceh berperang melawan tentara Belanda sehingga banyak jatuh korban di kalangan penjajah. Belanda mengalami kerugian besar di Aceh, baik materil maupun korban jiwa. Di awal tulisannya, Hasan Tiro tidak lupa mengingatkan kepada bangsa Aceh untuk tetap berjuang dan menjadi mulia.

“Jika kita melihat Aceh seperti bangsa yang hina, maka tidak akan ada lagi cita-cita dan semangat untuk menjadi mulia. Jika kita melihat diri kita lemah, maka tidak akan ada lagi semangat kepahlawanan. Jika kita melihat diri kita bodoh, itu berarti kita sudah mengikuti kemauan orang lain yang mengakibatkan kita akan ditipu”. Begitu pesan yang disampaikan penulis pada bab awal buku ini.

Dalam buku yang pertama kali diterbitkan di New York pada tahun 1968 itu, penulis mengisahkan tentang kehebatan bangsa Aceh di masa lalu. Pada halaman 25, Perang di Sumatera (Perang antara Belanda dan Aceh), Tengku Hasan M. di Tiro, menulis; Sebuah kejadian yang sangat menarik dalam sejarah penjajahan modern sudah kita dengar di Pulau Hindia Timur, satuan tentara Eropa yang megah sudah kalah berperang dan dibasmi oleh pejuang Aceh.

Penulis juga menceritakan, bagaimana berita-berita tentang pertempuran antara tentara Belanda dengan pejuang Aceh, dimanipulasi oleh Pemerintah Belanda. Cerita ini tercantum di halaman 39 (Perang di Sumatera); Belanda telah membuat semacam kabut yang menutupi kebenaran tentang sebab-sebab terjadi perang dengan Aceh dan bagaimana perang itu berlangsung. Surat-surat kabar Inggris di India menuduh bahwa proses yang menutupi kebenaran itu dilakukan oleh Pemerintah Belanda yang sudah terbiasa menipu. Baru-baru ini kita sudah mengetahui melalui telegram tentang kekalahan serdadu Belanda di Aceh. Tetapi kita belum mengetahui apa sebenarnya tujuan Belanda memulai peperangan dengan Aceh. Karena itu juga kita tidak memiliki sumber seberapa besar akibat yang ditimbulkan dari kekalahan Belanda atau pengaruh yang akan timbul.

Hasan Tiro juga mengisahkan saat para pempimpin pejuang Aceh banyak yang syahid ketika berperang melawan pasukan Belanda. Pada Bab V, Perang Belanda – Aceh tahap III (Desember 1911 – Desember 1942), Hasan Tiro menulis; Tahap ketiga perang Aceh melawan Belanda dimulai setelah Tengku Tjhik Ma’at di Tiro syahid. Perlawanan yang teratur tidak sanggup dibangunkan kembali karena hampir semua panglima dan pemimpin besar sudah syahid dalam perang. Hanya beberapa panglima dan pemimpin yang tersisa dan tidak mau menyerah kepada Belanda serta masih berpegang teguh kepada keyakinan hingga akhir hayat.

Pada Bab VII, yaitu bab terakhir, Hasan Tiro menyebutkan tentang asal kemakmuran dan kemerdekaan. Bagi penulis, jika Aceh tidak merdeka, tidak mungkin makmur. Menurut Hasan Tiro, hidup sebuah bangsa yang dijajah oleh bangsa lain tidak ubahnya seperti hidup seorang budak.

“Ketika Aceh dijajah oleh Belanda, hasil bumi dirampas oleh Belanda. Sekarang Aceh dijajah oleh orang ‘seberang lautan’ dan hasil bumi dicurinya. Ketika dijajah oleh Belanda, ekonomi Aceh lebih baik daripada era di bawah orang ‘seberang lautan.’ Belanda lebih pintar mengatur ekonomi daripada orang ‘seberang lautan’ yang masih bodoh,” tulis Hasan Tiro.

Pada bagian akhir tulisannya, Hasan Tiro mengingatkan, adanya kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh bangsa Aceh berawal dari masalah politik. Menurut penulis, bangsa Aceh tidak akan berhasil membangun ekonomi bila belum bisa membangun hak hidup dalam bidang politiknya. (sulaiman achmad)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER